Pages

Minggu, 31 Oktober 2004

Perempuan Kecil Bermata Belati

Cerpen Ahmadun Yosi Herfanda



Mulanya hanyalah seorang pengemis kecil yang kudorong dengan kasar sehingga jatuh terduduk ke gundukan batu-batu. Muncul dari sekelompok pengemis yang menunggu para pendaki di tepi jalan setapak menuju Gua Hira, gadis kecil itu mencegatku di deretan paling depan dan langsung menggelayuti sajadahku dengan cengkeraman yang begitu kuat. "Ana miskin...ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata iba sambil menadahkan tangan kanannya ke dadaku.



Ketika itu aku benar-benar kehabisan uang kecil, karena terlalu banyaknya pengemis di sepanjang jalan setapak itu --konon mereka datang dari daerah-daerah miskin di Asia Tengah. Kalaupun masih ada uang receh di dompetku, paling kecil 10 dinar dan ini pecahan yang tidak lazim dibagikan kepada pengemis. Tetapi, ternyata tidak gampang untuk menolak pengemis-pengemis yang rata-rata masih di bawah umur itu. Mereka akan menggelayuti tangan, ujung baju, sarung, sajadah, atau apa saja, untuk memaksa pendaki memberi mereka uang receh.



Begitulah dengan gadis kecil yang menggelayuti ujung sajadahku, sehingga aku sulit untuk meneruskan perjalanan. Barkali-kali aku mencoba menolaknya dengan halus, dengan bahasa Inggris campur Arab, "No money... no more... no more.... La... la... Ana laisa fulus... laisa fulus...Halas...halas!" kataku sambil menggerakkan tangan dengan isyarat menolak, dengan harapan ia mengerti maksudku dan segera melepaskan ujung sajadahku.



Tapi, gadis kecil itu masih menggelayut begitu kuat di ujung sajadahku, sampai terjadi tarik-menarik sajadah antara aku dengan si kecil yang punya "daya juang" tinggi itu. Maka, dengan agak marah, kutarik sekeras-kerasnya sajadahku, lepas dari cengkeramannya. Dan, ketika gadis kecil itu tetap memburuku untuk meraih ujung baju kokoku, kuhempaskan dia dengan kasar, sehingga terhuyung-huyung jatuh terduduk ke atas gundukan batu-batu. "Ana miskin... ana miskin...," rengeknya dengan tatapan mata cokelat yang makin mengiba ke arahku.



Dan, tatapan itulah yang terus memburuku, terus menusuk-nusuk ulu hatiku, sampai aku kembali ke hotel. Saat makan malam, tiap menjelang shalat, dan terutama menjelang tidur, mata cokelat perempuan kecil itu seperti hadir kembali dengan seluruh dirinya. Wajahnya yang oval dengan hidung mancung, alisnya yang tebal dengan mata cokelat bulat lebar --wajah khas Afghanistan-- dengan rambut panjang hitam kemerahan dikepang dua, seakan hadir seluruhnya dengan begitu nyata. Dan, suaranya seperti terngiang-ngiang kembali di telingaku, "Ana miskin... ana miskin...."

***



Perempuan kecil itu sebenarnya sangat cantik. Setidaknya, di atas rata-rata anak perempuan Indonesia. Usianya mungkin baru sekitar 10 tahun. Posturnya yang tinggi-padat dengan kulit kuning bersih sebenarnya kurang pas dengan pekerjaannya sebagai pengemis. Apalagi di bukit terpencil yang terik di siang hari dan menggigilkan di malam hari. Hanya rok hijau lusuhnya yang kumal dan robek-robek, dan rambutnya yang tidak terurus, yang memberi kesan dia sebagai gembel.



Sejujurnya, ketika itu kami juga sedang merindukan anak perempuan, untuk melengkapi dua anak laki-laki kami. Dan, doa inilah yang berulang-ulang kuucapkan di multazamm --tempat berdoa yang paling mustajab-- sehabis wukuf. "Kamu merindukan anak perempuan....Kamu terus berdoa memohon anak perempuan. Tetapi, kenapa kau tolak kehadiran anak perempuan, bahkan kau sakiti hatinya?" Sebuah suara tiba-tiba menyambar batinku.



Ya, perempuan kecil itu memang cukup mewakili sosok anak perempuan yang kurindukan, cantik, sehat, dan cerdas. Namun, tentu bukan pengemis. Jelas aku takkan ikhlas anakku jadi peminta-minta. Anakku harus mandiri dan banyak memberi. Bukan banyak meminta. Tapi, mengapa wajah perempuan kecil itu terus memburuku dan tatapan mata ibanya terus menusuk-nusukkan belati ke ulu hatiku?

***



Keesokan harinya aku benar-benar kembali mendaki Jabal Noor (Bukit Cahaya) untuk menemukan gadis kecil bermata belati itu. Kuingat betul wajah kekanakannya, mata bulat cokelatnya, alis tebalnya, hidung mancungnya, bibir merekahnya, dan rambutnya yang hitam kemerahan dan dikepang dua. Juga kuingat baju hijau lusuhnya yang robek lengan dan ujung kanannya, kaki telanjangnya yang ramping, dari kelompok pengemis mana ia muncul dan di mana ia kuhempaskan.



Tetapi anehnya, sesampai di lereng yang kuyakini sebagai tempat perempuan kecil bermata belati itu kuhempaskan, tak ada satu pun pengemis yang mencegatku. Beberapa pengemis kecil, kebanyakan perempuan, tetap asyik bermain di dekat bebatuan atau duduk-duduk santai di atas gundukan batu. Kusapukan pandanganku berkali-kali ke seluruh penjuru lereng itu, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati itu. Akhirnya, anak-anak gembel itulah yang kupanggil untuk mendekat sambil berharap perempuan kecil yang kucari itu segera muncul dari balik bebatuan atau dari dalam gubuk kayu beratap kain-kain lusuh tidak jauh dari jalan setapak itu.



Beberapa kelompok pengemis kecil sudah mendekat dan segera pergi lagi setelah semua mendapat uang receh dariku, tapi tidak kutemukan juga perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. "Ah, mungkin anak itu sudah pindah ke lereng yang agak ke atas," pikirku.



Aku sudah hendak melangkahkan kaki untuk mendaki lagi, namun ujung sajadahku tiba-tiba terasa berat. Aku menengok ke belakang, dan kulihat seorang perempuan kecil menggelayut di ujung sajadah tipis yang kuikatkan di pinggangku. "Ini dia!" teriakku dalam hati. Aku yakin, dialah perempuan kecil bermata belati yang kucari itu. Kurogoh saku baju kokoku, dan kuberi dia beberapa dinar. "Syukron... syukron!" katanya sambil menghitung-hitung uang itu dan meloncat-loncat kecil menjauhiku.



Melihat kegembiraan itu, dadaku terasa plong, seperti baru saja melunasi hutang pada kawan sekantor yang begitu mengganjal perasaan karena ia sering menagihnya. Maka, dengan perasaan lega akupun meneruskan perjalanan ke puncak, sebab masih terlalu siang untuk kembali ke hotel. Setidaknya, aku bisa shalat Ashar di puncak Jabal Noor atau di Gua Hira --tempat Nabi Muhammad SAW dulu menerima wahyu pertama.



Tetapi, baru sekitar 50 meter melangkah, aku melihat gadis kecil yang sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kucari. Penampilannya masih seperti kemarin. Rambutnya masih dikepang dua, dan ketika kudekati, tatapan ibanya yang mengandung belati masih tajam menusuk ulu hatiku. "Ah, jangan-jangan ini yang benar," pikirku. Dan yang bersamanya, aku ingat, adalah pengemis-pengemis kecil yang kemarin juga. Hanya warna bajunya, lagi-lagi, yang berbeda. Kemarin hijau lusuh, kini kuning kecoklatan. Maka, kurogoh lagi saku bajuku lalu kuberi dia lima dinar. Dengan wajah terbengong-bengong gadis kecil itu menerimanya.



Namun, ketika aku hendak melangkah lagi, tiba-tiba ada yang terasa menggelayuti tangan kiriku, dan ternyata seorang perempuan kecil yang wajahnya sangat mirip dengan gadis kecil bermata belati yang baru saja berlalu. Rambutnya pun hitam kemerahan dan dikepang dua. Bajunya juga hijau lusuh seperti baju gadis kecil yang kucari itu. "Ana miskin... Ana miskin...," rengeknya sambil menadahkan tangan kanannya, persis seperti rengek perempuan kecil yang kemarin kuhempaskan ke atas gundukan batu.



Ini yang benar, pikirku. Inilah perempuan kecil yang kucari. Maka, segera kurogoh lagi saku celana jinku, dan kuberikan beberapa dinar kepadanya. Tetapi, bersamaan dengan itu, seperti serentak muncul pengemis-pengemis kecil dari balik bongkahan batu, dari celah bukit, dari dalam gubuk-gubuk beratap kain lusuh, lima, sepuluh, lima belas, tiga puluh .... dan banyak di antara mereka yang wajahnya sangat mirip dengan perempuan kecil bermata belati yang kemarin kuhempaskan itu. Mereka melangkah serentak ke arahku, seperti mumi-mumi hidup, dengan pakaian compang-camping, sambil menadahkan tangan dan koor, "Ana miskin... ana miskin...."



Dengan begitu cepat pengemis-pengemis kecil itu mengepungku, sehingga aku tak dapat menghindar dari mereka. Dengan agresif tangan-tangan kecil mereka pun menadah di sekelilingku, bertempelan di dadaku, di lengan kanan-kiriku, di punggungku. Dan, dengan tatapan-tatapan iba yang menghunjamkan puluhan pisau belati ke ulu hatiku, mereka memaksaku untuk menguras seluruh isi saku bajuku, saku celanaku, dan dompetku. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu, kubagikan semua sisa recehan satu dinar, lima dinar, dan bahkan sepuluh dinarku.



Satu demi satu mereka pun pergi meninggalkanku, kembali ke balik bongkahan-bongkahan batu, ke dalam gukuk-gubuk beratap kain lusuh dan ke celah-celah pebukitan tandus Jabal Noor. Dengan tubuh lemas dan perasaan tak menentu, akhirnya aku turun, dan langsung menuju Masjidil Haram. Usai shalat Ashar aku meninggalkan masjid untuk kembali ke hotel. Tapi, di pintu keluar aku masih dicegat seorang perempuan kecil bermata belati itu. Dan, ini yang paling persis di antara gadis-gadis kecil bermata belati yang kutemukan di Jabal Noor tadi. Rambutnya masih dikepang dua, dan roknya juga masih hijau lusuh dengan robekan kecil pada lengan kiri dan ujung bawah kanannya.



Maka, tanpa pikir panjang kurogoh dompetku dan kucari sisa uang receh yang ada. Tapi, tak ada lagi uang receh di sana. Yang kutemukan tinggal selembar 50 dinar. Dan, tidak tahu apa yang terjadi dengan diriku, uang itu kuberikan begitu saja padanya. Sampai di kamar hotel aku baru sadar, yang kuberikan pada perempuan kecil bermata belati itu ternyata satu-satunya sisa uang sakuku. ***



Makkah-Jakarta, 1994-2004

Sabtu, 30 Oktober 2004

Tiga Sekutu Setan

Cerpen Muhidin M Dahlan



KAU orang muda Jawa-Arab yang pergi ke tanah haram. Mungkin mengikuti jejak spiritualitas para nabi. Atau berharap mendapatkan barakah kesempurnaan hidup dan kecemerlangan pandangan jiwa dalam menangkap lenggak-lenggok kehidupan. Seperti para nabi. Seperti orang-orang suci yang pernah lahir dan tertempa di sana. Kau ingin mengikuti jalan mereka.



Dan sepuluh tahun sudah. Ya, genap sepuluh tahun kau belajar kepada syekh itu atas rekomendasi syekh ini. Sebuah pola pemberian ajar berantai panjang khas tanah haram. Pelbagai ajaran kau timba. Segala cerita perjalanan sang abid kala safar di jalan-Nya telah kaudengarkan. Dan pelbagai pengalaman telah kau cerap dalam lakumu.

Dan kini, sesuai niat dan janji dan perjanjian pada para wali sepuh di tanah kelahiranmu, yakni belajar 10 tahun, kau pun akhirnya memutuskan untuk bersegera pulang. Meninggalkan gurun dengan angin Sahara yang ganas itu. Ah, betapa tak banyak yang tak tahu hakikat sahara itu. Juga mungkin kau salah satunya, walau kau telah menggali sedalam-dalamnya pengetahuan di balik lipatan pasir-pasir ini selama satu dasawarsa menurut perhitungan Masehi. Bahwa Sahara yang begitu sederhana, padat, tanpa ornamen sedikit pun itu terselip gugusan kekosongan dan kehampaan. Juga kemurnian dan kesucian. Mirip Atlantis dan Shangri-La. Di tanah inilah lahir dan membiak orang-orang suci yang mendaraskan dan mengubah wajah padang pasir yang begitu sengat, luas, hampa, dan bisu, menjadi sepenuhnya wajah Allah, cermin keterhempasan dalam kemegahan. Dalam kesunyiannya yang menciutkan nyali itu, seorang insan dilenyapkan dan sekaligus dihadirkan. Setiap insan ditunjuk -atau tepatnya dipaksa- untuk hidup dalam sikap berjuang. Bukan usaha menaklukkan, melainkan bertahan melintasi nasib Sahara untuk mendapatkan oase-oase kedamaian. Gurunlah membuat penghuninya ramah-ramah yang kemudian melahirkan ribuan kuplet kisah, pengalaman-pengalaman spiritual, dan kerendahan hati, sekaligus sikap teguh diri dan insan-insan yang hidup sederhana.



Di tengah jalan pulang menuju dermaga kau berpapasan dengan seorang lelaki. Ia menghampirimu. Tubuhnya dibaluti jubah putih yang tak lagi baru karena telah disikat usia. Demikian juga kepalanya. Terbalut rapat oleh balutan kain. Kulit wajahnya legam disepuh oleh panasnya matahari dan disergap bara pasir-pasir yang berkilat-kilat seperti hamburan ngengat butir kristal.



Kau sedikit gugup atas kedatangannya. Namun kegugupan itu kau sembunyikan rapat-rapat. Ia tersenyum. Mungkin itu senyuman manis. Dan kau membalasnya juga dengan senyuman. Tak kalah manisnya.

Kau tanya siapa ia. Ia hanya tersenyum. Kau ulangi pertanyaan serupa. Ia tersenyum lagi. Setelah tiga kali kau mengulangi pertanyaan yang serupa, ia kemudian membuka suara. Suaranya tampak berat dan seperti suara seorang pewejang di atas mimbar khotbah. Anggapmu begitu.



Ia memperkenalkan diri. Pelan dan tertata ia merangkai setiap patahan kata kalimat. Seperti diatur rapi.

"Aku bukan dari tanah ini, tuan. Aku orang jauh. Sisa keturunan Hamor yang dibantai oleh keturunan Yakoov."

Kau terkejut. Coba meminta konfirmasi. "Maksud tuan, ah, maksudku apakah Nabi Yakub yang tuan maksudkan?"

"Ya, ya," jawabnya. Matanya menatap matamu. Kalian beradu mata.

"Tuan, bagaimana mungkin itu terjadi. Tidak mungkin seorang nabi bisa membantai orang. Mereka adalah orang terpilih dan memiliki pengecapan cinta yang tak ada bandingnya. Hati mereka telah dijagai oleh Allah. Terlindunglah mereka dari segala angkara dan perbuatan-perbuatan jahili," kau coba mempertahankan dasar cerita yang pernah kaudengarkan. Sekuatnya kuda-kuda pengaman kau pasang di sepasang pacak kakimu. Apalagi di hadapan orang asing seperti yang ada di depanmu saat ini.



"Tapi aku punya cerita lain tentang hakikat kesucian. Ya, kalau mengingat cerita itu lagi, ah... ah...."

Kau melihat ia agak terguncang dengan ingatan kesilamannya. Terlihat dari raut wajahnya yang tiba-tiba saja bermendung. Tampak ada tekanan mahaberat yang sudah berbiak lama dalam pusat golak hidupnya.



"Cerita apa yang telah membuat tuan begitu tertekan. Tampaknya cerita itu tajam sekali menusuk uluhati tuan."

"Ya, ya, sebuah cerita. Sebuah pengalaman yang menusuk. Benar kata tuan, tajamnya menusuk-nusuk uluhati. Tapi, tapi, oh, jangan di sini. Di sana. Ya, di sana. Mari kita duduk di sana. Di bawah danau itu. Angin Sahara sebentar lagi akan berhembus kencang."



Kau bertanya-tanya dalam hati sambil madah saja mengikuti ajakannya. Kalian menuju sebuah kayu panjang di depan dangau. Mungkin disiapkan bagi pengembara yang ingin menyanggrah sejenak melepas penat atau tempat perhentian ketika badai pasir menghajar perjalanan.

Kau mengambil tempat di ujung kayu sambil punggungmu kausandarkan di sebuah bilah. Mungkin pelepah kurma. Sementara ia duduk di depanmu sambil tangannya mendongakkan dagu. Terlihat seperti berpikir. Tak lama kemudian ia membuka cerita kepadamu. Cerita yang ia janjikan tadi. Cerita tentang Nabi Yakub dan keluarganya. Cerita yang sebetulnya biasa karena sudah seringnya kaudengarkan di surau. Bahkan sejak kau mengenal huruf hijaiyah.

Lalu apa istimewanya kisah yang diwejangkan sosok asing yang mencegatmu di tengah perjalanan pulang ini?

Alkisah Dina berkunjung ke negeri yang diperintah Hamor. Syahdan, putra Hamor, Shekkem namanya, melihat gadis ini dan hati anak muda itu tergerak. Disergapnya Dina, dan diperkosanya gadis itu.

Tapi apa hendak dikata: Shekkem ternyata tidak hanya melampiaskan napas. Tapi ia jatuh cinta. Kepada Dina ia sampaikan kata-katanya yang menghibur dan tulus. Kepada ayahnya sendiri Shekkem berkata: "Aku ingin menjadikan perempuan ini istriku."

Maka Hamor pun datang ke orangtua Dina, Yakoov. Ia meminang. "Mari kita bentuk perseku tuan perkawinan: tuan berikan putri tuan, dan kami berikan putra kami, dan kita selesaikan persoalan kita."

Namun perdamaian tak terjadi dan persoalan tidak tuntas. Putra-putra Yakoov masih merasa marah bahwa Shekkem telah menggagahi adik perempuan mereka. Inilah jawaban mereka kepada Yakoov: "Kami tak bisa memberikan adik kami kepada kaum yang belum disunat."

Dan mereka pun memberi syarat, dan dengan itulah mereka mengatur akal. Lamaran Hamor dan Shekkam akan diterima jika semua laki-laki di negeri itu memotong kulup kelaminnya -sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang Yahudi-.

Syarat itu diterima oleh Hamor dan anaknya dengan senang hati. Maka segera saja semua laki-laki di tanah yang diperintah Hamor pun disunat. Tetapi pada hari ketiga -ketika orang-orang itu masih menanggungkan rasa sakit di ujung kemaluan mereka- dua orang putra Yakoov menyiapkan sesuatu yang tak disangka-sangka. Dengan pedang terhunus, mereka memasuki kota. Mereka temui tiap lelaki kota itu yang sedang dalam keadaan tak berdaya itu. Mereka bunuh. Lalu tak lama kemudian anak-anak Yakub yang lain menyerbu. Mereka menjarah kota itu. Domba, lembu, keledai semua yang ada di rumah, juga anak-anak dan para istri, disita.



Kau mengernyitkan dahi atas sepotong kisah mengerikan itu. Nabi Yakub, sekejam itukah? Disebabkan heran dan seperti tak mau terima kau bertanya, "Untuk apa semua itu tuan ceritakan kepadaku? Jangan jangan kau, kau.... kau... meng...."

"Maksud tuan, aku mengarang-ngarang cerita, begitu? Oh, sungguh cerita kekejaman keluarga Yakub itu menghantui kehidupanku dan orang-orang Hamor. Tapi... tapi, terserah kaulah tuan, percaya atau tidak. Percaya silakan. Tidak juga tak apa."

"Maaf, maaf, bukan aku ingin menyakitimu. Tapi untuk apa tuan menceritakan kisah itu kepadaku. Apa manfaatnya?"

"Agar tuan tahu bahwa kesucian pun adalah tipuan." Kau tahu ia hanya mengulang kalimat pertamanya. Seperti menegaskan sesuatu.

Dan kau mengulangi lagi sikapmu. Terbingung-bingung kau bertanya pada diri sendiri. "Sasmita apalagi yang menghadang pengembaraan menuju pintu pulang ini setelah bertahun-tahun ilmu kutimba dan kuukur-ukur?"

"Pernahkah tuan mendengar apa kata Syekh Al-Warraq?"

"Hmmm, jujur aku belum pernah mendengarnya. Tentang namanya, aku sudah mendengarnya karena Syekh tempatku berguru selalu menyebut-nyebut namanya. Tentang apa tuan?"

"Tentang ketaksucian yang bermata di mana-mana."

"Ho-oh. Aih, kalau tak keberatan, sudilah tuan tunjukkan mata-mata yang macam-macam itu," katamu meminta penjelasan.

Dan ia menunjukkan warisan mutiara kebijaksanaan Syekh Al-Warraq itu kepadamu:

Manusia terbagi dalam tiga kelompok: ulama (cendekia), umara (penguasa), dan fuqara (sufi). Korupsi para ulama itu melalui ketidakpedulian. Korupsi para penguasa melalui ketidakadilan. Dan korupsi kaum sufi adalah kemunafikan.

Kau tersentak. Sebentar tercenung. Kata-kata yang barusan meluncur seperti mencambukmu. Kata-kata yang masih asing di indra dengarmu. Khususnya kalimat yang terakhir. Kalau yang pertama dan kedua, walaupun tidak sama persis seperti yang kau dengarkan, tapi masih lumrah. Tapi yang ketiga itu? Sufi? Bukankah mereka adalah manusia suci pilihan?

Tanpa mengindahkan kau yang sedang berada dalam simpang teka-teki, dengan tenang ia berkata bahwa ketiga sosok itu adalah sekutu setan.

"Aku tahu tuan orang terpelajar. Pekerja keras. Abid yang tekun dan sabar. Tapi hati-hatilah, jangan sampai tuan jadi sekutu setan. Abdinya."

"Aku? Abdinya?"

Ia bilang ia tak menuduhmu. Hanya memperingatkan agar jangan sampai terperangkap dalam jaringan kerja setan. Menjadi teman dan sekutunya.

"Sudah kuingatkan ancaman itu. Penguasa tanpa pengetahuan, ulama tanpa budi, seorang sufi dengan keimanan buta. Kebusukan dunia terletak di pundak orang-orang itu. Seorang penguasa tidak menjadi korup hingga mereka berpaling dari para ulama, dan ulama tidak menjadi korup hingga mereka bergaul dengan penguasa, dan sufi tidak menjadi korup hingga mereka mencari pamer, dan ketamakan ulama karena keinginan akan kesalihan, dan kemunafikan sufi karena keinginan percaya kepada Allah. Tlah kuingatkan. Hati-hati!’’

Setelah berkata demikian, lelaki itu kemudian pamit lalu. Tanpa menengok sedikit pun. Dari belakang kau melihat langkahnya begitu mantap. Sesekali terantuk. Sesekali berusaha sekuat tenaga mencabut tapak kakinya yang terendam pasir. Angin berhembus kencang mengangkat ribuan butir pasir ke udara bersama hilangnya lelaki itu dari pandangan matamu.

Lama kau berdiri di situ sebelum memutuskan untuk berjalan ke arah sebaliknya. Kau menurunkan kain ke wajahmu untuk mencegah butiran pasir menggasak muka dan matamu. Kau berjalan lambat melintasi lumpur pasir sahara yang menanam langkah-langkahmu. Kau sedang menuju dermaga. Menaiki kapal-kapal dagang yang menuju daratan tenggara. Jawa! ***



*) Muhidin M Dahlan, lahir di Sulawesi Tengah. Bukunya Trilogi Mencari Cinta; Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur!; dan Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta (ketiganya diterbitkan pada 2003). Saat ini menjadi perangkai bunga di RumahBunga, Yogyakarta.

Sabtu, 23 Oktober 2004

Lelaki yang Mengkhianati Ibu

Cerpen Susialine Adelia



Seperti biasa, Ibu sudah berdandan cantik ketika menemani dan meladeni kami sarapan. Sambil berangkat ke kantor (Ibu pegawai negeri di Taman Budaya) dia akan mengantar kami semua ke sekolah. Sementara Ayah meneruskan mimpinya karena menjelang pagi baru pulang. Apalagi mendekati pentas (Ayah aktor sebuah grup teater ternama di kotaku dan biasanya ia menjadi pemain utama). Tetapi meski malam tak ada latihan, Ayah tak pernah bangun pagi. Begitu setiap hari. Jadi kami tak pernah bertanya kenapa Ayah tidak ikut sarapan, atau merasa kehilangan.



Belum selesai sarapan Ayah muncul dari ruang depan. Seperti biasa wajahnya nampak kuyu, lelah dan ngantuk. Baru aku tahu bahwa ternyata Ayah baru pulang.

"Halo semuanya," Ayah menyapa tanpa mendekati dan mengecup kening kami.



"Nggak sarapan sekalian?" Ibu bertanya.

"Nggak, nanti saja," dan Ayah pun berlalu masuk ke kamarnya.

Kulihat Ibu menghela napas sambil memandang Ayah yang berlalu. Sesaat aku berhenti menyuap, memperhatikan Ibu.



"Kenapa? Selesaikan sarapannya," merasa kuperhatikan, Ibu menegurku.

Aku menggeleng dan cepat-cepat menyuapkan nasi ke mulutku.

***

Tiga hari Ayah tak pulang. Kutanya pada Ibu, katanya Ayah sibuk. Hari pementasasan sudah sangat dekat. Tetapi bukankah dia pentas di dalam kota? Kenapa sampai tak sempat pulang? Ada istri dan anak-anaknya di rumah yang menunggu. Perjalanan pulang banyak memakan waktu sementara Ayah butuh cukup istirahat. Ibu coba menghiburku.

Sorenya Ayah pulang dengan wajah berbinar dan segar.



"Apa kabar sayangku?" sapanya sambil mengecup keningku.

"Kok nggak pulang-pulang, Yah?" aku bertanya.



"Ayah kerja keras, jadi harus hemat tenaga," jawabnya sambil merangkul pundakku. Lalu kusandarkan kepalaku di pinggangnya. "Nanti malam ikut ya, udah mulai run through."



"Tapi jangan ajari dia pulang pagi, ya," kata Ibu sambil menyiapkan kopi untuk Ayah.

"Oh jelas, kita akan pulang siang," jawab Ayah, melirikku sambil tersenyum. Kami bertiga pun tertawa.



Menjelang senja kami berangkat.

"Berapa lama kita nggak jalan-jalan berdua?" Ayah bertanya setengah pada dirinya sendiri.



"Hampir satu semester, Yah. Ayah sih sibuk teruusss," aku berlagak merajuk.

Ayah mengacak rambutku sambil tertawa, "Memang kamu nggak? Rapat ini, pelatihan itu, hmm?"



Kami berdua tertawa.

"Eh, Ayah kok tambah genit sih sekarang?" tiba-tiba aku berkomentar.



"Apa?" tanya Ayah.

"Tiap keluar rapi dan wangi terus gitu," tambahku.



"Lho, memang nggak bangga punya Ayah ganteng dan wangi?"

Kami tiba di tempat pertunjukan saat para kru masih membereskan panggung, sementara beberapa pemain memainkan adegan mereka di sela-sela kru yang sedang merampungkan pekerjaannya.



Ayah meninggalkanku di deretan depan kursi penonton. Dia datangi seorang perempuan yang sedang memberi instruksi pada peƱata lampu. Mereka berbicara sebentar. Lalu Ayah berjalan ke arahku diikuti perempuan itu.



"Sayang, kenalkan ini sutradara Ayah."

Perempuan itu mengulurkan tangan sambil menyebutkan namanya, "Tati."



"Citta," kataku menyambut uluran tangannya.

Tante Tati meraih sebuah kursi dan meletakkannya di depanku. Kami ngobrol berdua sementara Ayah meninggalkan kami menyiapkan pementasannya. Tak lama, Tante Tati meninggalkanku, kembali pada pekerjaannya.



Aku tetap duduk di kursiku, mengamati kesibukan orang-orang itu. Sebagian besar di antara mereka sudah kukenal. Maka kulambaikan tangan ketika kebetulan mereka menoleh ke arahku.

***

Berhari-hari Ayah tak pulang lagi. Padahal pementasan sudah selesai.

"Mungkin masih menyelesaikan sisa pekerjaan kemarin," jawab Ibu sambil mengusap keringat adik bungsuku. Sekalipun jawaban Ibu tak masuk akal, aku tak membantahnya.



"Ibu bertengkar sama Ayah?" aku memberanikan diri bertanya.

Tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hanya itu jawaban Ibu. Melihatku yang tak juga beranjak dari ranjangnya, Ibu pun bangkit setelah memastikan si bungsu terlelap.



"Sudah selesai belajar?"

Pertanyaan yang lucu. "Kok kayak nanyain Tres yang masih SD aja."



Tampak Ibu agak gugup, tetapi segera ditutupnya kegugupan itu. "Memang kalau udah kuliah nggak perlu belajar?"

Berdua diam.



"Kenapa?" Ibu bertanya.

"Citta yang mestinya tanya, Ayah dan Ibu kenapa," jawabku.

Kudengar desah napas Ibu. Panjang. Diraihnya tanganku dan diletakkan di pangkuannya. "Dua bulan lagi kamu ulang tahun kan. Umurmu akan genap dua puluh dua," berhenti sejenak, menatapku. "Berarti kamu sudah dewasa, sudah tidak harus dibimbing Ayah dan Ibu lagi. Bahkan sudah bisa membantu kami membimbing dua adikmu."



"Maksud Ibu?" aku mengerutkan dahi.

"Tentunya kamu tidak akan terlalu terganggu jika Ayah dan Ibu tidak bersama lagi," kata Ibu lirih tanpa melihatku. Suaranya bergetar.



"Ibu dan Ayah mau pisah?" Pertanyaan yang kuharap tidak diiyakan oleh Ibu. Tetapi keliru. Ibu mengangguk dengan berat. Berat sekali. Seketika kepalaku terasa pening.

"Ibu mau bercerai?" ulangku sekali lagi.

***

Enam tahun berikutnya. Seorang laki-laki duduk di depanku. Tertunduk layu.

"Aku yang mengajarimu berpikir dan bersikap. Tapi sekarang tak kutemukan apa yang kuajarkan dulu," katanya pelan sambil menerawang ke luar jendela.



"Sama. Aku juga tidak menemukan hal yang membuatku kagum dulu," jawabku, juga dengan perlahan.

"Kau tak pernah memaafkan aku," katanya lagi.

"Maafku tak akan menghapus luka kami," jawabku sambil menangkupkan kedua tangan ke mukaku.



Kepalaku tiba-tiba terasa berat begitu teringat masa itu. Teringat Ibu. Sekuat tenaga dia berusaha tabah menghadapi perpisahannya dengan Ayah. Tetapi tak sesederhana itu. Pasca perceraian, Ibu seorang diri harus menanggung hutang Ayah atas namanya. Hutang untuk proses kesenian yang kemudian justru mempertemukan Ayah dengan Tati. Ironis sekali. Ibu pun menjual rumah yang kami tempati, mengajukan pensiun dini lalu membawa kami hijrah ke kota kecil ini. Terlalu banyak luka di kota besar dulu.



Sejak itu hampir tak pernah kudengar berita tentang Ayah. Kota kecil ini terlalu damai untuk mengenangkan cerita lama. Lagi pula kami harus berjuang keras merintis kehidupan di sini dan memikirkan Ibu yang ternyata mengidap kanker payudara.



"Tidakkah penyesalan dan rasa berdosa cukup untuk menebus kesalahanku?" laki-laki itu bertanya lagi.

"Tetap saja kehidupan kami tak kembali," terasa mataku mulai basah.



"Maaf," seorang perempuan muda masuk, mengulurkan secarik kertas dengan tangannya yang tak sempurna dan segera keluar lagi.

"Pulanglah," kataku setelah membaca pesan yang tertera, "Aku ditunggu rapat. Ibu tak akan menemuimu."



Laki-laki itu memandangku. Kecewa, sedih, geram, dan entah apa lagi tampak di matanya. Tapi aku tak begitu peduli. Dia mengangguk lalu bangkit. "Aku masih berharap menjadi walimu di pernikahan nanti," katanya.



"Entahlah. Membayangkan pun aku tak berani."

Dengan lunglai, dia berjalan ke pintu. Sebelum dia menarik pegangangnya, aku memanggil.



"Yah..."

Laki-laki itu menoleh. Tersenyum. Aku hendak mengatakan sesuatu padanya, tetapi tak mampu. Maka hanya anggukan yang kuberikan untuk mengantarnya pergi.



Dalam hati aku berjanji, nanti malam akan kutulis surat untuk laki-laki itu. Isinya: Aku berterima kasih telah dibimbingnya menjadi pribadi yang percaya diri, sehingga menemukan jalan untuk berani mengajak orang lain menempatkan diri sejajar dengan kami dan bukan justru mengasihani. Satu hal yang tak pernah diajarkannya adalah menerima kehilangan. Baru belakangan almarhumah Ibu mengajarkannya padaku. Aku bangkit. Meraih kruk yang kusandarkan di samping kursi. Tentunya teman-teman terlalu lama menanti. ***

Sabtu, 16 Oktober 2004

Boutique

Cerpen Hudan Hidayat



Plasa Senayan adalah tempat aku menyembunyikan diri. Di sanalah aku berpaling dari kehidupan yang keras. Ada sebuah kafe di pojok yang kusuka. Aku senang di sana. Kafe Boutique.



Sore itu aku memesan bir --juga makanan kecil. Kukeluarkan laptop dan mulai mengetik. "Maafkan dosa-dosaku Tuhan. Dan maafkan pula dia."



Aku berhenti. Minum seteguk bir. Seorang perempuan memandangku dan mata kami bertemu. Ia memalingkan muka. Cantik juga. Siapa namanya? Pasti sedang menunggu seseorang. Usianya paling banyak 30. Perempuan itu membalik-balik sebuah majalah. Lalu tekun membaca. Aku kembali mengetik. "Engkau yang mengerti isi langit dan bumi. Semoga perbuatan kami diampuni."



Perempuan itu kembali memandangku. Sekali lagi mata kami bertemu. Ia tersenyum. Aku membalas senyumnya. Jarak kami cuma pelintasan jalan. Ia duduk di bawah tangga evalator. Ia berhenti membaca. Kini mengeluarkan buku dan pulpen. Ia mencoret-coret di buku itu. Lalu kembali membaca.



Karena memperhatikan caranya membaca, aku melihat cincin melingkar di jarinya. Jari-jari yang serasi dengan lengan, tubuh dan wajahnya. Ia memang cantik. Wajahnya lembut. Aku tak begitu yakin, apakah itu cincin biasa atau cincin kawin. Mungkin cincin kawin.



Buku apa itu? Jari-jarinya menutupi huruf-huruf pertama. Aku hanya dapat melihat kata-kata "SA", di ujung buku. Mungkin yang dibacanya buku Kafka. Rasanya dugaanku benar, karena aku masih ingat cover buku Kafka. Jadi ia membaca Metamorposa. Aneh juga. Di tengah lalu-lalang benda dan barang, Kafka hadir di sini. Aku mengetik lagi. "Hidup jadi sumpek tanpa hiburan. Semua orang berhak menghibur diri."



Aku berhenti.

Ke mana dia? Tas dan bukunya masih di sana. Mungkin dia ke toilet di pojok. Aku memperhatikan tas itu dengan seksama: sebuah tas hitam yang kecil. Aku berpikir, ceroboh sekali. Bagaimana kalau seseorang mengambil tas itu? Benar ini plasa yang besar. Banyak satpam. Tapi meninggalkan tas tetap kecerobohan.



Aku bangkit dan berjalan melewati mejanya. Membeli koran sore di seberang kafe. Kembali ke mejaku lagi, aku melihat buku yang dibacanya. Tidak salah: Kafka.



Tak lama kemudian dia datang. Langkahnya gemulai. Ia memakai blazer hitam dan tubuhnya seksi sekali. Rambutnya digerai sampai bahu. Ia kini lewat persis di depanku. Aku mencium aroma parfum yang lembut. Aku mengangguk padanya dan dia membalas anggukanku. Ia berjalan ke kasir. Apakah akan membayar dan pergi? Tidak. Rupanya ia memesan sesuatu. Kasir itu mengangguk, tersenyum dengan ramah. Sekali lagi ia berjalan di depanku.



"Hay, kukira sudah mau pulang?" kataku pada perempuan itu. Ia menjawab sambil tersenyum.



"Belum. Aku masih senang di sini."

"Suka membaca ya?"



"Suka juga. Kamu sendiri lagi mengetik apa?"

"Aku? Aku mengetik jiwaku."



"Sebuah kias yang bagus. Sastra ya?"

"Begitulah."



Seorang pelayan berputar sambil membawa nampan.

"Maaf ya, Bu," katanya, "apakah akan kuletakkan di meja Ibu?"



Perempuan itu mau menjawab. Tapi aku segera berkata.

"Bagaimana kalau bergabung di mejaku? Atau aku ke mejamu?"



Ia tersenyum.

"Di sini saja!"



Ia berjalan ke mejanya, mengambil barang-barangnya dan berjalan ke mejaku. Pelayan meletakkan minuman. Segelas redwine. Jadi ia minum anggur. Pemabukkah dia?

"Aku minum cuma iseng. Tak pernah mabuk. Orang kan butuh hiburan."



"Benar. Kamu kerja di mana?"

"Di sebuah perusahaan konsultan."



"Oh. Konsultan?"

"Ya. Konsultan psikologi."



"Oh, kukira tadi konsultan konstruksi."

"Konstruksi juga. Tapi jiwa manusia."



Ia tertawa. Matanya indah. Agak sipit. Agak sayu.

"Aku belum tahu namamu. Aku Hudan."



"Nama yang bagus. Aku Izza."

"Aku suka namamu. Nama yang indah."



"Ada kenangan rupanya?"

"Ya. Ada sedikit."



Hari mulai malam. Lampu-lampu dinyalakan. Tiga meja dari kami, duduk lima orang anak muda. Mereka bercakap dengan gembira. Sesekali tawa mereka meledak. Persis di depan, seorang ibu duduk melamun. Tangannya menggenggam bir. Kemudian masuk seorang lelaki dan seorang perempuan sebaya. Tanpa memilih lagi, mereka duduk di meja yang kosong. Seorang pelayan mendekat, menyodorkan menu. Lelaki itu tak peduli. Perempuan itu menyebutkan sesuatu. Pelayan pergi. Lelaki dan perempuan itu duduk berdiam diri. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit, dan setengah menunjuk, berteriak kepada perempuan itu.



"Pertengkaran sudah dimulai!"

"Benar. Tapi untuk apa ya? Hidup mustinya dibuat gembira!"



"Ya begitulah hidup. Kamu sendiri, pernah kan bertengkar dengan suamimu?"

"Aku? Oh, aku belum kawin!"



"Belum kawin! Sudah kuduga. Dari caramu duduk dan membaca, aku tahu kamu belum kawin. Tapi cincin di jarimu itu, bukankah cincin kawin?"

"Ini bukan cincin kawin. Aku senang saja memakainya. Kamu sendiri, pernah kan bertengkar dengan istrimu?"



"Aku juga belum kawin. Memang pernah hampir, tapi tidak jadi."

"Mengapa? Ya, aku tahu. Perempuan itu bernama Izza! Dan kau punya kenangan. Sedikit, katamu tadi."



"Kamu memperhatikan ya?"

"Lho, kita kan sedang bercakap-cakap. Apa kamu tidak memperhatikan?"



"Aku memperhatikan kamu dari tadi."

"Aku juga."



"Aku memperhatikan kamu membaca."

"Aku memperhatikan kamu mengetik."



"Dan kamu ke toilet."

"Dan kamu ke mejaku. Melihat bukuku."’



"Dan kamu memesan menu."

"Dan kamu mengajakku ke mejamu."

Kami tertawa. Izza cantik sekali kalau tertawa. Aku merasa ada yang hidup dalam diriku. Tapi apakah hidup juga dalam dirinya? Aku pernah hidup semacam ini, tapi akhirnya berantakan.



"Ceritakan tentang hidupmu. Mengapa tidak kawin dengannya? Siapa tadi namanya? Ya, Izza. Seperti namaku! Kok kebetulan sekali? Aneh memang hidup ini."



"Kamu mau mendengar? Aku takut kamu tidak kuat."

"Mengapa? Ceritalah. Aku kuat. Aku siap mendengar apa saja."



"Benar kamu siap mendengar apa saja? Termasuk yang mengerikan?"

Izza memandangku heran. Ia tersenyum. Mungkin aku main-main, pikirnya. Tapi aku tidak tersenyum. Izza mulai percaya aku serius.



"Ceritalah. Sungguh aku siap mendengar apa saja. Hidupku juga kacau. Mungkin tidak kalah mengerikan dari hidupmu."

"Ya, memang hidup ini mengerikan."



Dan aku mulai bercerita. Tak terbayang aku bisa membunuh calon istriku. Suatu hari aku melihat dia naik mobil bersama seorang lelaki. Aku heran, aku tidak kenal lelaki itu. Aku mengikuti mobil mereka. Aku ikuti mereka masuk ke hotel. Sampai menghilang dalam kamar. Tak lama kemudian kamar itu kuketuk. Kukatakan room service. Mereka membuka kamar dan kudorong lelaki setengah baya itu ke ranjang. Kulihat Izza hanya memakai handuk. Jadi inilah yang mereka kehendaki, kataku. Maka kubenamkan belati ke dada lelaki itu. Aku pun mulai mendekati Izza. Dia berteriak dan meminta agar aku mendengarnya. Aku tidak mendengarnya. Aku hanya membenamkan belatiku dengan sekuat tenaga. Izza terpekik tak percaya. Tapi belati itu telah masuk dalam perutnya. Sebelum dia mati, dia sempat berbisik ke telingaku. Meminta agar aku percaya, memaafkannya: dia melakukan semua itu karena ayahnya harus operasi. Kanker, katanya. Sedang mereka tak ada biaya operasi. Akhirnya Izza mengorbankan diri. Kupeluk Izza-ku dengan sayang. Aku menangis. Mengapa begini jadinya, kataku padanya. Izza mengucapkan kata-kata yang aku tak tahu maknanya. Lalu matanya terpejam, seperti orang tidur. Begitulah ceritaku.



Aku tersadar ketika Izza memegang tanganku. Ia menatapku dengan tenang.

"Kamu tidak sendirian sayang," katanya padaku.



"Apa maksud kamu?"

"Aku juga sudah membunuh calon suamiku. Tapi kamu lebih beruntung: Izza-mu tidak berkhianat. Ia cuma berkorban untuk ayahnya. Sedang calon suamiku berkhianat. Maka aku membunuhnya."



"Dengan cara bagaimana kamu membunuhnya?"

"Aku membunuhnya begitu saja. Mereka melakukannya di kamarku. Andre memang peminum. Tapi berjanji tidak akan minum lagi. Akan mengurangi sedikit-sedikit, katanya. Aku percaya. Tapi ketika aku pulang, rumah sepi. Perasaanku tidak enak. Aku membuka pintu depan. Berjalan ke kamarku. Kudengar suara tawa cekikikan. Lalu kudengar suara Andre. Jadi begini rupanya. Maka kudorong pintu. Mereka terpekik. Kedua-duanya tanpa busana. Kulihat botol vodka dengan isi setengahnya. Jadi begini rupanya. Maka tanpa sadar tanganku meraih botol vodka dan menghempaskannya ke kepala Andre. Belum puas, kupecahkan botol itu ke dinding. Dengan cepat benda tajam itu kubenamkan ke wajahnya. Andre terkulai, seperti orang tak punya tulang belakang. Kemudian pembantuku mau lari, tapi pintu segera kukunci."



"Oh, maafkan. Kukira nyonya keluar kota!"

"Ya, saya memang keluar kota, dan kini kembali untuk kalian berdua. Sini!" kataku padanya. Ia berteriak.



"Jangan!"

Tapi pecahan botol vodka itu amblas ke mukanya.



"Begitulah ceritaku," kata Izza, sambil memainkan gelas dengan tangannya. Anggur yang yang tinggal setengah itu bergoyang. Aku meneguk bir terakhirku. Kugenggam tangan Izza. Ia membalas dengan genggaman yang sama. ***

Jakarta, 18 November 2003

Minggu, 10 Oktober 2004

Perempuan Abu-Abu

Cerpen Lan Fang



Sesosok perempuan muncul seperti bayangan, sehalus angin dan tanpa suara di sampingku. Perempuan itu mendadak muncul dan duduk di sampingku ketika aku sedang benar-benar tidak tahu apa lagi yang harus kutulis. Padahal aku sudah menghabiskan lima gelas kopi, sebungkus rokok kretek, dan tiga kaleng guiness beer. Tetapi aku tidak memusingkan perempuan itu. Aku tetap menghisap rokok kretekku dan menghembuskan asapnya kuat-kuat dengan harapan mendapat imajinasi dari gumpalan asap itu.



"Apakah aku pelacur?" Perempuan itu bicara kepadaku.

"Kamu pelacur bukan?" Aku balik bertanya tanpa menoleh kepadanya. Itu pertanyaan klise yang tidak perlu kujawab.



"Menurutmu definisi pelacur itu bagaimana?" Ia bertanya lagi.

"Tidur dengan lebih dari satu laki-laki," sahutku asal saja. Lagi-lagi tanpa menoleh.



"Tidur? Hanya tidur? Masa tidur saja tidak boleh?" Ia masih mendebat. "Dan katamu…lebih dari satu laki-laki. Hm…bagaimana dengan laki-laki yang tidur dengan lebih dari satu perempuan? Apakah dia juga bisa disebut pelacur laki-laki?" Ia nyerocos tanpa jeda.



Aku menoleh dengan perasaan mulai kesal dan terganggu. Saat ini aku sedang tidak ingin diajak berdebat. Aku justru perlu seseorang yang bisa memberikan imajinasi untuk meneruskan tulisanku yang terhenti di tengah jalan.



Tetapi, alamak…!

Aku terkejut ketika bersirobok pandang dengan bola mata perempuan itu. Matanya berwarna abu-abu! Tidak ada hitam. Dan tidak ada putih.



"Bagaimana?" Ia mengejarku dengan pertanyaannya.

"Apanya yang bagaimana?" Aku tergagap sembari masih berusaha menguasai diri.



"Apakah aku pelacur?" Ia mengulangi pertanyaannya.

Kali ini, di matanya yang abu-abu tampak tergenang butiran-butiran berlian yang ditahannya tidak runtuh bila ia mengerjapkan kelopak matanya.



Aku menarik napas panjang. Membenarkan posisi dudukku.

"Kamu sedang butuh bahan cerita bukan? Tulislah aku…" Ia bertanya dan menjawab sendiri seakan-akan tahu apa yang kurasakan.



"Ya," sahutku dengan nada berat dan sangsi.

Tetapi, bukan soal pelacur atau perempuan bermata abu-abu, tambahku dalam hati. Aku penulis roman cinta. Aku butuh cerita cinta.



"Sebenarnya kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya.

"Apakah itu perlu buat kamu?" Ia balik bertanya.



Ah! Aku bukan pengacara yang siap diajak berdebat kata dan bersilat lidah setiap saat. Aku pengarang yang sedang mati kata.

"Baik. Panggil saja aku Maya." Ia berkata seakan-akan bisa membaca pikiranku.



"Maya? Nama kamu Maya?"

Perempuan itu tertawa. "Kamu pengarang kan? Apalah arti sebuah nama untuk pengarang? Shakespeare juga berkata begitu kan? Dan "Maya" artinya bisa tidak bisa ya, bisa mimpi bisa nyata, bisa…."



"Ya ya ya, Maya atau siapa pun kamu, sekarang berceritalah!" tukasku kesal. Aku memang tidak butuh namamu. Aku butuh ceritamu. Butuh imajinasimu.



Tetapi perempuan itu bukan membuka kata. Ia justru membuka blouse-nya, menampakkan payudaranya yang indah ditopang bra berwarna kulit. Aku terperangah. Tetapi ia tidak peduli. Ia berdiri. Melucuti pakaiannya satu per satu. Sampai ia telanjang bulat di depanku. Ia polos tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Seperti patung-patung Yunani atau patung-patung Bali yang kulihat di pameran. Aku meneguk air liur sampai jakunku turun naik.



"Apa yang kau lihat?" Suaranya bertanya setengah mendesah.

"Warna tubuhmu…" Kudengar suaraku seperti datang dari alam lain.



"Apa yang kamu lihat dari warna tubuhku?"

Kuhisap rokokku dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Perempuan ini sekarang mulai mengasyikkan. Ia sudah tidak membosankan dan menganggu seperti tadi. Ia mulai memberikan sensasi. Apakah begitu perasaan setiap laki-laki bila berhadapan dengan perempuan telanjang di depannya?



"Abu-abu…," gumamku.

Perempuan itu tertawa. Suaranya merdu. "Kenapa tidak kau tulis?"



Astaga!

Ia kemudian mendekat. Begitu dekat. Sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya yang wangi dan merasakan sentuhan kulitnya yang lembab dan dingin. Ia mendekatkan dadanya ke wajahku. Napasku mulai terasa sesak. Aku menutup mataku karena tidak kuat menahan gejolak birahi.



"Buka matamu…Kenapa harus menutup mata bila kau ingin melihat sampai ke dalam?" Suaranya mesra merayu.

Aku masih menutup mata. Aku bingung, ragu, malu, tetapi juga ingin. Selama ini, aku memang suka menulis tentang perempuan. Tetapi belum pernah menulis tentang perempuan telanjang bermata dan bertubuh abu-abu.



Dengan satu gerakan lembut tetapi kuat, ia mengangkat wajahku. Kemudian, dengan sebuah usapan tanpa rasa sakit, kurasakan tangannya menjelajahi rongga mataku lalu mencungkil bola mataku. Ia membawa bola mataku ke dadanya. Meletakkan di atas payudaranya yang sebelah kiri.



"Kata dokter, di sebelah kiri adalah jantung hati. Coba kau lihat ada apa di jantung hatiku?" ia berbisik pelan di telingaku. Napasnya menghangati daun telingaku.



Bola mataku masuk ke dalam payudaranya, masuk ke dalam dadanya, masuk ke dalam tulangnya, sampai menemukan jantung hatinya.



Astaga!

"Apa yang kau lihat?" Ia masih berbisik seperti angin.



"Jantungmu, hatimu, paru-parumu, darahmu…."

"Ya, kenapa?"



"Berwarna abu-abu," sahutku gamang.

Ia tertawa lembut sambil mengambil kembali bola mataku dari atas dadanya dan mengembalikannya ke dalam rongga mataku. Ia lalu memberikan sebuah kecupan mesra di pelupuk mataku. Sekarang aku baru berani membuka mataku. Dan lagi-lagi aku bersirobok pandang dengan sepasang mata berwarna abu-abu yang menumpahkan berlian-berlian. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku sehingga aku bisa menghirup napasnya yang segar. Dan ketika berlian-berlian jatuh bergulir menetes pula di pipiku lalu mengalir ke bawah, kutadah dengan tanganku.



"Air matamu juga abu-abu," kataku sambil melihat butiran-butiran berlian di tanganku.

Ia tersenyum antara tawa dan tangis.



"Kenapa semua berwarna abu-abu?" tanyaku pada akhirnya.

"Karena semua mulut mengatakan aku hitam. Walaupun aku tidak putih tetapi aku tidak sehitam yang mereka katakan. Bukankah abu-abu lebih baik daripada hitam? Bukankah abu-abu tidak semunafik warna putih? Apakah mulut yang mengatakan aku hitam semuanya berwarna putih?" Berlian-berlian abu-abu bercucuran di pipinya yang kelabu.



"Kenapa mulut-mulut mengatakan kamu hitam? Apakah kamu pelacur? Apakah kamu tidur dengan lebih dari satu laki-laki?" Kali ini aku mengejarnya.



Sekarang dia menarik badannya dari wajahku. Lalu duduk sambil bersidekap dada. Tetapi masih telanjang bulat di depanku. Sekarang aku rasa, lebih baik ia tidak usah mengenakan pakaiannya. Lebih baik ia telanjang bulat di depanku walaupun dengan seluruh warna abu-abu.



"Menurutmu, siapakah Yudistira?" Ia bertanya sambil mengambil rokok di tanganku. Lalu dengan sebuah gerakan yang sensual ia mengisap rokokku dan menghembuskannya membentuk sebuah bulatan-bulatan kecil. Ah, lagi-lagi berwarna abu-abu.



"Yudistira? Hm…ia pandawa tertua. Ia paling bijaksana," sahutku.

Kali ini aku merasa bertanya jawab dengan perempuan telanjang bulat walaupun dia berwarna abu-abu menjadi lebih mengasyikkan.



"Oh, begitu menurutmu?!" Ia membelalakkan matanya yang abu-abu dan dari suaranya kudengar nada sumbang.

"Ya. Cuma Yudistira yang mencapai nirwana," sahutku. "Cuma Yudistira dan seekor anjing," tambahku cepat.



"Kalau begitu, Yudistira, pandawa tertua yang bijaksana itu sama dengan anjing!" Ia memotong cepat dan ketus.

"Lho?!" Aku terperangah.



"Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira mempertaruhkan Drupadi, istrinya di atas meja dadu hanya untuk sebuah Astinapura?! Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira hanya duduk terpana ketika Drupadi, istrinya, ditelanjangi Duryudana?! Apa bukan anjing namanya, kalau harga diri Yudistira lebih mahal daripada harga Drupadi, belahan jiwanya?!" Ia kembali nyerocos dengan berapi-api.



Aku terdiam tidak mampu menjawab.

Perempuan itu tertawa sinis. Sekarang ia mengambil sekaleng guiness di dekat laptopku. Dengan sekali tegak, sekaleng guiness meluncur melewati bibirnya, lidahnya, tenggorokannya, perutnya, ususnya, kandung kemihnya, dan mungkin akan berakhir di toilet. Ia menjilati busa guiness yang tersisa di bibirnya yang indah.



Astaga! Lidahnya juga abu-abu!

"Lalu, menurutmu, siapakah Drupadi?" Ia bertanya dengan lidah abu-abunya.



"Ng…Drupadi, istri yang setia. Ia mengikuti Pandawa menjalani hukuman kalah judi dibuang ke dalam hutan berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa berkeluh kesah. Ia bahkan bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Duryudana…," jawabanku terdengar gamang. Entah benar atau tidak menurut perempuan itu.



Perempuan itu mendengus. "O…, begitu menurutmu. Drupadi begitu putih," ujarnya dengan nada sinis. "Lalu, kalau menurutmu, dia begitu setia dan putih, kenapa ia tidak bisa mencapai nirwana?" sambungnya lagi-lagi dengan membelalakkan matanya yang abu-abu.



Ah, orang bilang, mata adalah jendela jiwa. Tetapi mata perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di dalam jiwanya. Orang bilang, lidah adalah senjata kata. Tetapi lidah perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu ia bicara putih atau hitam. Orang bilang, jantung hati adalah naluri jiwa yang paling jujur. Tetapi jantung hati perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia bohong atau jujur. Orang bilang, tubuh adalah bahasa. Tetapi tubuh perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak tahu ia benar atau salah.



"Menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ia berselingkuh dan tidur dengan lima pandawa: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, sekaligus? Karena ia kotor? Karena ia hitam?" Ada luka menganga di mata abu-abunya.



"Atau, menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ternyata ia berselingkuh batin dengan lebih mencintai Arjuna daripada Yudistira, suaminya?" Ada darah menetes dari lidahnya yang abu-abu.



"Lalu, menurutmu, apakah Drupadi itu pelacur?" Ada luka dan darah membanjir dari jantung hatinya.

Aku terdiam seribu kata. Tidak mampu menjawab. Karena setelah sekian lama melihat perempuan itu dalam bungkusan warna abu-abu, mendadak saja begitu banyak warna merah mengucur dari matanya, dari lidahnya, mulutnya, tubuhnya, jantung hatinya, air matanya. Darah!



"Apakah aku pelacur?" Untuk kesekian kalinya ia mengulangi kata-katanya.

Aku merasakan dadaku sesak.



"Apakah kamu Drupadi?" tanyaku sengau.

"Apa perlu untukmu siapa aku? Apakah aku Drupadi, apakah aku Maya, apakah aku pelacur? Kau hanya perlu cerita, tulis apa yang kau rasa, mungkin apa yang tertulis lebih jujur dari kata yang terucap."



Masih dengan tubuh telanjangnya, ia mendekat padaku, menciumiku dengan lidahnya yang berdarah, melekatkan wajahku pada air mata darah, membiarkan mataku mengembara ke dalam jantung hatinya yang berdarah, merapatkan tubuhku dengan tubuhnya yang berdarah.



Malam merapat pagi, ketika aku bersetubuh dengan perempuan abu-abu itu di atas dara...



(Surabaya : 21.03.2004 : 22.52 PM)

Minggu, 03 Oktober 2004

Lelaki dan Perahunya Yang Dikutuk Menjadi Batu

Oleh Sunaryono Basuki Ks



Sudahkah kau mendengar kisah tentang seorang lelaki yang dikutuk menjadi batu bersama perahu dan segala isinya? Ketika Oedipus dilahirkan, orang tuanya mengirim orang untuk bertanya kepada Orakel Dephi, yang menjawab dengan jujur tentang masa depan.



"Berhati-hatilah. Anak ini kelak akan membunuh ayahnya dan mengawini ibunya."

Maka, ayah yang bijak menyuruh orang membunuhnya agar bencana tak bakal terjadi. Namun, que sera sera, apa yang bakal terjadi terjadilah. Si bayi yang berwajah lembut itu diselundupkan keluar kerajaan oleh pesuruh yang tak tega harus melaksanakan perintah membunuh bayi tak berdosa.



Maka jadilah Oedipus pemuda yang merasa punya orang tua yang harus diabdi, kedua orang tua angkat yang tak sedarah dengannya. Lelaki muda yang berhati lembut itupun pergi ke Orakel Dephi dan bertanya:



"Wahai yang bijaksana, yang mengetahui tentang apa yang akan terjadi, katakanlah padaku tentang nasibku di masa yang akan datang."



"Pemuda yang gagah perkasa, berhati-hatilah, dan dengarkan baik-baik kata-kataku ini. Engkau akan membunuh ayahmu dan mengawini ibumu."



"Duh, Gusti, alangkah laknat anak ini, menyudahi hidup ayahnya sendiri, dan Duh Gusti, haruskah aku menjalani nasib yang nista, yang menjijikkan dengan mengawini ibuku sendiri. Tidak! Aku harus menghindari itu semua!"



Maka, tanpa mengucap pamit Oedipus lari meninggalkan negeri yang disangka negerinya. Di tengah perjalanan dia bertengkar dengan seorang lelaki yang menunggang kuda, membunuhnya, dan bertemu dengan Sphinx yang ditaklukkannya, dan disambut rakyat Thebes, jadilah dia raja baru dan mewarisi Sang Ratu yang ayu. Semua itu sudah kau dengar, dan tentang lelaki yang tak peduli tentang nasibnya di masa depan sehingga dikutuk menjadi batu, kau pun pasti sudah mendengar kisahnya.



Tetapi inilah kisah tentang lelaki yang meninggalkan negerinya, mengembara ke negeri jauh sebagai awak kapal dan kemudian kembali sebagai raja kapal yang kaya raya. Pulang ke desa dia menyembah ibunya yang tua renta dan miskin, serta memperkenalkannya pada seorang putri yang dibawanya dari negeri China.



"Inilah ibuku," katanya, membimbing tangan istrinya, "Bersujudlah ke ujung kakinya. Dialah perempuan yang mempertaruhkan jiwanya melahirkan diriku, menumpahkan darah di tanah kelahiranku ini."



Lalu, putri ayu mencium kaki ibu mertuanya yang penuh debu, mengharap restu dan kasih seorang ibu.



"Anakku," katanya dengan suara gemetar, "siapakah perempuan yang kau bawa pulang ini?"



"Dia adalah istriku, Ibu, seorang putri bangsawan dari negeri China," katanya dengan bangga.



Perempuan itu matanya sudah rabun, dipandangnya perempuan ayu yang bersimpuh di depannya, rambutnya lebat hitam, terurai sampai ke pinggang.



"Duh, anakku," kata perempuan itu. "Kenapa kau tak minta izinku?"



"Kenapa Ibu? Tidakkah Ibu berkenan menerima putri ayu ini? Adakah cacatnya, wataknya. Lihatlah alangkah lemah lembutnya dia. Kata-katanya pun tiada ada celanya."



"Berani-beraninya kau melanggar adat kita, wahai anakku."

"Adat yang manakah yang tak kuturuti, ya, Ibu?"

"Tidakkah pernah kukatakan padamu tentang pantangan yang sudah diwariskan oleh raja-raja kita? Tidakkah kau dengar kisah raja Jawa yang jatuh pamornya lantaran menikah dengan putri pujaannya yang adalah saudara tuanya? Kita ini bangsa muda, anakku, harus menghormati leluhur kita jauh di sana. Tulang-belulang kita belumlah kuat, tak sebanding dengan tulang istrimu. Akan hancurlah percampuran yang tak setara itu, sebab engkau menggagahi saudari tuamu sendiri."



"Ampunilah anakmu ini, ya Ibu. Doakanlah agar kutukan itu tak terjadi pada kami. Kami berniat suci untuk membina keluarga yang Ibu restui. Restuilah kami agar kami dapat meneruskan garis keluarga yang sementara berhenti pada tegak hamba ini."



Perempuan tua itu memegang kedua bahu putri ayu kemudian dengan suara gemetar berkata: "Bangunlah anakku. Tegaklah pada kedua belah kakimu dan pandanglah perempuan tua ini."



Dengan patuh putri ayu tegak menatap wajah perempuan tua itu yang telah keriput, rambutnya yang jarang sudah berwarna putih tak bercampur hitam. Di mata perempuan itu putri ayu melihat mata ibunya, yang berlinangkan air mata. Di mata itu pula terbayang wajah ayahnya yang dengan pandangan bengis melepaskan kepergiannya bersama lelaki yang dicintainya itu.



"Kalau engkau pergi, pergilah, dan jangan sekali-kali kembali menginjakkan kaki di negeri ini. Pergilah jauh bersama ombak, dan engkau akan selamanya dihempas ombak yang datang dari tengah laut, memandang jauh ke utara, memimpikan negeri yang telah kau tinggalkan, yang tak mungkin kau rengkuh kembali. Pergilah sampai halilintar nanti bergelegar dan langit terbelah mewartakan amarah para leluhurmu. Tunggulah saatnya sampai kau tak lagi dapat mengingat masa lalumu karena hatimu sudah menjadi batu bersama tangan dan tubuhmu."



Alangkah kejamnya kutukan yang telah diucapkan oleh ayahnya, dan kutukan itu makin menyata di mata perempuan tua yang sekarang menjadi ibu mertuanya, seolah dia mampu menyaksikannya datang makin dekat ke arah perahu batu yang dihempas air laut di pantai dilepas sebuah pura yang terletak di sebuah bukit batu.



Tubuhnya bergetar melihat kedua belah mata perempuan tua itu yang menampilkan batu karang memanjang yang selalu dihempas ombak, seolah sebuah perahu yang tiang-tiang utamanya telah patah. Di mata itu dia juga melihat badai, dan perahu yang terombang-ambing oleng dalam ayunan ombak yang tak henti-hentinya menerpa.



"Tabahlah, anakku. Bagaimanapun juga, kau adalah anakku, sudah menjadi anakku sendiri, dan apa yang sudah terjadi memang harus dilakoni. Kutukan dan hukuman tak bisa dielak tetapi bisa dimohon untuk tak semena-mena menghancurkan raga dan jiwa kita. Marilah ikut ibu memohon kepada Hyang Gusti Kang Murbeng Dumadi, Gusti yang memulai menghamparkan langit dan bumi bagi kita semua. Tiada kekuatan satu pun yang dapat menandingi kekuatan-Nya yang tak terbatas, sebab manusia hanyalah ciptaan-Nya yang hanya mencoba menyamai-Nya namun mustahil dapat menjadi kekuatan yang maha raksasa. Marilah menundukkan kepala kita, ya anakku, memohon kepada-Nya agar kutuk itu diperingan dan tak sampai menghancurkan kebahagiaanmu bersama suami dan kelak bersama anak-anakmu."



Lalu, mereka pun pergi ke tepi laut, dan perempuan itu duduk tepekur di pasir pantai.



"Kumpulkanlah lidi dan ranting-ranting kecil, buah ceri dan ketela pelepah pisang bawalah kemari," katanya, sementara anak dan menantunya pergi melaksanakan permintaan perempuan tua itu.



Lalu, dari lidi, ranting, dan pelepah pisang perempuan tua itu membangun sebuah perahu kecil, lengkap dengan tiang utama dan layar yang disobekkan dari bajunya. Di atas perahu dinaikkan seorang pelaut yang tubuhnya dibuat dari ketela dan kepalanya dari buah ceri. Lalu, mereka bertiga mendekat ke air laut.



"Layarkanlah perahu ini, anakku," katanya. "Kalian berdua, layarkanlah dia."

Mereka berdua berpegangan tangan dan melayarkan perahu kecil itu yang pelahan dihempas kecipak ombak kecil.



Tiba-tiba langit diselimuti awan gelap yang menyungkup langit dan petir sambar-menyambar. Perahu yang mulai bergerak ke tengah itu dalam kilatan petir nampak membesar dan membesar, dan akhirnya sebuah perahu sempurna lengkap dengan tiang utama dan layar yang masih tak sempat diturunkan, oleng diterjang badai ombak. Terdengar angin dari arah utara seolah teriakan lelaki yang sedang marah, dalam aum gemuruh badai menggila. Hujan deras mengguyur sekujur badan perahu, dan terakhir kilat utama menyambar perahu, mematahkan tiang utama dan menjatuhkan layar yang tak sempat terkembang ke air laut. Dan perahu yang oleng dalam cahaya kilat dalam gelap itu berubah menjadi batu, terbujur memanjang dan terdampar di pantai di depan pura yang berdiri kokoh di bukit batu, membatu bersama penumpangnya.



Ketika badai reda dan langit terang kembali, matahari menyinari batu karang yang terbujur memanjang, seolah sebuah perahu yang telah membatu.



"Itulah perahu yang menjalani kutuk itu. Suara ayahmu yang murka telah hilang ditiup angin, kembali ke arah utara."



Perempuan tua itu tetap bersimpuh di atas pasir. Putri ayu memegangi tubuhnya yang lesu agar tak jatuh menyentuh batu-batu tajam di pantai itu. Lelaki gagah itu duduk bersila menghaturkan sembah ke langit, bersyukur karena perahu kecil itu sudah berubah menjadi batu dan perahunya sendiri selamat memuat harga oleh-oleh untuk orang sekampung.



"Kasih sayang Ibu telah menyelamatkan kami berdua. Terima kasih kami, ya Ibunda. Tidak ada yang lebih mulia dari hati seorang ibu, dan Ibu telah memberikan kemuliaan itu kepada kami berdua. Sekarang, izinkanlah kami mengemban amanat ayahanda untuk meneruskan alir darah yang sementara berhenti di tubuhku ini."



Perempuan itu membuka matanya dan mencoba duduk dengan punggung tegak.



"Syukurilah peristiwa hari ini, anakku," katanya dengan suara lemah.

"Ya, Ibu. Kami bersyukur dapat lepas dari kutuk dan siksa," kata mereka berdua.

Masih dengan suara lemah, perempuan itu melontarkan kata-kata yang menggetarkan jiwa mereka.

"Tapi ini bukan akhir kisahnya, anakku. Masih ada yang akan tiba, yang lebih dahsyat, yang harus kamu tanggung berdua."

"Duh, Ibu, apalagi yang akan menimpa diri kami?"

"Itulah yang aku tak tahu," kata perempuan tua itu.

"Tak mungkinkah kami dihindarkan sekali lagi dari malapetaka?"

Perempuan itu memandang mereka dengan matanya yang tak lagi menangkap cahaya muka kedua anaknya.



"Telah terkuras tenagaku, sudah tak kuasa aku menyalurkan daya ke atas dunia fana ini. Tempatku adalah para-para cahaya, tak lagi di atas batu padas dan pasir pantai. Lihatlah ke atas awan dan akan terlihat gemintang yang berkedip. Salah satu di antaranya adalah ibu, yang selalu melihatmu di kala malam, mengenang hari-hari yang sudah lewat, yang selalu merindukanmu."



Dan perempuan tua itu memejamkan matanya buat selama-lamanya meninggalkan senyum yang memancarkan kecantikan jiwanya. Lelaki dan putri itu membakar jenazahnya dengan upacara yang layak dan menaburkan abunya ke laut, lalu memanggil kembali arwahnya untuk dibawa masuk ke dalam pura dalem.



Lalu, peristiwa yang lebih dahsyat dari perahu yang berubah menjadi batu, kapankah akan terjadi? Lalu, peristiwa macam apakah yang akan terjadi?



Dari hari ke hari keduanya menunggu peristiwa yang tak dijelaskan bentuk dan waktunya., sampai lahir putra sulung mereka, disusul oleh putri, dan putra lagi, dan putri lagi.



Sampai pada suatu hari, sebuah kapal dari negeri China dengan benderanya kepala naga yang berkibar mendekati pantai di mana mereka berdua tinggal, di kampung yang baru saja tumbuh. Tak ada ombak tak ada angin dan badai, namun kapal itu berhenti jauh agak ke tengah laut. Bererapa buah sekoci diturunkan ke laut, dengan beberapa orang pelaut mengayuh sekoci itu ke pantai.



"Tolonglah kami, Tuan Muda," kata lelaki itu dalam bahasa China, kepada lelaki yang kini sudah menjadi petani. Lelaki itu dapat mengingat sejumlah kata yang dipungutnya dalam kunjungannya ke negeri istrinya dan menjawabnya dengan sebuah pertanyaan:



"Apa yang harus aku lakukan?"

"Kapal kami terdampar. Tolonglah kami agar kami dapat melanjutkan perjalanan kami kembali."

"Siapakah tuanmu, ya tamu kami."

"Kami adalah anak buah Tuan Teh, Tuan muda."

"Mengapa kalian datang kemari?"

"Kami hanya singgah mencari putri Tuan Teh yang telah melarikan diri dengan seorang pemuda dari negeri jauh. Kami diperintah untuk membawa kembali tuan putri."

"Apakah dia The Giok Nio?"

"Bagaimanakah Tuan tahu?"

"Akulah suami putrimu, yang telah melahirkan empat orang putra putriku. Akankah kau membawa kembali dia ke negerimu?"

Para pelaut itu menghunus pedangnya bersiap hendak menyerang. Lelaki itu pun menghunus kerisnya, dan para lelaki itu undur sampai kaki mereka masuk ke dalam air laut.



"Lihatlah, hai para tamuku!" kata lelaki itu, kemudian mengacungkan kerisnya tinggi-tinggi. terdengar petir menyambar dan laut mengganas dan ombak menggoncangkan kapal. Tiba-tiba langit cerah kembali dan terdengar suara teriakan dari arah perahu. Terlihat orang memberikan tanda yang mengatakan bahwa kapal mereka tak lagi terdampar.



Para pelaut itu surut, undur dan menghaturkan penghormatan.

"Terima kasih Tuan Muda."

"Sampaikan pada Tuanmu bahwa sang putri selamat tak suatu apa dan berbahagia dengan suami dan anak-anaknya."

Mereka memberi hormat dan kembali menuju sekoci yang bergegas dikayuh kembali menuju perahu.



Lelaki itu seolah mendengar bisikan dari Ibu, di langit di antara bintang-bintang. Dengan memejamkan matanya lelaki itu menggumamkan:

"Terima kasih Ibu, telah kau ubah kutuk menjadi perbuatan mulia. Semoga ayah mertuaku dapat menerima kenyataan ini."

Dan, malam itu, di atas perahu, lelaki itu bersama istri dan empat orang anaknya diundang pesta perjumpaan dengan keluarga yang telah berpisah, jauh dipisahkan oleh lautan.***

Singaraja, 6 Agustus 2003