Pages

Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 1

A.Rahem Umar
(Sumenep - Madura)

Coution

Seketika pantatmu dan pantatku terhenyak
Di pelupuk senja hari itu
Telah kubaca surat dari hatimu kemarin
Jalanan kitapun makin remang

Seperti firman kata-katamu laksana mantra berjatuhan
Pada lantai bumi yang menggigil
Namun kita tetap memuntahkan kata-kata
Seakan-akan mengeja semua jarak antara langit dan bumi

Menjelma filosof aku memaknai diri
Dan tarian mata – hatimu
Bahkan keropos tubuhmu yang senantiasa
Bertilawah menyebut namaku di rimba-rimba

Eva, di lorong itu kadang aku terjebak oleh mimpi sepi
Lantas dipecahkan oleh piring – piring klakson
Sampai akhirnya aku pasrah pada dentingan jam dinding
Yang mencekikku dengan rafia kefanaan

Dik, inilah rumahku yang tak berpintu
Inilah hutan batinku yang kecoklatan

Sumenep, 270909


Abdul Kadir Ibrahim
(Tanjung Pinang)

Kekuasaan Neraka

zaman tercurah airmata dan darah keinginan tamak keras legam
menyihir rindu pasung kelat racun nyawa semurah antah
kemaruk hidup menyangkul luka zuriat dunia
meniti bala peradaban cabikkoyak
gemerentam meriam bom
panas nuklir ludah
kekuasaan
amerika
josh
w
bush
sekutu barat jahanam
ambur demokrasi hak azasi
sesungguhnya jala-jaring iblis dajjal
iraq iran libya palestina pakistan indonesia
negara islam sedunia bilapun nerakalah! amerika punya surga
....

Tanjung Pinang, 2003

Aen Trisnawati
(Bandung)

Mimpi Basah

mengendapkan kerinduan
pada dinding kamar, pada detak hujan, pada dingin
yang menyeka malam menjadi malam.
suara batuk tertancap di gemuruh
menjadi sunyi

menyimpan kerinduan
pada sebotol air putih
kemudian kuteguk
menjadi bayangbayang
menjelma lingkar matamu
hingga masuk ke kantung kemihku

malam kian sunyi
kutitipkan puisi rindu
di atas bantal biru
lalu mengecup bayangmu dan bergumam pelan
“selamat malam”
dan lelap resah hingga basah

BumiKembara, Desember 2005



Agus Bakar
(Solo)

Nyanyian Orang Diam
: Cikalistri

Bukan berarti kita membisu dalam keheningan tatkala kembali bertapa di
gua-gua dan mengunci rapat mulut kita sebagaimana berpuasa.

Bukankah kita masih berusaha mengingat wejangan kata-kata bunda, lirih
nurani, juga tentang sisa-sisa percakapan kita yang terjeda; sejak garis
tangan ini menginginkan kita terlahirkan bersama-sama?

Suara-suara dunia memanglah nyanyian gaduh: getaran yang semakin
nyaring menyayat setiap gema hati, tatkala kita terdiam dalam jeram,
tatkala kita dipaksa harus memilih ketidakpastian jalan.
Tidak lagi bisa kita pungkiri dan perdebatkan suratan atau lirih bisikan yang
meski kita diam-diam berusaha menghindarinya perlahan-lahan.

Dan memang tampaklah tiba saatnya bagi kita untuk kembali ke sunyi
pertapaan. Kita telan hening dalam semua malam, tanpa menaruh kesumat
dendam, bagai sunyinya kepompong yang bersiap memekarkan keindahan
di terang wajah bulan.

Solo, bulansuci, 2005


Agus Manaji
(Yogyakarta)

Kasidah Akar

Merambati gelap dan basah hujan
Telah kutinggalkan benderang dan tawa itu
Di udara

Aku menari di sajadah paling sunyi
Meningkahi bongkah batu, tanah
Dan larik-larik fondasi. Kedalaman
Gelap dan rindu mengajariku ketabahan
Juga keikhlasan, hingga mesra
Kupeluk siang dan malam

Aku telah jatuh cinta
Mengembara dan mengisap lezat sisa-sisa
Yang diabaikan keriangan manusia. Kucium
Wajah bumi yang kelam dan bau. Namun
Kucintai pula langit yang gemawan
Sebab kuterima kasihnya lewat rinai hujan

Dan selalu kutitipkan pada bunga untuknya
Sesimpul senyuman.

2004

Sajak ini pernah dimuat Majalah HORISON edisi Agustus 2005

0 komentar:

Posting Komentar