Pages

Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 5

Ari Stya Ardhi
(Jambi)

Membunuh Bunda
(: anakku gelegar c talenta)

turunlah dari peraduan mawar itu
anakku, melepas kelopak mimpi
dari kegelisahan reranting berduri
lalu, aku ajak kau meradangi
rumah-rumah singgah, melupakan bunda yang
telah terbantai di meja pesta
hiduplah aroma darah yang berkeliaran sepanjang estalase
emperan, reguk debu bernanah di terminal-terminal.
kemudian, tikamkan kemaluanmu mendidih
gedung-gedung.biar beton dan kondo
beranak pinak atas nama kejantanan

di lorong-lorong pertempuran,
bunda sudah binasa, sementara, nama-nama jalan
selalu memanggili kesunyian.
tancapkan alamat nisan ke atap dapur kematian.
asap sengketa harus mengepul,
peperangan tak pernah mengenal
dinding belas kasihan, pancangkan cakrawala
benakmu meninggi kebimbangan kota-kota

kelak, orang-orang berebut
membangun pasar ke relung dada.
karena rumah tidak lagi mampu
menampung sepetak sawah.
maka, aku ajak kau meninggalkan
ranjangku, menanggalkan busana usia.
hingga, anakmu kembali membunuh bunda

Bohemian Jambi, 2004


Arsyad Indradi
(Banjarbaru)

Darah

Adalah langit darah berdarah
Tak habishabis jadi laut berabadabad telah
tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu
tak singgahsinggah pada dermaga darahku
Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu
kutubku tenggelam dalam kutubmu
menghempas napas darahku membatubara
di kunci rahasia Alifmu Alif Alif
darah Adamku yang terdampar di bumi
yang rapuh berabadabad mencari darah Hawaku
yang rapuh tersesat di belantaramu meraung
darah laparku mencakarcakar mencari darahku
beri aku barang setetes Hu Allah
getar alir napas menyeru darahmu
mengalir darah mataku mengalir darah musafir
di sajadahmu
mengalir menuju rumahmu
darah hidupku Hu Allah
darah matiku Hu Allah
darah hidupmatiku Hu Allah
darah raungku Hu Allah
darah cakarku Hu Allah
darah laparku Hu Allah
darah hausku Hu Allah
darah ngiluku Hu Allah
darah rinduku Hu Allah
manakala darah tak keringkering
mendustakan firmanmu dan tak hentihenti
berpaling pada jalanmu
malam tak lagi malam siang tak lagi siang
bulan bintang matahari kehilangan terang
apatah lagi yang mampu meneteskan
darah kehidupan Hu Allah
semesta bergoncang Hu Allah
arasy pun bergoncang Hu Allah
darahku aujubillah
darahku astagfirullah
darahku subhanallah
Allah

Banjarbaru, 2004

Asep Pram (Asep Sopari)
(Bandung)

Episentrum

tiba-tiba kita menjelma pejalan
seperti kereta ringkih yang
meringis di jembatan besi
merasakan beban muatan yang
dikemas di pundak bagasi.

semalaman jari-jari kaki terjaga
menyusuri semak gelap taman-taman kota,
mengadukan letih pada patung
yang membatu di pinggir trotoar.

langkah kita terus melaju
melewati deretan pohon dan tiang listrik,
lalu mengemis ketegaran pada tiang reklame
yang menawarkan bijih embun.

kita tak hendak menuju ke suatu tempat
tapi sekadar menuruti naluri yang
begitu saja hadir tanpa diundang.
kita pun tak hendak mencari apa-apa
selain membiarkan jiwa bergerak bebas
di jalan-jalan lengang yang ditinggalkan tuannya.

di antara bayang tiang lampu taman
kita menemukan wajah buram diri sendiri
tepekur menghitung jarak yang telah dilalui.
perjalanan ini tak pernah menjanjikan sesuatu
selain bayang-bayang tubuh sendiri
di saat tubuh kerabat yang lain tergolek
di papan catur menunggu siang.
itu saja cukup, kita tinggal mengurainya
menjadi tafsir-tafsir lain.

Oktober 2005


AslanAbidin
(Makasar)

Walennae

ketika senja turun dan cahaya menyerbuk di
antara pohon-pohon lontar, aku kenang sungai ini
sebagai lengkungan taman para bissu, gaib dan sunyi.

di tepinya gadis-gadis mandi dan pulang menjunjung
tempayam bersama gairah dan aroma kewanitaannya yang
mengembang dari kembennya yang basah

“di sungai walennae kasihku, adakah kau tahu,
mengalir cintaku padamu, tenang dan dalam.”

ketika ujung-ujung ilalang meliuk
melambai pada senja, dan bangau di pucuk-
pucuk bambu bersiap masuk sarang, di setapak
menyusur walennae, lelaki-lelaki memikul tong
bambu pulang dari menyadap nira.

“rumah kami di kaki bukit, beratap ijuk dan dapurnya
selalu menguapkan aroma gula, mampirlah bila ada
waktu, kami pantang tak bersikap manis pada tamu.”

saat malam mengurung dan rembulan mengapung samar
di permukaan walennae, di langit yang kelabu terdengar
jerit elang, seperti rindu yang perih dan jauh.

di rumah-rumah beratap ijuk, di atas balai bambu,
gadis-gadis menggeliat : teringat dongeng tentang pangeran
baik hati yang dikutuk penyihir jahat jadi buaya di sungai
walennae.”di walennae kasihku, aku terperangkap janji
yang tak mungkin aku tepati.”

di antara hening daun ketapang tua yang berguling
lepas dari rantingnya, walennae merayap ke laut. di
dasarnya aku hanya dapat mengenangmu, mengawasimu
setiap pagi dan sore ketika mandi, menunggu
saat aku menjalani kutukan : menerkam dan menelanmu.

“di sungai walennae kasihku, adakah kau
tahu, mengalir cintaku padamu :
suci dan terluka.”

Makassar 2001

- walennae : nama sungai terpanjang di sulawesi selatan.
- bissu : waria pemimpin upacara animisme di tanah bugis.

0 komentar:

Posting Komentar