Pages

Sabtu, 25 September 2004

Ibu, Baron, dan Kupu-Kupu

Cerpen Dyah Indra Mertawirana



Kupanggil ia ibu. Perempuan yang menyimpan kesunyian benih-benih padi, membajak petak-petak sawah, dan menyiangi lini-lini rumput di tiap ruas. Selalu riang ia dengan lagu-lagu ketika kaki-kakinya menapak pematang. Angin bahkan menebarkan suaranya mengisi seluruh petak sawah yang menghampar. Di dalam bakul yang ia gendong, ada nasi dengan lauk teri dan sambal pedas yang akan meruapkan liur jika siang datang. Ia membungkusnya sendiri ketika embun masih menggumpal di ujung daun. Lalu sesampai di sawah, ia akan jinjingkan jariknya kemudian mencelupkan kedua kakinya ke dalam lumpur yang kelak akan mengikat kehidupan anak dan cucunya.



Ia membajak sendiri. Baron, kerbau dungu, selalu ia menyebut-nyebut nama hewan itu jika kesal. Kerbau yang diantar oleh seorang tukang angon, si bocah lelaki kecil. Ia mengikat leher Baron pada luku dan membunyikan cambuknya. Maka mulailah ia membajak dan bercakap-cakap dengan Baron seolah ia bercakap-cakap dengan suaminya sampai tanah-tanah itu tersingkap kemudian ditebarnya kompos beserta tahi Baron ke situ. Hingga setiap sawah di kampung ini, suatu hari, dipenuhi oleh perempuan, sebab setiap lelaki turun gunung membangun kota dengan tangan-tangan mereka dan pulang menjelang larut atau kadang sampai berbulan-bulan. Ia, perempuan yang kupanggil ibu itu adalah perempuan yang membunuh birahinya terhadap Rahwana juga Rama. Kelak itu yang aku tahu ketika aku tumbuh dewasa.



Senja, ibu akan pulang bersama Baron ke rumah. Lalu aku akan menurunkan tumpukan jerami untuk santap malam Baron. Kemudian ibu akan segera membakar sebagian tahi Baron untuk menghangatkan tubuh kami dan mengusir nyamuk-nyamuk. Baron tidur di kandangnya yang terletak di samping kiri rumah kami. Dan jika kenyang ia akan melenguh lalu tertidur. Suatu hari aku tak akan lagi jumpai semua itu, dan itu ternyata yang paling aku rindu.



Lelaki di kampung ini telah pergi. Ayahku juga. Tapi ayahku sungguh baik hati. Pernah ketika libur datang, ayah membawa oleh-oleh pupuk dari kota, katanya, supaya ibu tak terlalu sibuk di sawah. Juga bibit-bibit yang cantik. Lalu pernah lagi ketika pulang ayahku membawa televisi. Benda bertabung yang bisa menyala itu, aih lucu sekali menurutku. Bagaimana orang bisa muat berada di dalam tabung sekecil itu. Tak perlu lagi pergi ke sawah, tontonlah telenovela dan berdandanlah seperti bintang film, begitu katanya pada ibu. Lalu aku diberinya jadwal khusus untuk melihat sinetron, siapa tahu rezekimu datang dan kau bisa jadi bintang hingga tak perlu lagi tinggal di kampung, begitu ayahku bilang. Tapi, ah!



Kota masih sesuatu yang asing yang mendengung-dengung di telingaku dari antena radio dan televisi yang pertama kali singgah bertamu di rumah kami. Ke mana ibu yang selalu terbangun oleh kluruk ayam jantan Lik Bawuk dan langsung menyalakan tungku kemudian menjerang air. Ke mana ibu yang mencuci beras di pancuran dekat bilik belakang rumah. Ke mana ibu yang mengenakan jarik dijinjing dan dengan sigap menyiangi rumput-rumput yang mengejar padi. Ke mana ibu yang selalu ajarkan alif ba ta jika selepas magrib. Ke mana ibu yang membenahi selimutku sebelum akhirnya ia juga lelap.



Pagi dini aku sudah mulai membaca. Dan koran-koran mulai berdatangan ke rumahku menebar apa saja. Televisi di rumah kami juga tak berhenti menyiarkan iklan. Maka kebiasaan ibuku mulai berubah. Maka ibuku mulai suka pergi berbelanja ke pasar-pasar. Tapi barang-barang itu tak ditemuinya di pasar. Hingga suatu hari tumbuh mall dan jalan-jalan besar di kampung kami, menepikan sawah, padang tempat domba-domba kami merumput, juga rumah-rumah. Sementara pasar-pasar menjadi semakin kumuh dan tenggelam di sudut rumah. Maka pergilah ibuku ke mall dan berbelanja di sana sampai berjam-jam. Ia jadi lupa jika padi kami harus disiangi. Juga lupa tentang nasi yang ditinggalkannya telah mengerak. Ah, ibu, keluhku. Lalu setiap ibu akan pergi selalu ia berpesan padaku, jangan lupa tebarkan pupuk-pupuk yang dibawa ayahmu. Ingat takarannya. Angkat jemuran dan tanakan nasi. Jangan lupa buat sambal terasi untuk ayahmu jika ia pulang.



Kami tak lagi sibuk menyiangi padi. Padi kami tumbuh lebih setia, tak rewel seperti ibu yang semakin hari semakin asyik memadukan warna lipstik dan baju juga sepatunya buat kondangan ke tetangga seberang rumah. Tapi entah, kenapa lama-kelamaan pupuk itu harus selalu kami beli. Juga ibu yang semakin jarang di rumah. Ibu yang tak lagi memiliki cerita dan dongeng masa lalu untukku, ah kuno, cobalah gaya hidup yang lebih modern, begitu katanya padaku. Ayah membelikan aku koleksi play stasion, sementara ibu membelikanku boneka barbie. Aku tak lagi main engklek atau dakocan. Tak ada kawan. Kami sibuk memperlihatkan apa yang kami miliki, memamerkan satu dengan yang lain dan jika tak memiliki apa yang dimiliki yang lain maka ketika pulang akan merengek lagi.



Zaman telah berubah, jangan ketinggalan. Kau harus lebih sering menonton televisi dan mengikuti perkembangan. Jangan kita dibilang kampungan. Itu memalukan, kata ibu padaku ketika kami makan malam.



Tapi aku lebih suka menatap sawah. Hingga pupuk semakin mahal dan rumah kami tergenang oleh genangan got yang mampat dari sampah pasar yang meruapkan bau tak karuan. Aku lebih suka desau ilalang dan bau tanah yang terguyur hujan. Juga kerlip bintang pari yang kadang timbul tenggelam.



Sampai suatu malam, ibu tak pulang dan ayah tak menceritakan ke mana ibu pergi. Pun aku tak tahu di mana ibu sekarang. Aku hanya berpikir ibu akan baik-baik saja. Hingga semakin hari sawah kami tumbuh semakin menyempit. Entah apa sebab. Ketika ibu menyuruh menjualnya, aku protes. Satu-satunya yang bisa aku nikmati di sini hanya sawah itu. Sebab itu, ibu tak pulang berhari-hari. Tapi aku masih berpikir ibu akan baik-baik saja. Hingga Baron pergi dari kandangnya dan digantikan motor baru. Tapi motor ini tak bisa membajak sawah, pikirku. Dan aku cuma bisa diam selama kami masih baik-baik saja. Ya, kami tetap baik-baik saja.



Musim bediding datang hampir merontokkan gigiku, kembang-kembang mangga banyak yang rontok dan yang tersisa akan menjadi buah masak. Dingin yang menusuk sumsum nyaris tak bisa membuatku tidur. Sebab tahi Baron tak lagi menghangatkan rumah kami. Ayah lupa membeli penghangat ruangan, besok katanya. Aku beranjak ke kamar ibu untuk mengambil jarik, barangkali bisa sedikit memberi hangat untuk selimut, menurutku.



Aku membuka lemari ibu, memilah-milah lipatan tumpukan baju, tapi aku hanya menemukan lembaran kutang dan celana dalam. Akhirnya aku membongkar hingga ke laci-lacinya, tetap tak ada. Aku mencoba mencari di pelosok kamar ibu barangkali ia menyimpan jarik dan kebayanya di tempat lain selain di lemari. Tapi tak juga ada. Beberapa majalah tergeletak sembarangan, sedang di depan cermin berderak kosmetik ibu. Barangkali ibu menjualnya ke tukang loak entah kapan, ketika kutanya ke Lik Kaseno --tukang loak yang biasa lewat di depan rumah kami dan sesekali menjajakan barang rongsokan yang masih sedikit bisa dipakai dari rumah ke rumah-- esok harinya, lelaki itu tak tahu-menahu dan bilang ibu tak pernah menjual loakan apa pun kepadanya. Lalu barangkali ibu memberikannya ke kerabat, sebab aku rasa benda itu keramat, maka kutanya ke beberapa nama dan alamat tanpa rasa malu, tapi tak juga kutemu. Karena kesal aku malam itu tak pulang dan berjalan mengelilingi kota yang mulai tumbuh di kampungku. Lampu-lampu nyaris menubruk bola mataku. Kunang-kunang yang tadinya selalu kutangkap dan kuintip di tangkupan kedua tanganku seolah lenyap tertimbun lampu-lampu yang tak bisa kutangkup. Sesampainya di simpang, di sebuah warung abang kulihat ayah tengah menenggak bir bintang dan memegang kartu as. Aku biarkan saja, barang sekali dua tak apalah untuk mengaso. Di mana ibu, malam-malam begini. Meski aku masih berpikir bahwa ibuku akan baik-baik saja. Sampailah aku di dekat sebuah hotel dan kulihat ibu berdiri di samping pintu gerbangnya. Tersenyum ke setiap lelaki yang lewat di depannya sambil sesekali memegang tangan mereka. Lipstik ibu sungguh tebal seperti ketika sedang menghadiri kondangan di kampung, waktu dulu dan terakhir tiga hari yang silam di tempat Mr John yang kata ibu adalah teman dekatnya. Entah kapan kenal dengannya, sebab sejak dulu di kampungku tak ada yang dipanggil Mister. Aku melihatnya, ibu digandeng seorang lelaki ke dalam hotel itu. Dan aku masih meyakini ibuku akan baik-baik saja.



Besok malamnya aku kembali mengikuti ke mana ibu pergi. Jelang pagi kulihat ibu kenakan jarik dan kemben itu. Ah, lega rasanya. Ternyata ibu masih menyimpannya dan membawa kemana pun ia pergi, aku sedikit riang. Tapi baju keramat itu tak lagi dipakainya menyiangi rumput di sawah kami. Di situ, di antara para lelaki dan sedikit perempuan ibuku menari hingga akhirnya telanjang dan menjelma sawah yang bisa dibajak dan disiangi siapa saja. Dan ibu tak lagi meluku. Juga ayahku tak ada di situ. Bahkan aku yang ada di situ --di salah satu sudut ruang yang temaram dari sebuah pub-- hanya diam. Barangkali juga ayahku. Sebab tak pernah ada pertengkaran di rumah kami. Hingga aku yakin ibuku baik-baik saja. Esok pagi kami masih bersitatap di rumah meski kulihat kemudian ia tertidur dan aku yang membereskan semua pekerjaan di dapur. Pernah aku masih berpikir untuk mencuri jarik dan kebaya itu dari ibu. Sebab aku ingin sekali memakainya, nanti, ketika menikah dengan sedikit harap masih bisa menemukan sepetak sawah dan menganai padi-padinya. Tapi tak ada lagi yang kumiliki. Hanya kenangan tentang ayah, ibu, sawah hijauku, akar-akar juga Baron, kerbauku.



Sebab keesokan harinya ketika aku bangun tak ada lagi pupuk, sebab ayah telah menjual sawah itu. Juga Baron yang telah pergi lebih dulu, dijual ibu. Dan akhirnya, kami bermetamorfosa seperti kupu-kupu. ***

Bandar Lampung, 2004

Sabtu, 18 September 2004

Wabah

Cerpen A. Mustofa Bisri



Mula-mula tak ada seorang pun di rumah keluarga besar itu yang berterus terang. Masing-masing memendam pengalaman aneh yang dirasakannya dan curiga kepada yang lain. Masing-masing hanya bertanya dalam hati, "Bau apa ini?" Lalu keadaan itu meningkat menjadi bisik-bisik antar "kelompok" dalam keluarga besar itu. Kakek berbisik-bisik dengan nenek. "Kau mencium sesuatu, nek?"



"Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab nenek.

"Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?"



"Mungkin anakmu."

"Belum tentu; boleh jadi cucumu!"



"Atau salah seorang pembantu kita."

Ayah berbisik-bisik dengan ibu. "Kau mencium sesuatu, Bu?"



"Ya. Bau aneh yang tak sedap!" jawab ibu.

"Siapa gerangan yang mengeluarkan bau aneh tak sedap ini?"



"Mungkin ibumu."

"Belum tentu; boleh jadi menantumu."

"Atau salah seorang pembantu kita."



Demikianlah para menantu pun berbisik-bisik dengan istri atau suami masing-masing. Anak-anak berbisik antarmereka. Para pembantu berbisik-bisik antarmereka. Kemudian keadaan berkembang menjadi bisik-bisik lintas "kelompok". Kakek berbisik-bisik dengan ayah atau menantu laki-laki atau pembantu laki-laki. Nenek berbisik-bisik dengan ibu atau menantu perempuan atau pembantu perempuan. Para menantu berbisik-bisik dengan orang tua masing-masing. Ibu berbisik-bisik dengan anak perempuannya atau menantu perempuannya atau pembantu perempuan. Ayah berbisik-bisik dengan anak laki-lakinya atau menantu laki-lakinya atau pembantu laki-laki. Akhirnya semuanya berbisik-bisik dengan semuanya.



Bau aneh tak sedap yang mula-mula dikira hanya tercium oleh masing-masing itu semakin menjadi masalah, ketika bisik-bisik berkembang menjadi saling curiga antarmereka. Apalagi setiap hari selalu bertambah saja anggota keluarga yang terang-terangan menutup hidungnya apabila sedang berkumpul. Akhirnya setelah semuanya menutup hidung setiap kali berkumpul, mereka pun sadar bahwa ternyata semuanya mencium bau aneh tak sedap itu.



Mereka pun mengadakan pertemuan khusus untuk membicarakan masalah yang mengganggu ketenangan keluarga besar itu. Masing-masing tidak ada yang mau mengakui bahwa dirinya adalah sumber dari bau aneh tak sedap itu. Masing-masing menuduh yang lainlah sumber bau aneh tak sedap itu.



Untuk menghindari pertengkaran dan agar pembicaraan tidak mengalami deadlock, maka untuk sementara fokus pembicaraan dialihkan kepada menganalisa saja mengapa muncul bau aneh tak sedap itu.



Alhasil, didapat kesimpulan yang disepakati bersama bahwa bau itu timbul karena kurangnya perhatian terhadap kebersihan. Oleh karena itu diputuskan agar semua anggota keluarga meningkatkan penjagaan kebersihan; baik kebersihan diri maupun lingkungan. Selain para pembantu, semua anggota keluarga diwajibkan untuk ikut menjaga kebersihan rumah dan halaman. Setiap hari, masing-masing mempunyai jadwal kerja bakti sendiri. Ada yang bertanggung jawab menjaga kebersihan kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi, dan seterusnya. Sampah tidak boleh dibuang di sembarang tempat. Menumpuk atau merendam pakaian kotor dilarang keras.



Juga disepakati untuk membangun beberapa kamar mandi baru. Tujuannya agar tak ada seorang pun anggota keluarga yang tidak mandi dengan alasan malas. Siapa tahu bau itu muncul justru dari mereka yang malas mandi. Di samping itu, semua anggota keluarga diharuskan memakai parfum dan menyemprot kamar masing-masing dengan penyedap ruangan. Semua benda dan bahan makanan yang menimbulkan bau seperti trasi, ikan asin, jengkol, dan sebagainya dilarang dikonsumsi dan tidak boleh ada dalam rumah. Setiap jengkal tanah yang dapat ditanami, ditanami bunga-bunga yang berbau wangi seperti mawar, melati, kenanga, dan sebagainya.



Ketika kemudian segala upaya itu ternyata tidak membuahkan hasil dan justru bau aneh tak sedap itu semakin menyengat, maka mereka menyepakati untuk beramai-ramai memeriksakan diri. Jangan-jangan ada seseorang atau bahkan beberapa orang di antara mereka yang mengidap sesuatu penyakit. Mereka percaya ada beberapa penyakit yang dapat menimbulkan bau seperti sakit gigi, sakit lambung, paru-paru, dan sebagainya. Pertama-tama mereka datang ke puskesmas dan satu per satu mereka diperiksa. Ternyata semua dokter puskesmas yang memeriksa mereka menyatakan bahwa mereka semua sehat. Tak ada seorang pun yang mengidap sesuatu penyakit. Tak puas dengan pemeriksaan di puskesmas, mereka pun mendatangi dokter-dokter spesialis; mulai dari spesialis THT, dokter gigi, hingga ahli penyakit dalam. Hasilnya sama saja. Semua dokter yang memeriksa tidak menemukan kelainan apa pun pada kesemuanya.



Mereka merasa gembira karena oleh semua dokter --mulai dari dokter puskesmas hingga dokter-dokter spesialis-- di kota, mereka dinyatakan sehat. Setidak-tidaknya bau aneh dan busuk yang meruap di rumah mereka kemungkinan besar tidak berasal dari penyakit yang mereka idap. Namun ini tidak memecahkan masalah. Sebab bau aneh tak sedap itu semakin hari justru semakin menyesakkan dada. Mereka pun berembug kembali.



"Sebaiknya kita cari saja orang pintar;" usul kakek sambil menutup hidung, "siapa tahu bisa memecahkan masalah kita ini."

"Paranormal, maksud kakek?" sahut salah seorang menantu sambil menutup hidung.



"Paranormal, kiai, dukun, atau apa sajalah istilahnya; pokoknya yang bisa melihat hal-hal yang gaib."

"Ya, itu ide bagus," kata ayah sambil menutup hidung mendukung ide kakek, "Jangan-jangan bau aneh tak sedap ini memang bersumber dari makhluk atau benda halus yang tidak kasat mata."



"Memang layak kita coba," timpal ibu sambil menutup hidung, "orang gede dan pejabat tinggi saja datang ke "orang pintar" untuk kepentingan pribadi, apalagi kita yang mempunyai masalah besar seperti ini."



Ringkas kata akhirnya mereka beramai-ramai mendatangi seorang yang terkenal "pintar". "Orang pintar" itu mempunyai banyak panggilan. Ada yang memanggilnya Eyang, Kiai, atau Ki saja. Mereka kira mudah. Ternyata pasien "orang pintar" itu jauh melebihi pasien dokter-dokter spesialis yang sudah mereka kunjungi. Mereka harus antre seminggu lamanya, baru bisa bertemu "orang pintar" itu. Begitu masuk ruang praktik sang Eyang atau sang Kiai atau sang Ki, mereka terkejut setengah mati. Tercium oleh mereka bau yang luar biasa busuk. Semakin dekat mereka dengan si "orang pintar" itu, semakin dahsyat bau busuk menghantam hidung-hidung mereka. Padahal mereka sudah menutupnya dengan semacam masker khusus. Beberapa di antara mereka sudah ada yang benar-benar pingsan. Mereka pun balik kanan. Mengurungkan niat mereka berkonsultasi dengan dukun yang ternyata lebih busuk baunya daripada mereka itu.



Keluar dari ruang praktik, mereka baru menyadari bahwa semua pasien yang menunggu giliran ternyata memakai masker. Juga ketika mereka keluar dari rumah sang dukun mereka baru ngeh bahwa semua orang yang mereka jumpai di jalan, ternyata memakai masker.



Mungkin karena beberapa hari ini seluruh perhatian mereka tersita oleh problem bau di rumah tangga mereka sendiri, mereka tidak sempat memperhatikan dunia di luar mereka. Maka ketika mereka sudah hampir putus asa dalam usaha mencari pemecahan problem tersebut, baru mereka kembali membaca koran, melihat TV, dan mendengarkan radio seperti kebiasaan mereka yang sudah-sudah. Dan mereka pun terguncang. Dari siaran TV yang mereka saksikan, koran-koran yang mereka baca, dan radio yang mereka dengarkan kemudian, mereka menjadi tahu bahwa bau aneh tak sedap yang semakin hari semakin menyengat itu ternyata sudah mewabah di negerinya.



Wabah bau yang tak jelas sumber asalnya itu menjadi pembicaraan nasional. Apalagi setelah korban berjatuhan setiap hari dan jumlahnya terus meningkat. Ulasan-ulasan cerdik pandai dari berbagai kalangan ditayangkan di semua saluran TV, diudarakan melalui radio-radio, dan memenuhi kolom-kolom koran serta majalah. Bau aneh tak sedap itu disoroti dari berbagai sudut oleh berbagai pakar berbagai disiplin. Para ahli kedokteran, ulama, aktivis LSM, pembela HAM, paranormal, budayawan, hingga politisi, menyampaikan pendapatnya dari sudut pandang masing-masing. Mereka semua --seperti halnya keluarga besar kita-- mencurigai banyak pihak sebagai sumber bau aneh tak sedap itu. Tapi --seperti keluarga besar kita--tak ada seorang pun di antara mereka yang mencurigai dirinya sendiri.



Hingga cerita ini ditulis, misteri wabah bau aneh tak sedap itu belum terpecahkan. Tapi tampaknya sudah tidak merisaukan warga negeri --termasuk keluarga besar itu-- lagi. Karena mereka semua sudah terbiasa dan menjadi kebal. Bahkan masker penutup hidung pun mereka tak memerlukannya lagi. Kehidupan mereka jalani secara wajar seperti biasa dengan rasa aman tanpa terganggu. ***

Rembang, 6 Juni 2003

Sabtu, 11 September 2004

Hypermarket

Cerpen Wawan Setiawan



Bulan tetap bundar seperti jaman purba. Tapi serigala sudah diganti anjing. Harimau diganti kucing. Keduanya berkejaran di bawah bulan. Cemara-cemara berjajar. Mobil-mobil diparkir di bawahnya. Napas orang mabuk menembus angin.



"Aku sudah meramal bahwa aku kelak sampai di sini. Namun waktu tetap menatapku kelu. Dan lalu waktu bukan giliranku. Demikian penyair Amir Hamzah."



"Kamu bicara seperti orang mau dieksekusi. Rapuh benar jiwamu. Fasilitas yang kuberikan dulu tak kau gunakan?"

"Fasilitasmu sudah berubah menjadi minimarket. Lalu supermarket. Kemudian hypermarket. Jangan pura-pura tidak tahu."



"Tapi justru karena itu kamu kehilangan sejarah. Kronologi hidupmu tak menciptakan sejarah."

"Sejarah? Sejarah untuk siapa?"



"Sejarah tidak untuk siapa-siapa bukan? Itu maksudmu?"

"Sejarah untuk bulan, serigala, dan kucing, ya kan?"



Malam tak dapat mepertahankan diri untuk menjadi siang. Pada waktunya kelak siang akan dirampas malam. "Diriku akan digeser anakku. Anakku akan diganti cucuku. Dan cucuku akan menciptakan dinasti. Dinasti pemberani, serigala pemberani yang tahu dominasi manusia dalam dirinya. Tak ada jalan lain kecuali kompromi."

***

Demikian anganku mengejar bayangannya. Kutarik resliting celana ke atas setelah kunikmati kencing selega udara malam. Kuhirup aroma daun cemara gugur, bau kematian yang indah. Dan mataku ketagihan menyesap bulan.



Bulan sudah lama ditaklukkan, tapi diriku belum. Tak apa, selama serigala masih berkeliaran di tengah kota, penemuan diri tetap tak semudah memanjat wanita.



"Kamu telah mengkhianatiku!"

Aku kaget. Seorang pemabuk begitu saja membentakku dari mobilnya yang pintunya terbuka.



"Bagaimana mungkin itu. Kapan kamu kenal aku?"

"Kamu dibesarkan bahasa. Lihai kata-katamu."



"Kamu dibesarkan minuman. Pedih suaramu."

Pemabuk itu terbahak-bahak. Mulutnya menganga seakan mau menelan semua sejarah bintang ke dalam tenggorokannya.



"Aku tak mabuk. Aku tahu, betul-betul tahu, bahwa kamu pengkhianat, bahwa kamu tak lebih dari sampah. Sumpah!"

"Kamu insomnia. Kamu mencaplok dunia malam semua wanita kota ini. Inkarnasimu sia-sia. Isi perutmu baiknya disedot mesin kuras tinja," ia berkata-kata begitu sambil berteriak-teriak. Kutarik tangan si pemabuk itu, kumasukkan tubuhnya ke dalam mobil. Kugebrak pintu depannya keras-keras. Biar tahu rasa dia. Saat ekonomi sesulit sekarang, pemabuk makin tambah saja.



Kumasuki segera hypermarket itu dengan amarah. Kuturuti semua yang diminta.

"Kuturuti apa yang kamu mau, aku telah menjadi konsumen sejati, biar puas dirimu." Dengan gaya pesta agung kucomoti bermacam botol berbagai merk. Sampai kereta dorongku berjubel. Kulihat setiap botol itu dengan gagah menampilkan satu bayangan sundel, seikat uang, dan setumpuk kehinaan.



"Mas beli sebanyak ini apa ada pesta penting. Pesta ultah ya?"

Kassanya bertanya kalem. Matanya genit, berkedip-kedip, mengundang masuk. Kini hypermarket menyediakan kassawati 24 jam.



"Ya, untuk kecerdasan, untuk kesantaian. Tapi, Mbak Lia," begitu nama yang kulihat di dadanya yang montok, "Mbak harus lapor ke manager bahwa aku konsumen sejati, kalau bisa lapor ke Muri, sebagai konsumen minuman yang memecahkan rekor."



"Muri?" Matanya yang berkedip berubah mendolong.

"Ya, saudaranya burung nuri!" Mbak Lia tanda tanya tapi setelah itu



senyum-senyum penuh harap agar aku datang lagi selarut begini suatu malam kelak. Kudorong kereta keranjang itu. Bertumpuk botol menuju mobil dan akan siap mendongkrak mereka ke dunia entah berantah.



Mataku tergoda cewek berkaos merah bercelana pendek ketat gelap berjalan melenggok menuju sebuah Corona. Sialan, si banci itu begitu berduit.



Pelayan hypermarket tergopoh-gopoh mendorong kereta menuju mobil dan kemudian memasukkan seluruh belanjaannya ke bagasi. Si banci memberi sejumlah tip. Pelayan membungkuk sempurna.



Segera kugelontor botol-botol itu ke sejumlah mobil yang tertidur di bawah cemara. Mereka tertidur karena nikmat. Bau napas mereka menyaingi bau daunan cemara yang berguguran. Kalau nanti mereka bangun, pasti botol-botol itu akan didekapnya begitu saja. Sambil membayangkan keberhasilan para konglomerat, mereka akan terus menenggak botol-botol itu tanpa tanya dari mana.



Setelah menggelontor botol ke para pemabuk buduk, aku kembali ke mobil. Tapi belum sempat masuk ke jok depan, suara pisuhan panjang menggempur kupingku lagi.



"Kamu gadaikan hidupmu demi barang-barang basi!"

Aku segera berlari ke arahnya.



"Apa katamu?" Kebenturkan mataku ke matanya yang merah-kosong.

"Kau gadaikan hidupmu demi barang-barang basi."



"Sok tahu lu. Barang basimu kali."

"Kamu jilati barang-barang basi itu. Takut kehilangan, ya. Kamu gopok."



"Sejak tadi barang basi melulu mulutmu itu."

"Kamu menyembah popularitas."



"Tapi kamu menyembah botol."

"Ya, kamu menyembah teori."



"Tapi, kamu jilati botol sampai kau temu malaikat."

"Kamu jilati teori sampai kau temu juru selamat."



"Sudah, sudah. Minum saja biar pencerahanmu tak terkalahkan. Kamu memang gigolo sejati. Nikmatilah dirimu dengan penuh keriangan."

Kudesak tubuhnya ke dalam mobil. Kugebrak pintunya lebih keras dari yang tadi. Masing-masing lima botol kutaruh ke jok samping. Lima tutupnya kubuang jauh-jauh.

***

Aku terengah-engah. Mengapa aku tadi ikut parkir di bawah cemara. Kupikir aku bisa santai sambil membayangkan peradaban baru yang bakal tiba, suatu peradaban yang tak terkalahkan oleh akal licik manusia. Padahal, sambil berandai-andai demikian aku berharap peroleh terapi setelah jenuhku tak tertolong di tempat kerja. Puluhan tahun dan hampir setiap hari aku harus memandikan mayat di RS Teruna di sebelah timur Rutan Tulangresik.



Banyak orang menjauhi pekerjaan itu. Menurut mereka, pekerjaan ini membuat orang sering menemui banyak peristiwa aneh seperti malam ini. Bayangkan ada lima mobil berderet, semuanya dihuni para pemabuk. Saking kerasnya bau mulut mereka, bau daunan cemara yang berguguran dapat dikalahkan.



Kalau siang, lokasi di bawah cemara ini sering dipakai parkir mobil-mobil anak remaja yang bolos sekolah. Mereka berpacaran sambil menenggak minuman ringan, dan sering menyuntikkan cairan seribudewi ke nadi. Nah, kalau malam para pemabuk yang sudah parah mangkal di sini. Halaman hypermarket memang luas, lima kali luas bangunannya. Padahal bangunan hypermarket itu dua kali luas lapangan bola, dan berlantai tujuh persis tujuh lapis semesta yang ada di sorga.



Lokasi kelompok cemara seribu meter jaraknya ke tepian gedung. Bisa leluasa di sini karena jalan besar juga masih seribu meter ke arah berlawanan, suara deru lalin hanya sayup. Jarak-jarak itu disatukan oleh jalan paving, rumput-rumput halus, dan bunga-bunga kecil. Di jalan besar banyak polisi patroli malam tapi mereka tak akan berani menyentuh wilayah ini. Bukan kaplingannya. Ini adalah wilayah para satpam penembak jitu yang sudah disogok dengan gaji ketiga belas disertai satu truk bingkisan yang isinya pasti perempuan garukan, puluhan kaleng biskuit, baju-baju factory outlet, buah-buah negeri dingin, dan juga minuman keras merk-merk ternama.



Padahal aku jenuh di tempat kerjaku. Pikiran, hati, dan tubuhku, sibuk memandikan mayat. Jangan-jangan, aku nanti akan memandikan salah satu dari mereka. Sebab mereka telah memenuhi tahap awal yang sangat memungkinkan: menjadi pemabuk, menyetir mobil sendiri, menabrak mobil sipil atau polisi, tiang listrik, atau kereta api. Masya Allah, secara tak sadar aku telah menggiring kematian mereka.



Selain itu, banyak perempuan kudekati, setelah menikmati madu dan racun, mereka menolak. Alasan mereka sederhana: kerjaku pemandi mayat. Padahal aku butuh mereka seperti halnya mereka butuh aku. Hidupku akhirnya dari short time ke short time. Kadang-kadang cairan seribudewi berpatroli ke urat-urat nadi. Seribudewi ini sarat janji-janji perihal peradaban baru yang tak ada di realita karena hyperrealita.



"Masum," demikian pengakuan seorang perempuan. "Meski kauberi aku seluruh hypermarketmu, takkan kugadaikan hidupku pada hidup seorang pemandi mayat."



Dengan sepatu hak tingginya dan kakinya yang lencir, ia kemudian ngacir meninggalkanku menuju lelaki lain, dunia lain. Aku hanya berdeham-dehem melihat laku lajaknya.



Tapi aku tadi sudah dihantam mulut mereka. Aku katanya takut kehilangan barang-barang basi yang diperjualbelikan hypermarket: negara, agama, wanita, popularitas, dan juga keabadian. Mereka telah menghantamku bergantian dan habis-habisan. Dan aku tak tak tinggal diam. Kugelogok mulut mereka yang terus menganga dengan berbotol-botol minuman berbagai "atas nama". Mereka kemudian berkejat-kejat, berkhayal-khayal, membangun negeri yang tak pernah ada, sampai akhirnya mereka diam dalam gerak yang sempurna. ***

Surabaya, 24 Juni 2004

Minggu, 05 September 2004

Pesta Syukuran

Cerpen Manaf Maulana



PAK Mahdi sudah tampil rapi, berpeci hitam, berbaju koko putih dan bersarung kotak-kotak biru. Ia berdiri di ambang pintu pagar rumahnya, menyambut tamu undangan. Kemarin, surat undangan syukuran sebanyak 200 lembar telah dikirimkan ke rumah-rumah tetangga sekitar dan teman-teman dekat.



Di ruang keluarga yang cukup luas mirip aula itu, Bu Mahdi sibuk mempersiapkan hidangan ala prasmanan dengan menu istimewa. Di atas meja panjang yang terbalut kain hijau, ada gule dan sate kambing, sate ayam, ayam bakar, ayam goreng, opor ayam, bestik daging sapi, sop buntut, acar, sambal hati. Juga ada berbagai macam buah segar: apel merah, anggur hijau, jeruk impor, peer dan pisang mas.



Dengan wajah berseri-seri, Pak Mahdi melirik arlojinya. Sudah jam 19:30. Ia menduga, tamu undangan akan hadir tepat pada jam 20:00, sesuai waktu yang tertulis di dalam surat undangan. Menit-menit berlalu, dan ketika arlojinya sudah menunjukkan jam 19:55, belum ada satu pun tamu yang hadir. Bu Mahdi tergopoh-gopoh keluar dari ruang keluarga, setelah selesai mempersiapkan hidangan istimewa itu.



"Kok belum ada yang datang, Pak?" tanyanya dengan wajah tegang.

"Mungkin orang-orang di lingkungan perumahan ini sangat disiplin, Bu. Mereka mungkin akan datang tepat pukul delapan. Lima menit lagi," jawab Pak Mahdi dengan wajah yang juga tiba-tiba nampak tegang.



Bu Mahdi mencibir. "Uh! Menghadiri undangan pesta kok dipas jamnya. Dasar sok disiplin," gerutunya dengan kesal.

Pak Mahdi juga mulai dilanda kesal, karena belum juga ada seorang pun tamu undangan yang hadir di rumahnya. Ia mulai bertanya-tanya, kenapa tetangga-tetangga dekatnya juga belum hadir? Apakah mereka sedang tidak ada di rumah? Ia memang belum mengenal semua tetangganya, karena baru saja pindahan sepekan lalu. Rumah barunya yang megah berlantai dua itu terletak di tengah-tengah lahan kosong di tengah perumahan itu. Dulu, ia membeli sejumlah kaplingan sekaligus, dan di bagian tengah kaplingan itulah ia mendirikan rumah megahnya itu. Kini, rumahnya itu satu-satunya rumah termegah di kawasan perumahan itu. Rumah-rumah tetangganya hanya bertipe 21 dan 36.



"Mungkinkah semua tetangga dan teman-teman dekatmu tidak ada yang bersedia hadir, Pak?" tanya Bu Mahdi dengan wajah kesal.

"Sabarlah, Bu. Mungkin sudah menjadi kebiasaan di kampung ini, jika menghadiri undangan selalu terlambat." Pak Mahdi mencoba menghibur diri.



"Tapi ini sudah lewat lima belas menit, Pak."

Kembali Pak Mahdi melirik arlojinya. Memang sudah lewat lima belas menit dari jam delapan. Wajah Bu Mahdi dan Pak Mahdi semakin tegang, karena menit-menit terus berlalu, tapi belum juga ada satu pun tamu undangan yang hadir.



Tiga orang pembantu dan dua sopirnya nampak tersenyum-senyum di ambang pintu ruang keluarga. Mereka pasti berharap agar pesta syukuran itu gagal, atau hanya dihadiri sebagian kecil tamu undangan. Sebab, jika pesta syukuran itu gagal atau hanya dihadiri sebagian kecil tamu undangan, maka akan ada banyak sisa hidangan yang bisa dibawa pulang untuk dinikmati bersama keluarga di rumah.



Kini sudah jam 21 kurang 10 menit. Dan tetap belum ada seorang pun tamu undangan yang hadir. Dengan kesal, Pak Mahdi kemudian mencoba menelepon teman-teman dekat yang telah diundangnya. Tapi ternyata mereka semua mematikan hp-nya. Sedangkan telepon di rumah mereka juga tidak bisa dihubungi.



"Apa perlu kita menyuruh sopir-sopir itu untuk mengingatkan tetangga-tetangga dekat agar segera hadir, Pak?" Bu Mahdi bingung.

"Ah, tak usah repot-repot, Bu."



"Tapi bagaimana kalau pesta syukuran malam ini gagal, Pak?"

"Kalau tidak ada yang bersedia datang, kita justru tidak repot-repot, Bu."



"Kamu ini bagaimana sih, Pak?"

"Ah, sudahlah, Bu. Yang penting, nadzar kita mengadakan pesta syukuran sudah kita lakukan. Dan kalau ternyata tidak ada yang datang, bukan urusan kita. Hidangan yang sudah kita sajikan, bisa dibawa pulang oleh sopir-sopir itu."



Bu Mahdi kemudian bungkam. Tapi hatinya risau. Ia menduga, semua tetangga dan teman-teman dekat sudah tahu betapa Pak Hasan adalah pejabat yang korup. Rumah megah itu juga hasil dari korupsi.



"Kalau sampai pukul sembilan nanti belum ada tamu yang hadir, kita tutup saja pintu pagar ini, dan semua lampu dipadamkan, Bu. Aku sudah capek, ingin segera tidur. Besok aku punya banyak acara penting. Ada rapat di hotel." Pak Mahdi nampak mulai putus asa.



Bu Mahdi kemudian bergegas masuk ke kamar tidurnya. Rasa kesal bercampur sedih tidak bisa dibendungnya. Ia terpekur sambil bercermin di meja rias. Kini, ia seolah-olah sedang ditelanjangi oleh tetangga dan teman-teman dekat. Mereka tidak bersedia hadir pasti karena tidak sudi menikmati hidangan yang berasal dari uang hasil korupsi.



Kini, di mana-mana memang sedang ada gerakan mengutuk para koruptor. Kini, semua pejabat yang hidup bermewah-mewahan dan punya rumah megah telah menjadi pergunjingan masyarakat di sekitarnya. Dan sejak muncul gerakan mengutuk para koruptor, Pak Mahdi nampak risau. Lalu, Bu Mahdi menyarankan untuk mengadakan acara pesta syukuran dengan mengundang semua tetangga dan teman-teman dekat. Dalam pesta syukuran itu, selain menikmati hidangan istimewa, semua tamu diminta untuk membaca doa bersama yang akan dipimpin oleh seorang ulama.



"Kalau rumah yang kita bangun sudah kita tempati, kita memang harus mengadakan pesta syukuran, Bu," kata Pak Mahdi.

Lalu Bu Mahdi bilang bahwa kata Pak Mahdi itu sebagai sebuah nadzar yang harus dilaksanakan. Dan kini, nadzar itu sudah dilaksanakan, tapi ternyata terancam gagal total.



Pak Mahdi tiba-tiba menyusul Bu Mahdi ke kamar. "Pintu pagar sudah ditutup, Bu. Ayo tidur saja. Biarkan saja sopir-sopir dan pembantu-pembantu itu menikmati hidangan yang ada."



Bu Mahdi menangis. "Rupanya semua orang sudah tahu kalau kamu korupsi, Pak."

"Ah, persetan, Bu. Yang penting, tidak akan ada proses hukum yang bisa mengadili para koruptor seperti aku. Kalau kita dikucilkan di dalam negeri, masih ada tempat untuk hidup nyaman di luar negeri. Aku bisa mengikuti para seniorku yang kini hidup nyaman di negara-negara lain."

***

ESOKNYA, Pak Mahdi dan Bu Mahdi sibuk menerima telepon dari teman-teman dekat yang tidak bisa menghadiri undangan pesta syukuran. Kebanyakan mereka tidak bisa hadir karena ada udzur berupa musibah.



"Maaf ya, Pak Mahdi. Saya dan nyonya tidak bisa hadir, karena mendadak ada kerabat dekat yang meninggal dunia."

"Maaf, ya Bu Mahdi. Saya dan suami tidak bisa hadir, karena anak kami tiba-tiba sakit dan harus dibawa ke rumah sakit."



"Aduh, saya minta maaf karena tidak bisa hadir. Maklumlah, kami sedang berduka atas wafatnya anjing kesayangan kami."

"Sungguh, kami sedianya sudah bersiap-siap untuk hadir. Tapi mendadak ban mobil kami meledak, sedangkan ban serepnya baru saja dipinjam tetangga dekat."



Pak Mahdi dan Bu Mahdi sangat kesal sehabis menerima telepon. Sebab, semua teman dekatnya meminta maaf karena tidak hadir gara-gara mengalami musibah.

Seolah-olah mereka mengatakan bahwa musibah yang dialaminya disebabkan oleh undangan pesta syukuran itu. Mereka seolah-olah ingin mengatakan bahwa jika mereka hadir pasti akan tertimpa musibah yang lebih besar.



Kini, Pak Mahdi dan Bu Mahdi semakin yakin, betapa semua teman dan tetangga sudah memandangnya sebagai manusia yang menjijikkan. Mereka tidak bersedia menghadiri undangan pesta syukuran pasti karena jijik.



"Gagalnya pesta syukuran yang kita laksanakan, justru membuatku semakin bergairah mencari banyak uang untuk bekal hidup di luar negeri, Bu. Rasanya kita tidak akan bisa nyaman lagi tinggal di dalam negeri. Masa tugasku tinggal satu tahun. Waktu satu tahun akan kugunakan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya," tutur Pak Mahdi dengan menerawang jauh. Terbayang para seniornya yang kini sedang main golf dan main catur di Singapura.

***

GERAKAN mengutuk para koruptor semakin marak di mana-mana. Pak Mahdi dan Bu Mahdi semakin risau. Dan di pagi itu, ketika sedang menikmati kopi dan roti di beranda belakang, tiba-tiba pembantu-pembantu dan sopir-sopirnya mendekat dan berpamitan. Mereka mengaku takut, karena rumah megah berlantai dua itu terasa angker. Mereka juga mengaku sering bermimpi buruk dan mengerikan. Dalam mimpi mereka seolah-olah melihat rumah megah berlantai dua itu sedang terbakar, dan mereka terperangkap di dalam kobaran api.



Dan sejak kehilangan semua pembantu dan sopirnya, Pak Mahdi dan Bu Mahdi merasa sedih, tegang dan takut menghuni rumah barunya yang megah berlantai dua itu. Seolah-olah rumahnya itu bagaikan penjara yang mengurungnya. Kini, semua sanak familinya juga semakin menjauh.



"Sebaiknya kita menyusul anak-anak, Pak." Bu Mahdi tak tahan lagi tinggal di rumah megah itu. Terbayang selalu dua anaknya yang kini sedang kuliah di Singapura.



"Ya, Bu. Kita memang harus segera menyusul mereka, untuk mencari tempat tinggal di sana. Mereka tidak usah pulang setelah selesai kuliah. Biarlah mereka

tetap di sana."



"Rumah ini harus segera dijual, Pak."

Pak Mahdi setuju, tapi menjual rumah megah sekarang tidak mudah. Ia teringat sejumlah seniornya yang kesulitan menjual rumah megah, lalu terpaksa ditinggalkan begitu saja.



"Sebaiknya kita memasang iklan di koran-koran, juga pengumuman di pintu pagar bahwa rumah ini dijual, Pak," usul Bu Mahdi.

Tanpa bicara lagi, Pak Mahdi segera memasang iklan di koran-koran dan papan pengumuman di pintu pagar. Dan hari-hari selanjutnya, Bu Mahdi terpaksa sibuk di dapur, menyapu lantai, mencuci pakaian, belanja ke pasar, karena tidak bisa lagi mencari pembantu. Pak Mahdi juga terpaksa pergi dan pulang kantor dengan menyetir mobilnya sendiri, karena tidak bisa mencari sopir lagi.



"Ada surat undangan pesta syukuran dari Pak Samad," ujar Bu Mahdi sambil menyerahkan surat undangan tanpa amplop selebar kartu pos itu, ketika Pak Mahdi baru pulang kantor, sore itu.



"Pak Samad mengadakan pesta syukuran? Memangnya barusan memperoleh rejeki dari mana tukang becak itu?"

Pak Mahdi nampak heran. Ia tahu, Pak Samad sehari-hari menjadi tukang becak. Rumahnya di seberang lahan kosong, sebelah timur, yang setiap hari dilaluinya ketika ia pergi dan pulang kantor. Rumah Pak Samad hanya tipe 21.



Dengan dorongan rasa ingin beramah tamah dengan para tetangga, Pak Mahdi bersedia menghadiri undangan Pak Samad. Ia tiba di rumah Pak Samad tepat waktu. Dan ia heran, karena halaman rumah Pak Samad sudah dipenuhi oleh tamu undangan.



Wajah Pak Samad berseri-seri ketika menjabat tangan Pak Mahdi. "Maaf, Pak. Silahkan duduk. Tempatnya kotor," ujarnya sambil menunjuk selembar tikar yang terpaksa digelar di tepi jalan, karena semua kursi sudah diduduki oleh tamu.



Dengan berat hati, Pak Mahdi duduk lesehan di atas tikar, sehingga perutnya yang gendut terasa pegal. Pantatnya juga terasa nyeri, karena hamparan aspal di bawah tikar kurang rata.



Sebentar kemudian, Pak Samad duduk di samping Pak Modin yang ditunjuk untuk menjadi pemimpin doa bersama. Dan sebelum berdoa, Pak Modin menjelaskan bahwa tuan rumah mengadakan pesta syukuran sederhana itu karena telah mampu membeli becak baru.



Dan setelah berdoa bersama, hidangan yang disajikan ternyata cuma sepiring nasi goreng dan segelas teh manis. Semua hadirin menikmati hidangan pesta syukuran yang sangat sederhana itu.



Pak Mahdi nampak muak dan ingin muntah, ketika baru saja menelan sesendok nasi goreng yang terasa sangat hambar itu. Tapi, anehnya, wajah semua hadirin nampak berseri-seri menikmati nasi goreng itu.***

Pondok Kreatif, 2004