Pages

Sabtu, 26 Maret 2005

Lelaki Muda dan Gadis Kecil

Cerpen Susialine Adelia

"Tamu Bu," Bibi membungkuk santun, mengarahkan ibu jarinya ke ruang depan.

"Siapa?" tanyaku sambil melipat koran, melepas kaca mata.

"Tidak tahu Bu, belum pernah ke mari."

Aku mengangguk. Bangkit dengan benak penuh tanya, aku yakin tamu itu bukan teman bisnisku, karena ini hari Minggu. Bukan pula saudara, karena biasanya mereka menelepon lebih dulu memastikan aku ada di rumah. Mungkin saudara jauh atau teman lama yang tidak tahu adat kebiasaanku? Bisa jadi.

Begitu membuka pintu kudapati seorang lelaki muda dan gadis kecil yang tengah bercanda di teras. Lelaki itu berkulit coklat terbakar matahari, berpakaian agak lusuh. Si gadis kecil berkulit lebih terang, berbaju baru dengan bahan kualitas rendah. Ketika gadis itu menoleh padaku, segera kutangkap sinar di wajahnya yang membuatku terkesiap beberapa saat. Sinar wajah itu tak asing bagiku. Meski bentuk hidung dan mata kedua tamu itu sama --yang membuatku bisa segera menyimpulkan bahwa mereka adalah bapak dan anak-- namun kutemui sinar lain di wajah anak itu.

Lelaki muda itu menoleh ke pintu, ke arahku. Seketika dia berdiri, mengangguk sedikit dan mengucap selamat siang. Aku menjawab dengan sedikit goyangan kepala. Sedikit saja. Tawa kecil si gadis kecil pun terhenti. Kupersilakan keduanya masuk, masih dengan jantung yang sedikit berdebar. Siapa mereka? Lelaki lusuh dengan sorot mata tajam. Jelas kemari bukan untuk minta sumbangan.

Setelah kami duduk, dia mulai memperkenalkan dirinya.

"Saya Jaya, Tante. Dan ini Neyla," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu gadis kecil itu.

Neyla. Nama yang begitu mirip dengan nama anak gadisku dulu, Neyna.

"Maaf, mengganggu hari libur Tante," katanya. Suaranya mantap dengan intonasi jelas dan tatap mata yang begitu percaya dirinya.

Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Cara dia berbicara dan tatap mata itu, tidak dimiliki oleh sembarang orang. Untung aku memperlakukannya dengan baik, batinku. Kutatap dia lebih lekat, mencoba menjajaki lebih dalam siapa sebenarnya laki-laki di depanku itu. Dia cukup tampan. Mungkin kemelaratan membuatnya kurang terawat dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya.

"Saya ada titipan dari Neyna."

Neyna. Dia menyebut nama itu! Seketika menegang otot-ototku.

"Maaf baru bisa menyampaikan sekarang," lanjutnya. "Sangat terlambat, tetapi memang baru sekarang kami sempat ke kota ini."

Dia keluarkan dari tasnya yang kumal sebuah bungkusan pipih dan diulurkannya padaku. Kuterima bungkusan itu dan kubuka salah satu sisinya. Foto kami. Aku, suamiku, Andreas, dan Neyna. Foto yang dibuat ketika dua anak kami masih kecil. Mungkin Neyna baru seusia gadis di depanku itu. Jadi Neyna yang telah mengambil foto ini dari ruang tengah, batinku.

"Neyna minta maaf tidak minta izin mengambilnya dan minta tolong saya mengembalikannya kemari."

"Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikannya pada kami?" keramahan yang baru mulai muncul seketika sirna. Sikapku berubah dingin dan kaku.

Ingatan pada Neyna, anak perempuanku itu telah membuka kembali luka masa lalu. Masih jelas dalam ingatan betapa anak yang kukandung, kulahirkan dan kubesarkan itu tega menampar-nampar wajahku. Aku tak tahu, apa yang telah merasukinya. Neyna yang begitu manis dan menyegarkan hari-hari kami sekeluarga, sedikit demi sedikit mulai berubah begitu masuk kuliah dulu. Awalnya, hanya ikut kegiatan kemahasiswaan saja. Selanjutnya dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di organisasi mahasiswa. Waktu itu aku mulai menegurnya. Kami sempat berdebat sebelum akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku tidak akan melarangnya berkegiatan selama dia mampu mempertahankan prestasi akademiknya.

Lama-lama dia mulai malas pulang. Rumah hanya dijadikan tempat singgah, tempat menyimpan barang yang diperlukannya kadang-kadang. Komunikasinya denganku menurun drastis. Aku yang dulu berfungsi sebagai teman ngobrol berubah menjadi kasir yang hanya ditemui pada saat butuh duit. Begitu jarangnya dia pulang hingga kadang aku terkaget-kaget ketika bertemu. Anak gadisku yang cantik, bersih, dan wangi tiba-tiba kutemui telah jadi malas merawat diri. Dia datang menemuiku dengan wajah tirus, mata lelah, dan baju yang apek. Bahkan pertemuan selanjutnya tidak kutemui lagi rambut hitamnya yang dulu lebat dan indah dengan poni yang membuatnya seperti boneka Barbee. Rambut itu telah dipangkas pendek karena dia merasa terlalu ribet mengurusnya.

Aku mulai punya alasan untuk marah dan melarangnya berkegiatan, tetapi dia membantah. Bahkan terang-terangan menyatakan sikapnya terhadapku. Mengkritik aku yang katanya otoriter, menjalankan kepemimpinan rumah tangga dan perusahaan sekehendakku, tanpa mau mendengar usulan dan suara ketertindasan orang lain. Siapa tak akan terbakar? Tahu apa dia tentang kehidupan rumah tangga? Apalagi tentang perusahaan. Tak sadarkah dia bahwa perusahaanlah yang membuatnya bisa hidup seperti sekarang?

"Perusahaan itu tumpuan hidup kita. Kamu tidak perlu mencampuri urusanku di sana karena kehancuran perusahaan berarti kehancuran hidup kita," kataku pelan namun tajam.

"Ya, memang perusahaan itu yang membuat kita jaya dan kaya-raya. Tetapi ingat Ma, itu bukan hasil kerja Mama. Para buruh itulah tulang punggungnya. Dan selama ini Mama dengan atas nama perusahaan telah memeras tenaga mereka tanpa imbalan yang sepadan," teriak Neyna lantang.

Aku meradang. "Kalau tak suka dengan cara kerjaku, jangan makan dari hasil kerjaku. Pergi, carilah makan sendiri atau tetap tinggal di sini dan kunci mulutmu!"

Di luar dugaan, benar-benar di luar dugaan, Neyna menerima tantanganku. Dia memilih keluar dari rumah. Meninggalkan kehidupan yang tak ada kurangnya ini dan menggantinya dengan kehidupan liar. Kehidupan yang serba tak tentu. Tidur di mana pun dan makan dari siapa pun. Entah seperti apa tepatnya, aku tak bisa membayangkan.

Pernah aku berniat menyusulnya karena tak tega, tetapi sebelum niat itu kesampian dia justru memimpin demo karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan. Maka tidak sekadar gagal keinginanku menjemputnya, tetapi lebur juga maafku untuknya. Sejak itu aku tak mau berpikir tentang anak itu lagi. Dia kuanggap sudah hilang atau mati. Dia sudah bukan anakku lagi! Rupanya kepergiannya waktu itu sambil membawa foto yang sekarang ada di tanganku ini.

"Kenapa tak dia kembalikan sendiri foto ini?" tanyaku dengan sisa kemarahan masa lalu.

"Dia tak bisa," jawab Jaya.

"Kenapa?" tanyaku. "Takut bertemu denganku?"

"Bukan," Jaya menggeleng lemah. Berkedip-kedip sebentar. "Dia tak bisa menemui siapa pun lagi," lanjutnya pelan sambil menahan napas.

"Sakit?" tanyaku masih dengan keangkuhan.

Jaya menggeleng. Tanpa menatapku dia berkata-kata, "Neyna sudah…. pergi. Setengah tahun lalu." Dan laki-laki di hadapanku itu pun mengusap air matanya yang mengambang.

Aku menghempaskan diri. Tak sengaja. Memang aku begitu terluka oleh ulahnya dan meniatkan tak menganggapnya lagi sebagai putriku, tetapi kabar ini begitu mencabik perasaanku. Neyna, putri cantikku itu telah pergi selamanya…

"Maafkan, saya tak bisa menjaganya," laki-laki itu telah mampu menguasai perasaannya. Sikapnya kembali tenang. "Semuanya berjalan begitu cepat. Suatu hari tiba-tiba saya jumpai Neyna muntah darah. Saat itu juga saya bawa dia ke rumah sakit. Beberapa hari di sana, dokter menganjurkan agar dibawa pulang saja. Kanker ganas di paru-parunya telah menjalar ke organ-organ lain dan tim medis sudah tidak bisa berbuat apa-apa," dia berhenti sebentar, menghela napas. " Salah saya, selama ini tak pernah memperhatikan kesehatannya."

Kami saling diam beberapa saat lamanya. Masing-masing larut dengan kenangan dan penyesalan.

"Kau suaminya?" tanyaku kemudian dengan nada yang lebih lunak.
Dia menatapku sebentar sebelum mengangguk ragu. "Maaf, saya tak minta izin Tante lebih dulu."

"Jadi ini anak Neyna," kataku lirih, hampir pada diri sendiri. "Kalau boleh, biar aku yang mengasuhnya," kataku tiba-tiba.

Jaya tersenyum. "Makasih Tante, dia adalah napas saya. Jadi tak mungkin saya berpisah dengannya. Meskipun saya tak mungkin memberi kemewahan padanya."

Aku cukup tertampar dengan jawabannya. Tapi kutahan tak memberi reaksi apa pun pada jawaban itu.

Tak lama kemudian laki-laki itu minta diri. Kuantar sampai pagar. Sambil kubuka pintu, sempat kutanya, di mana mereka tinggal.

"Kami di lereng Gunung Geni. Saya bekerja bersama penduduk yang terancam kehilangan kehidupan mereka, karena rencana pembangunan taman nasional," jawab Jaya.

Lalu mereka pun berlalu. Sebelum angkot yang mereka tumpangi benar-benar berlalu, masih sempat kulihat lambaian tangan mungil anak Jaya padaku yang kubalas dengan lambaian pula.

Aku masih berdiri di pagar sekalipun kedua tamuku telah lenyap bersama angkot yang membawa mereka. Tiba-tiba aku teringat, sebentar lagi suamiku pulang. Dan dia tak boleh tahu apa yang terjadi. Jadi segera kututup pagar dan melangkah masuk. Membasuh muka lalu kembali duduk di depan tivi, sambil membuka-buka halaman koran Minggu. ***

Sabtu, 19 Maret 2005

Mimpi tentang Rumah

Cerpen Mustafa Ismail

KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu semi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagian dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yang juga milik salah seorang famili ibu.

Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri mengangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu dilakukan ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang waktu itu masih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku mengangkut tanah dengan pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang, ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah.
***

AYAH dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang pegawai kecil di sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga dengan menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang cukup luas.

Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani dengan menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.

Jadi praktis tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa puluh gram emas yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan meminjam kiri-kanan, termasuk dari atasan ayah di kantor. Tak ada bantuan dari siapa pun kecuali sebuah dorongan agar kami punya rumah.

Sebelumnya kami memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang tua ibuku. Itu sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap dipersoalkan oleh saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun sebetulnya mereka sudah mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah orang tak puas: selalu saja lebih indah hal-hal yang belum mereka miliki. Ayah tidak mau repot-repot dengan itu.

Maka ketika ada orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun gembira sekali ketika itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir jalan kabupaten yang berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu menghubungkan Kecamatan Trienggadeng dan Meureudu, yang berjarak sekitar tujuh atau delapan kilometer itu. Aku suka menempuhnya dengan bersepeda bersama kawan-kawan sebaya.

Di samping jalan itu, membentang rel kereta api, menjulur dari Sigli entah sampai di mana. Mungkin sampai Aceh Utara dan Aceh Timur. Mungkin pula sampai Sumatra Utara. Aku memang tidak terlalu mengusut soal itu. Apalagi aku tidak pernah naik kereta yang melintas di rel itu. Hanya pernah melihatnya ketika aku kecil. Ketika aku mulai sekolah kereta api sudah tak ada. Tidak jalan lagi. Entah mengapa. Padahal, ketika tahu ayah membeli tanah dan akan membikin rumah di Jalan Baroh -orang kampungku menyebut begitu- aku senangnya bukan main. Aku membayangkan sesekali bisa naik kereta api.
***

AKU pernah bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun rumah? Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat agar bisa punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah yang kita bangun dengan keringat sendiri," kata ibu.

Ibu juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah. Menurut ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya. "Mengapa tidak diupahin saja sama orang untuk menimbun?"

Pertanyaanku dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama orang, kita tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah. Padahal itu penting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga bisa merawatnya dengan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu."

Ah ibu, sungguh aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak hendak bertanya lebih lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa mereka -ayah dan ibu- bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di tanah sendiri. Lalu aku pun ikut membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya kemudian. Aku mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua ibu yang digelar di tanah. Selanjutnya, ibu berjalan tertatih-tatih dengan perutnya makin buncit membawa beban tanah untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku ingin libur sekolah beberapa hari agar bisa menemani sekaligus membantu ibu. Tetapi ibu melarangku. Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah.
***

Lalu rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat jelek. Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan berpintu. Tapi atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain yang beratap seng. Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang dipernis dengan air semen.

Terus dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama sekali. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung menusuk ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan. Hanya pintunya yang bagus. "Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat pasar?"

"Rumah kita terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat pasar, milik toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar saja, kalau waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi seperti rumah-rumah dekat pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami menjadi bagus. Satu per satu didandani. Atapnya dicat merah saga.

Diplester. Mula-mula bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus merembet sampai kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu dilakukan masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi loteng atau plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus kamar ayah, terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi tidak panas lagi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda cukup lama, sampai ayah berhasil mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya.
***

RUMAH kami dekat pantai. Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara debur ombak. Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar. Kadang bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang dongeng-dongeng. Aku mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa tidur malam.

Kata kakek, rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai di belakang rumahku, ada sebuah jembatan menghubungkan kampung kami dengan Malaysia. Jembatan itu terbuat dari bambu. Karena itu, banyak orang kampung merantau ke Malaysia, tinggal dan beranak-pinak di sana. "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada? Aku ingin sekali main sore-sore Malaysia," tanyaku suatu kali. Kakek segera menyela. "Jembatan itu masih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh anak kecil. Makanya kamu cepat- cepat besar kalau ingin main soresore ke Malaysia. Kamu bisa bersepeda ke sana," ujarnya. "Mengapa jembatan bambu bisa untuk bersepeda?"

"Itulah hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita berjalan di atasnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada beberapa mobil yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak mengerti.

Kakek tersenyum sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu. Mereka membuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan seluruh cinta untuknya.

Mereka tidak dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari harta Tuhan. Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka memancing atau menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk membeli ikan-ikan hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?" "Ya, termasuk kakek."

Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar. Juga berjualan sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering sekali kakek pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada lampunya itu. Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk penerang jalan. Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik -panggilanku untuk nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam dan dijemur untuk dijadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya ikanikan itu tidak keburu busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku kerap bertanya: "Apakah kakek tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau malam banyak hantu."

Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak mengerti. Lalu ia menukas: "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman saja." "Benarkah?" Kakek mengangguk.
***

Sejak situasi di Aceh makin tidak menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal di Jakarta. Kebetulan aku sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini. Bukan hanya ayah dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar Aceh, juga ikut mengungsi.

Ingin menentramkan diri, katanya. Pemuda juga begitu, mereka banyak yang pergi merantau. Ada yang ke Medan, Batam, Jakarta, sampai Malaysia. Tetapi, sejak tinggal di kota ini, ayah kerap termenung. Pikirannya selalu tertuju pada rumah. Tak jarang ia marahmarah sendiri dan mengatakan ingin pulang saja ke kampung. Sering pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus mendorong agar mereka segera meninggalkan kampung karena tidak sanggup lagi menghadapi berbagai kejadian yang malang-melintang di depan mata.

Kalau sedang berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup tenang jauh dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan i kampung sendiri- ayah selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita, di mana saja bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah begitu, ibu tidak akan melayani, dan pergi ke belakang dan menangis, karena merasa terus dipersalahkan oleh ayah. Waktu-waktu yang paling sering terjadi keributan antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa kontrak rumah. Karena pada masa itu ayah harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membayar biaya kontrak selanjutnya. Meski punya uang pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri golongan IIID- sekitar Rp 1 juta rupiah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap akan membayar biaya kontrakan.

Bisa dipahami memang, agak berat hidup di kota ini dengan gaji satu juta rupiah sebulan. Tetapi kalau dipikirpikir, masih beruntung ayah mempunyai pendapatan. Itu ditambah lagi dengan usaha ibu sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di warung dekat tempat tinggal. Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk belanja ikan dan sayur setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu dianggap telah mengambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena itu, ayah merasa selalu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan biaya hidup. "Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan terlantar," kata ayah selalu. Maksud ayah, membayar sekian juta rupiah untuk biaya kontrakan dianggap memperbaiki rumah orang. Kalau itu digunakan untuk merawat rumah sendiri, betapa sudah bagusnya rumah itu. Bukan hanya ibu, aku sendiri kadang juga kena semprot dari ayah. Aku dianggap yang memprovokasi ibu agar hijrah dari kampung dulu. Aku memang beberapa kali mengirim surat kepada ibu agar mempertimbangkan -aku tidak menyuruh- untuk tinggal di Jakarta saja. Mulanya ibu agak ragu. Tetapi setelah mengetahui sebagian orang Aceh, yang punya sanak-famili di luar daerah, meninggalkan kampung, ibu jadi terpengaruh juga.

Jadilah ibu kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda motor kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual televisi, kulkas, dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga "butuh uang". Kecuali rumah, ayah bersikeras tidak mau menjualnya. "Kalau kita jual, nanti saat Aceh aman dan kita pulang kampung, kita akan tinggal di mana?" tanya ayah. Ibu memang tidak menyuruh agar ayah menjual rumah, karena ibu juga berharap suatu saat bisa kembali pulang kampung dan menghabiskan masa tuanya di sana. Akulah yang menyurati agar ayah dan ibu menjual rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijrah. Aku berpikir praktis saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pula, buat apa lagi ayah dan ibu pulang ke kampung, semua anakanaknya -aku dan seorang adikku- sudah tinggal dan bekerja di Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Jakarta, bisa dekat dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri.
***

"Apakah kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung," tanya ayah suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat mata ayah basah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau teringat rumah, ayah hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu merah.

Aku duduk di samping ayah, memandang butiran-butiran hujan yang mulai turun, di tempat tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah sederhana yang dikontrak seharga lima juta rupiah setahun itu. Aku betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya, juga suasana hatinya yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi sebenarnya.

Tetapi aku hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa membayangkan dari jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan beratap merah saga. Sepi dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?" tanyaku kemudian setelah lama terdiam. "Tidak," katanya sambil terisak, lalu mengusap air mata dengan ujung jarinya.

"Itulah masalahnya. Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi malam ayah bermimpi rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu datang untuk mengambil papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata ayah sangat pelan dengan isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi. Pada kenyataannya kan tidak."

"Mimpi itu ayah yakin sekali benar. Dan arti mimpi itu bisa banyak. Bisa saja rumah itu digunakan oleh orang lain untuk hal-hal yang tidak kita inginkan. Atau paling tidak rumah itu sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu- kayunya mulai lapuk dan catnya sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa susahnya kita untuk punya rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk membangunnya."

Sekali lagi aku menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita kirim surat kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?" "Tidak. Ayah terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah. Kasihan kalau rumah itu jadi rusak," suara ayah.

"Tetapi di kampung belum aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar tenteram," aku memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya dengan suara serak. Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa pensiun begini ayah jalani bersama ibumu di kampung sambil merawat rumah," tutur ayah dengan wajah yang makin basah. ***

Pamulang, 27 Mei 2004

Sabtu, 12 Maret 2005

RAH-KANG RI

Cerpen Budi Palopo

SENJA telah jatuh. Warna langit di barat Kampung Negariki telah berubah. Kuning keemasan yang tadinya terlihat cerah, berganti dominasi warna merah. Tapi, sejumlah anak lelaki telanjang dada itu masih juga tampak asyik bermain tembak-tembakan.

"Dor? Dor?Dor?!"
Pelepah daun pisang yang dijadikan senjata api laras panjang dibidikkan berulang-ulang. Yang kena tembak harus mati, kendati tak lama kemudian boleh hidup lagi. Ada yang tiarap. Ada yang bersembunyi. Ada yang berlari-lari.

Saat itu, di pojok luar rumah, Rah pun masih juga tampak asyik mengelus-elus sepatu kumal yang tergeletak di dekat tempat sampah. Entah itu sepatu lars milik siapa. Tak jelas pula siapa yang pertamakali memakainya. Yang pasti, sepatu kotor itu tak bertali. Tanpa pasangan, hanya tinggal yang sebelah kiri.
***
HAMPIR setiap hari Rah berusaha membersihkan kotoran yang melekat pada sepatu kulit itu, dengan cara merendamnya di bak mandi. Tapi, sepatu lars kumal itu tetap saja tak bersih. Baunya tetap saja tak sedap. Sampai-sampai, hanya untuk menghilangkan bau, Ning Tin --ibu Rah-- perlu menjemurnya hingga berhari-hari. Sayangnya, setelah kering, Rah kembali membasahinya. Setiap mandi, Rah pun selalu memandikannya pula. Alasannya, biar bersih. Tapi, sekali lagi, sepatu lars tak berlidah itu tetap saja tak bersih. Bahkan, baunya kian menyengat.

Kalau saja tumbuh sebagai manusia normal, dalam usia yang telah meninggalkan angka belasan tahun, Rah tentunya lebih gandrung bermain cinta daripada berakrab-akrab dengan barang rongsokan yang tak layak pakai itu. Kini, di Kampung Negariki, gadis-gadis seusia Rah toh nyaris semua telah hidup berpasang-pasangan. Bahkan tak sedikit yang telah berstatus janda muda.

Sayangnya, Rah bukanlah gadis normal. Soal wajah, sepintas memang masih menarik, kendati tak bisa dibilang cantik. Terutama kalau gerai rambutnya diatur menutupi bagian telinga. Sebab, selain buah dadanya tak menyembul, Rah ternyata tak memiliki daun telinga

Pendek kata, kondisi fisik maupun mental Rah tergolong cacat berat. Nyaris tak pernah mau bicara. Kalau toh ada suara yang bisa dilontarkannya, itu pun tak lebih dari kata-kata umpatan: "bangsat?!" Tersenyum, kalau ingin menunjukkan suasana hati senang. Tertawa-tawa kalau sekiranya ada hal yang dianggapnya lucu dan patut ditertawakan. Selebihnya, diam.

Rah gadis ideot? Sepertinya memang begitu. Tapi, nanti dulu. Ketika masih diperbolehkan bersekolah dasar, Rah ternyata pernah menunjukkan diri sebagai anak yang normal dan cerdas. Ia selalu jadi bintang saat kelas I dan II. Rah selalu menempati ranking pertama. Sayangnya, ketika ia kelas III, pendidikan formal itu harus berakhir dengan tragis.
***
PAGI itu, langit tak lagi mendung. Dari rumah seorang tetangga yang sedang berhajat mengkhitan anaknya, terdengar lagu berirama langgam yang tersuarakan lewat tape recorder. Lirik lagu berbahasa Jawa itu pun cukup menyentuh: "?golekan, kae golekane sapa. Yen sira tansah dadi golek-golekan, ingsun mengko entek mimis pira?"(1)

Di tempat pejagalan samping rumah, Kang Ri sedang sibuk menguliti seekor sapi yang baru saja disembelihnya. Tampak serius, dan menegangkan. Tanpa nyanyi. Tanpa cengkerama. Saat itulah, di dekat Kang Ri kerja, Rah bermain anak-anakan. Boneka plastik yang dimilikinya, dikudang-kudang, di-emban-ayun-kan, dan diajarinya untuk bisa bicara dengan bahasa manusia.

"Rah? minggir?!" bentak Kang Ri, merasa terganggu.
Entah kenapa, Rah seakan tak mendengar perintah Kang Ri yang dipanggilnya "bapak" itu. Akibatnya, Rah kena marah. Boneka yang tengah dipeluknya mendadak direbut Kang Ri, lalu dibuangnya.

Rah kaget. Dengan tangis tertahan, ia segera memburu boneka kesayangannya. Tapi, bocah tak beralas kaki itu pun mendadak ragu. Kendati air matanya menetes-netes, Rah sepertinya tak berani lagi menyentuh boneka kesayangannya. Ia memilih sikap menggores-gores tanah dengan sebilah tatal kayu, di sekitar tubuh boneka berlumur darah, yang tergeletak di pelataran rumah. Ia seakan membuat tengara kesedihan bergaris-garis tanpa aturan di tanah pijakan, untuk mengenang boneka yang dianggapnya telah mati terbunuh.

Tak lama kemudian, Kang Ri yang jari-jari kedua tangannya masih belepotan warna merah, datang menghardik. Rah diminta untuk segera masuk rumah. Tapi, Rah menanggapinya dengan gelengan kepala. Rah menolak. Rah memilih diam di tempat, untuk terus menggores-gores tanah di sekitar boneka dengan sebilah tatal kayu yang dipegangnya.

Tanpa banyak kata-kata, lelaki bertubuh kekar itu lalu mencengkeram lengan kiri Rah. Dan, tangis bocah perempuan berpita rambut merah itu pun meledak. Menyayat, menjerit-jerit. Kendati demikian, Rah tetap diseret dan terus diseret-seret. Rah dipaksa jauh meninggalkan boneka mainannya. Alasannya sederhana: Rah harus mandi sembari menghapal teks Pancasila, sebelum pamit berangkat sekolah dengan mencium tangan bapaknya.
***
ENTAH sudah berapa kali Rah kena gebuk Kang Ri. Yang jelas, Rah sering menangis. Suatu hari, menjelang bulan Agustus, setelah melihat bendera merah-putih berbagai ukuran diperjualbelikan di pinggir jalan, Rah juga menangis. Rah, ketika itu digebuk Kang Ri lantaran memaksa minta dibelikan bendera baru.

"Rah, memang nakal. Bapaknya sudah punya bendera kok masih saja minta dibelikan bendera lagi. Maunya sih ingin bendera sendiri, yang bisa dibawa untuk karnaval di sekolah. Tapi untuk karnaval itu kan bisa dengan bendera kertas. Bapaknya telah berjanji mau membuatkannya, tapi Rah menolak. Rah minta dibelikan bendera sungguhan. Bendera kain. Lha itu kan, namanya pemborosan," jelas Ning Tin pada seseorang yang berbasa-basi menanyakan soal tangis Rah.

Rah nakal. Vonis itulah yang dijatuhkan ibunya sendiri. Ya, Rah nakal. Tepatnya, dianggap nakal. Karena itulah, ia kena gebuk. Karena itulah, ia sering menangis. Dan, pagi itu, setelah diseret-seret Kang Ri untuk meninggalkan boneka, tangis Rah kembali terdengar menyayat. Di antara jerit tangisnya, dari kamar mandi, terdengar pula suara Rah terbata-bata melafalkan teks Pancasila.

"Kang Ri memang keterlaluan kok," aku Ning Tin pada orang lainnya. "Wataknya kaku. Apa maunya harus dituruti. Kang Ri itu nggak mau dibantah. Sementara Rah sendiri ya ndablek. Seringkali nggak pedulikan omongan bapaknya," jelasnya.

Kang Ri wataknya memang kasar. Juga tergolong pemberang. Tukang jagal sapi satu-satunya yang ada di Kampung Negariki itu sering marah-marah. Dan, kalau sudah marah, orang-orang di dekatnya nyaris tak ada yang berani membuka mulut. Istrinya, kemenakannya, juga semua pembantu kerja penjagalannya, terpaksa diam. Tak ada yang berani memotong kalimat omelannya. Jika ada yang berani menyela kata, bisa dipastikan semua barang di dekatnya hancur berantakan.

Menurut Ning Tin, Kang Ri itu punya penyakit dog-nyeng. Sebentar-sebentar marah, sebentar itu pula ia kegetunen. Jelasnya, marah Kang Ri tak pernah berlarut-larut. Setelah memuntahkan amarahnya, seringkali Kang Ri merasa menyesali diri. Bahkan, seringkali pula, hal-hal yang menyulut kemarahannya justru dijadikan bahan kelakar setelah ia tak marah lagi.

Pernah, dalam sebuah kesempatan ngobrol di pos jaga kampung, Kang Ri bercerita sembari tertawa-tawa. Saat itu menyinggung soal Rah yang menolak diciumnya. Alasan Rah, mulut Kang Ri bau. Dan, karena Rah tidak mau dicium, Kang Ri marah-marah. Rah pun digebukinya. "Setelah saya pikir-pikir, ternyata Rah benar. Mulut saya memang baunya amit-amit. Saya sendiri jijik. Tapi, istri saya kok betah ya?" katanya penuh canda.

Persoalan yang menyulut amarah Kang Ri kadang memang terlalu sepele. Yang terjadi pada pagi itu, misalnya. Hanya karena Rah bermain anak-anakan sembari bernyanyi-nyanyi di dekatnya, Kang Ri marahnya bukan main. Celakanya, peristiwa mengenaskan itu pun masih berlanjut.

Usai mandi, Rah ternyata kembali tertatih ke tengah pelataran. Bocah sekolah dasar itu telah mengenakan rok seragam berwarna merah. Sepatu belum dipakai. Baju putihnya belum juga dikancingkan. Ya, dengan dada sedikit terbuka, Rah melangkah mendekati boneka kesayangannya yang masih tergeletak di pelataran rumah. Sorot matanya memerah saga. Isak tangisnya masih tersisa.

"Rah?!"
Ning Tin memanggil-manggil. Tapi, Rah tak peduli. Ia seolah tak mendengarnya. Rah tetap melangkah. Boneka yang berlumur darah sapi itu pun kembali digendong dan dipeluknya.

"Rah?! Pakai sepatu dulu?!" pinta Ning Tin, setengah memperingatkan.

Dan, suara peringatan Ning Tin ternyata memancing perhatian Kang Ri. Pandangnya seketika mengarah ke bocah yang tak beralas kaki itu. Melihat Rah tak memedulikan suara panggilan ibunya, Kang Ri kembali beraksi. Lelaki pemberang yang tengah sibuk memotong-motong daging sapi di pejagalan samping rumah itu segera mendekati Rah. Tapi, entah kekuatan dendam macam apa yang merasukinya, Rah menantang. Tanpa sepatah kata yang terlontar, Rah cepat-cepat meraup segenggam batu kerikil pelataran untuk dilempar ke wajah bapaknya.

Lalu, tangis Rah pun kembali meledak. Rah kembali digebuk. Rah kembali dihajar. Rah diseret-seret hingga ke pojok rumah, dan kepalanya dibentur-benturkan ke tempat sampah. Bahkan, sepatu lars hilang pasangan yang tergeletak di dekat tempat sampah itu diangkat Kang Ri tinggi-tinggi, lalu dihantamkan ke wajah Rah berkali-kali.

"Bangsat?! Aku ini bapakmu? bangsat! Berani-beraninya kamu melawan? hah! Bangsat?! Bangsat?! Bangsat?!" umpat Kang Ri, sembari menendang-nendang tubuh Rah. Dan, sejak itulah Rah dilarang main boneka. Rah dikurung. Dilarang keluar rumah. Dilarang melanjutkan sekolah.

Bertahun kemudian, tahulah semua orang kampung. Ternyata, Rah tumbuh sebagai gadis yang cacat berat. Tak punya buah dada, dan tanpa daun telinga. Setelah dilarang Kang Ri main anak-anakan, Rah seolah kehilangan rasa cinta. Setiap melihat boneka plastik yang berwajah bayi manusia, Rah segera mengambil pisau dapur lalu berusaha menyembelihnya. Celakanya, sepatu lars hilang pasangan, kumal dan berbau, yang pernah jadi alat penghantam kepalanya itu, justru dianggapnya sebagai teman main yang menyenangkan. Teman main yang patut digendong-gendong dan diemban-ayunkan.

Hampir setiap hari, Rah menghabiskan waktu di pojok rumah, dekat tempat sampah, hanya untuk berakrab-akrab dengan sepatu lars yang dianggapnya sebagai satu-satunya teman main. Dan, anehnya, jika ada seseorang yang menyapa saat ia bermain, Rah buru-buru masuk rumah. Bersembunyi di balik pintu, sembari mengintip-intip lewat celah dinding bambu. Setelah memastikan si penyapa beranjak pergi, barulah Rah keluar untuk bermain lagi.
***
DAN, senja pun telah benar-benar jatuh. Warna langit di barat Kampung Negariki kian memerah. Dari surau terdengar kumandang adzan. Tapi, anak-anak lelaki yang telanjang dada itu masih saja ribut main tembak-tembakan. Di tengah suasana permainan yang ribut itu, Rah ternyata masih juga tampak asyik mengelus-elus sepatu lars kesayangannya.

"Rah?Rah?!"
Mendengar suara Ning Tin memanggil-manggil, Rah segera beranjak masuk rumah. Namun, sebelum sampai pintu, ia ditabrak seorang anak lelaki yang tengah berlari menghindari bidikan senapan. Rah jatuh, terjengkang di teras rumahnya sendiri.

"Dor? dor? dor!" teriak seorang anak lelaki lainnya, sembari membidik-bidikkan pelepah pisang yang dijadikan senjata.

"Pause?pause. Nggak bisa. Aku lagi tiarap, nggak bisa ditembak!"
"Ya nggak bisa begitu. Kamu kena tembak. Kamu harus mati. Kamu nggak tiarap, tapi terjatuh karena menabrak Rah?.!"

Perang mulut pun terjadi. Dua anak lelaki yang tengah bermain tembak-tembakan itu tak ada yang mau mengalah. Masing-masing punya alasan. Masing-masing merasa benar. Mereka bahkan tak peduli pada Rah yang menjerit-jerit kesakitan.

Sementara, di ruang tengah, Kang Ri berbaring lunglai di atas balai-balai bambu bertikar pandan. Kang Ri jatuh sakit. Lima tahun sudah, tukang jagal sapi itu tak bisa bicara. Kalau minta sesuatu pada Ning Tin ia hanya menuding-nuding sembari mendesis, "oh? oh? oh" yang tak jelas artinya. Anehnya, sorot mata lelaki berbibir sumbing itu masih juga tampak berapi. (*)

Catatan:
(1) Terjemahan bebasnya: ?boneka, boneka siapakah itu? Jika kau terus jadi buronan, berapa butir peluru harus kuhabiskan?

Minggu, 06 Maret 2005

Rajam

Cerpen Muhidin M. Dahlan

DI SIANG garang, di atas paha terbuka istrimu yang membelaimu lembut, kau melihat dari alam jauhmu sebuah kematian yang paling indah dan mencekam. Kematian seorang perempuan jalang.

Ya, seorang perempuan jalang, di lapangan kota, diseret digelandang dalam sebuah iring-iringan riuh. Mirip upacara keagamaan. Beduk-beduk, gending-gending, memekik memekakkan telinga. Ini bukan pasar atau ritual sunatan atau riuh mauludan saban tahun. Tapi riuh gending dan beduk ini adalah tabuh kematian. Sebentar lagi, sejelang lagi, akan tercetus kematian seorang perempuan jalang yang merobek-robek kesadaran beragamamu kelak di kemudian hari.

Di lapangan itu neraka jahanam didandani. Di lapangan itu sebentar lagi ulama-ulama tahkim kota akan menjatuhkan palu takdir kematian yang barangkali paling mengerikan jika dilihat dari sudut pandang perempuan jalang itu. Sudut pandang korban yang teraniaya karena ketakberdayaan membela diri atau berdebat tentang mana yang benar mana yang salah mana yang boleh mana yang tidak. Sebuah upacara kafarat. Semacam denda yang harus dibayar karena melanggar aturan Tuhan. Dan denda itu adalah darah yang berujung pada kematian. Rajam.

Dan perempuan jalang malang itu, terbersitkah dalam alam sadarnya bahwa dalam tabuhan beduk dan gending serta sorak riuh memekak itu bersemayam hantu kekejian dan keberingasan yang berzirah rubah kegelapan. Dan semua zirah itu berebut tempat tersembunyi dan kelam dalam jiwa manusia yang kemudian menyeradak keluar dengan cara yang tak terduga. Dan barangkali dengan cara yang tak masuk akal.

Di tengah lapangan, telah tersedia liang yang digali sepagi tadi. Sepinggulan dalamnya. Dan di sana dipancangkan sebilah bambu setinggi tombak pemburu babi. Bambu-bambu belahan yang dipotong pendek-pendek dan sebentangan tambang memagari lubang itu dalam jarak 10 kaki. Dibuat melingkar. Terukur dengan baik untuk sebuah penyiksaan brutal atas perilaku jalang. Atas nama kafarat. Dan nantinya drama ini bisa menjadi semacam nubuat yang gemuruhnya bisa tersesap dalam pori-pori, dalam alam sadar, bahwa hidup harus baik-baik saja. Kalau tidak, neraka jahanam akan terlalu sering digelar di lapangan kota atau di mana pun. Dan yang kena tak terkecuali. Siapa pun yang berani hidup jalang dan lancung.

Dan kematian itu bukan lagi semacam gertakan bagi perempuan jalang itu. Sebab dalam liang itu separuh tubuhnya ditanam. Sementara tangannya akan diikat melipat ke belakang berdempet dengan sebatang bambu yang berdiri meneguh dengan permukaan yang bersayat tajam. Cukup untuk melukai kalau tangan bergerak atau berusaha meronta. Dan batu-batu akan beringas menghujaninya.

Kau tak tahu, apa persisnya salah perempuan itu hingga beduk hari ini bertalu dan gending dipukul-pukul hingga muntah tak beraturan di cuping-cuping kuping.

Yang kau tahu, ini pun samar-samar dan belum bisa dijadikan pegangan yang pasti dan meyakinkan, perempuan jalang itu datang dari wilayah antah berantah. Dan di sebuah pagi, dia muncul begitu saja. Tapi bukan ini yang menjadi masalah, melainkan ulahnya berkitar-kitar di tengah kota. Dia berjalan seenaknya dengan tak satu pun kain membungkusi tubuhnya. Kotor dan menjinjikkan. Menyebarkan bau amis dan membuat muntah biri-biri yang berpapasan. Serupa sampah yang sudah berbulan-bulan tak pernah dibakar atau ditanam. Pun begitu bagi lelaki dewasa yang melihatnya tentu masih tersisa asyiknya tubuh kotor itu. Bagi anak-anak tentu tubuh lancung itu bisa menjadi semacam hiburan. Dan bagi perempuan-perempuan mulia dan beradab tentu menahan malu yang tak kepalang. Beberapa orang perempuan mulia pernah berpapasan lalu menyiramnya dengan air dari radius beberapa meter. Atau pernah suatu kali langsung menceburkannya ke sungai dan melemparinya kain.

Tapi itu tak bertahan lama. Beberapa hari kemudian dia akan kedapatan di tengah kota berjalan tanpa balutan secarik pun kain. Dan tingkah lakunya makin lama makin tak senonoh. Dia tak segan-segan menari-nari di pasar dan kemaluannya digosok-gosokkan di tiang umbul-umbul. Atau berjingkrak-jingkrak di pintu depan masjid ketika orang-orang hendak mendirikan kewajiban sembahyang.

Dan bahkan pada malam hari beberapa kali menghadang para santri selepas pengajian di surau dan memintanya agar bersedia membuntinginya. Sebab, katanya, dengan punya anak dari cairan pelafaz-pelafaz nama Tuhan, dunianya tak lagi sesunyi seperti dijalaninya hingga hari ini. Perjalanan yang sungguh melelahkan dan tak tertanggungkan. Dia akan senang sekali jika kebuntingan itu datang dan melihat makhluk pembunuh sunyi itu menggelantung selama dua tahun di puting teteknya yang kelak tak segering saat ini.

Bahkan untuk mengejar kehendak itu, beberapa kali dia menggoda para guru ngaji yang barangkali saja mau bersedia bersamanya. Mengajarkannya ngaji dan dia akan membalasnya dengan imbalan menunjukkan bagaimana memijat bagian-bagian tubuh lelanang yang mendatangkan kenikmatan tak terkira.

Karena usahanya yang gigih itu, dia pun beroleh beberapa kali keberuntungan. Beberapa kali dia mampu mencucup cairan santri dan guru ngaji. Dan sejak itu dia menemukan resep bahwa untuk mendapatkan cairan itu, dia tak boleh lagi berjalan telanjang seperti dulu lagi. Tubuh harus bersih dan kalau perlu dibaluri melati pewangi yang bisa dipetiki dari dalam pagar-pagar warga di malam hari. Dan dia tak boleh lagi meminta cairan suci itu di tempat terbuka, tapi harus menghadangnya di tempat yang paling gelap. Di semak-semak yang jarang kena jamah orang banyak. Atau di bawah lincak di pasar yang gelap. Bahkan di belakang jamban yang jauh dari surau. Di situ biasanya dia mengintip lelaki santri atau ustad yang kencing berdiri. Dan bukannya dia tidak memilih. Dia terihik-ihik sendiri bila mendengar suara kencing di antara mereka. Yang suara kencingnya hanya seperti hujan kapas, pertanda zakarnya kecil. Lain jika kencingnya memercik deras dan menggelontor cresssssss. Itu pertanda zakarnya besar. Dan yang kedua ini yang dipastikan akan dimintainya berkuda bersama dalam kegelapan.

Dari satu dua pelafaz yang mencicipinya, dia jadi tahu bahwa mereka itu sesungguhnya mau. Tapi malu yang dalamlah yang membuat mereka memalingkan muka dan pura-pura berwajah pias dan menunjukkan kemuakan yang tiada banding. Sebab tak terbayangkan jika ketahuan secara terbuka sedang bertukar tangkap dengan ganasnya, tak terkiralah bagaimana martabat kesucian yang mereka pelihara sedemikian rupa akan jatuh berantakan.

Betapa tulusnya dia melakukan praktik-praktik sundal itu. Hanya untuk mendapatkan keturunan yang baik-baik dari cairan mereka yang jalan darahnya kerap tercampur dengan ruap nama Tuhan Yang Agung. Tapi ulama dan orang-orang berbudi punya pendapat lain. Senonoh ya senonoh. Sundal ya sundal. Tak peduli apa pun motifnya. Generasi muda, santri-santri yang masih labil, harus diselamatkan dari kebangkrutan moral. Apalagi, istri-istri yang dibakar cemburu karena suaminya ada main dengan perempuan jalang, bersatu padu menghadap ulama-ulama tahkim agar mengambil tindakan keras. Dan para ulama tahkim itu berkesimpulan bahwa perempuan jalang itulah penyebab pertama terjadinya perzinahan besar-besaran yang dilakukan dengan sembunyi di mana pun di tempat paling temaram yang disediakan kota suci ini. Dengan sigap dan antisipasi berkecambahnya kerusakan akhlak penduduk kota yang kian parah, ulama-ulama itu menyerukan penangkapan.

Dan di tepi teritis surau di pinggiran kota yang sepi, kala dia duduk terpekur entah meratapkan apa --mungkin bermunajat-- segerombol kadet kota menangkapnya, menggelandangnya, dan menyeretnya ke neraka bumi.

Dan di siang hari yang ganas, di tengah lapangan, lubang rajam separuh badan itu menunggunya. Lubang yang akan mengakhiri takdir buruk dan kutuk bumi jahanam.

KAU menyeruak di antara orang-orang yang berbaris rapat. Berlapis-lapis. Menyikut kiri kanan hanya untuk melihat wajahnya dengan jelas. Dari jarak pandang yang terdekat. Di pinggir lingkaran bambu.

Dan terang sudah. Kau lihat zirah yang menempel di tubuhnya sudah koyak. Dicabik-cabik para istri yang kalap dan marah karena cemburu di sepanjang jalan menuju tengah kota. Kain itu seperti tersampir begitu saja. Mungkin kain sebelumnya yang dikenakan perempuan ini sudah habis lumat di tengah jalan oleh luapan amarah dan diganti ala kadarnya untuk menutup malu bagi yang melihatnya. Hanya agar alim ulama yang menghadiri upacara kafarat tidak turut memikul dosa karena zina mata.

Kau memperhatikannya dalam-dalam. Dari ujung rambut yang menggerai berantakan hingga ujung kakinya yang terkelupas terpapas tanah batu keras sepanjang jalan penyeretan. Dan matamu berhenti di mulutnya. Kau melihat sesuatu di bibirnya. Seperti sepotong puding di bibir yang memerah darah. Dan di bibir yang mengunyah puding itu kaulihat sebarisan pawai kata-kata pilu dan lelah --juga terluka parah dari peperangan yang sedang dan masih berlangsung. Kaulihat kata-kata itu hendak melompat dari gerbang mulutnya yang luka. Tapi sederet pawai kata yang luka itu tercekat dan tertelan oleh riuh teriakan, sumpah serapah perempuan-perempuan mulia, istri-istri setia, dan gumaman ragu para lelaki pencicip di barisan paling belakang.

Walau batal melompat, kata-kata tak terkata itu bisa kaurasai getarannya dari tempatmu berdiri berdesak-desakan. Kata-kata itu mengembang dalam pori-pori bayangan, menyatu dengan riuh, mengambang bersama udara. Mungkin meledak gemuruh. Menjelma menjadi sebentuk irama-irama yang ganjil. Dan bisa jadi sebentuk derau kemabukan. Gumam aduh yang tercekat terpendam. Atau kesakitan yang genting.

Hingga kaulihat ketika separuh tubuhnya sudah tertanam sempurna, semua orang mengambil posisi melempar. Memungut batu-batu yang sudah disiapkan. Memilih-milih yang kalau bisa seukuran kepal supaya lontarannya tepat sasaran. Ini bukan upacara sunatan. Atau pasar reguler untuk jual beli. Atau pesta mauludan. Atau gerebek syawal. Ini adalah kerumunan perajam.

Tapi kau tak mengambil posisi yang sama. Bersama-sama mengepal batu. Kau takut. Kau merinding. Kau ingin seperti Isa, maju memeluknya yang sedang terpacak kuat di bambu dengan tubuh setengah tertanam. Melindunginya di balik lenganmu. Ingin menjadikan tubuhmu zirah untuknya, sebagaimana perlindungan Isa kepada perempuan pelacur Magdalena. Semacam baju perang Imam Ali di Perang Tabuk.

Tapi segera kausadar bahwa ini bukanlah permainan debus. Tubuhmu tak punya nyali dan kekebalan untuk menghalau derau batu yang datang seperti guyuran bandang.

Dan seonggok tubuh yang terikat dan tertanam separuh itu, seperti tak butuh pertolonganmu. Atau siapa pun yang bermimpi jadi pahlawan di tubir kematian. Sebab dibibirnya, kau lihat teraut seruas senyum. Sangat tipis senyum itu sehingga tak mungkin tertangkap mata siapa pun yang sedang marah. Mungkin itu karena puding yang terkunyah dan belum tertelan habis. Atau bisa jadi ekspresi yang paling genting berduel dengan kematian di hadapan warga dan kadet kota yang kalap. Ataukah puding di mulutnya itu yang membuatnya begitu kuat menghadapi dukacita. Dan dukacita yang paling menyesap di hatinya adalah bahwa hingga kematian menjelang, dia belum juga dikaruniai buah hati dari sumbangan cairan para lelaki pelafaz nama-nama indah Tuhan yang sudah dicucupnya.

Dan tubuh itu pun terkulai setelah dua pertiga jam berada dalam drama pelemparan yang mencekam. Darah berceceran di mana-mana. Di atas tumpukan batu-batu yang tajam mengoyak. Cabik-cabik daging yang meloncat dari raga berburai di atas tanah. Berbaur bersama peluh para perajam yang kelelahan menghujaninya dengan batu.

Dan kau hanya menyaksikan itu semua dengan tangan menutup muka. Seperti mata yang tak rela melihat darah mengucur. Tak lama berselang kau pun berlalu bersama berlalunya yang lain-lain. Tapi tidak kembali ke rumah, tapi menuju kuburan perempuan jalang itu. Ingin melihat apakah puding di mulutnya dibawanya serta.***