Pages

Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 12

Herwan FR.
(Serang-Banten)

Setia Membidikmu

Demi pengakuan yang kelak kekal dan menyakitkan
aku setia membidikmu. Matamu menjadi kelereng
di atas lantai jiwa yang oleng oleh rindu yang dungu.
Sungsumku berhenti membeku. Aku kini lapar kembali
mencari kekasih. Tanganku menggenggam bukit,
menyentuh lahar yang ngalir di tiap kepndan gunung,
jari-jari merembah liar hutan-hutan tubuhmu.
Aku ingin menggambar lagi peta : daerah-daerah tak bertuan
Dan menjadi petualang pertama, menjelajah dengan perkasa.
Kulukis anak-anak di rahimmu dengan hidung panjang
seperti Pinokio, lalu kuhidupkan dengan bayangan,
dan kubiarkan berlarian menyusur
lereng-lereng betismu yang bagai bukit kapur

Dari keringat dan seribu gerak tubuhmu
aku pahami seribu cara bercinta. Lalu apalagi antar kau-aku,
guru-murid, setia bersulang dalam papa dan kegelapan ?
Demikian kuutarakan hasrat ini dengan kerongkongan
sedikit mau basah, jakun tertahan resah. Matamu
rabun oleh sudut lenganmu yang memijar,
Aku jadi Ken Arok yang lumpuh
oleh betis Ken Dedes. Musnah dalam derjad pandang,
lurus menembus celah dadamu yang sempit dan menghimpit.

Lalu, aku nyata dan padam lagi.

Serang,2005


Hoesnizar Hood
(Kepulauan Riau)

Aku Menulis di Toba

Air kembalilah ke hati
Kembali kemusim percintaan
Jangan turun dimata
Kembalilah keawan luruhlah lagi tumpah dibadan

Seperti danau bercinta dengan hujan
Aku ingin melihat tajammu menusuk
bagai lukisan barisan serdadu dalam putaran dadu nasibku

Air peluklah bagai berpeluk rindu
Pecah satu bunyi asmara
Senandung siang malamku

Aku menulis di Toba
Kegelisahan berenang ke risau
Anggun gelombang berpagut danau bertabik dengan bukit
bangsawan
bukit segala tuan
Raja segala tinggi adat segala nyawa

Aku menulis di Toba
Seperti suratan bathinku ditulis di langit
Seperti takdir saudaraku ditulis di tangan
seperti nasib negeriku ditulis dilangit di
tanganMu

Gunung gapailah ke dasar seperti pancang yang tegak
Dan kau hikayatkan kisah yang tenggelam berabad-abad

Jangan tutup rahasia malam dengan bulan
Jangan tutup rahasia siang dengan matahari

aku menulis di Toba
aku menulis di danau berahasia
gelombang nyanyian dan bukit lagu antara batu tua kayu lama
dalam rahasia dua kutup tangan tetua
menarilah manarilah

seperti tak perduli angin
dengan mesra memberikan aku gigil
Seperti lena nasibku dalam kubang bangga bangsaku yang
tak tau kemana akan menghala
Seperti berjam-jam aku membaca
kemana arusmu ?


Hudan Nur
(Banjarbaru)

Sempana Jiwa Bab Terakhir

Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.
Aku tahu tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang lelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakasa serta pengrobohnya, aku.
Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naïf. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab terakhir.
Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke langkah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana dari jiwa yang tak berkeseduhan.

Banjarbaru, 12 Juni 2005

Husnul Khuluqi
(Tangerang)

Perempuan yang Melintasi Kampung Sunyi
-sepenggal catatan dari Cihuni

engkau pergi melintasi kampung sunyi
menyapa keheningan batu-batu, rerumputan
hijau, dan reranting semak

sebuah kota yang lama tumbuh di kepalamu
mendadak muncul lagi, seperti lengkung pelangi
di senja hari, bermain di pelupuk matamu

melintasi perkampungan yang senantiasa lenggang
engkau serasa memasuki negeri tanpa tuan. negeri
yang tumbuh dalam dongeng, yang tak luput diceritakan
dari mulut ke mulut

di tapal batas, engkau hanya menemukan
gerbang kayu, mengering dibakar waktu, letih
seperti bocah kecil yang lama menunggu ibu

kota yang sekian lama tumbuh dikepalamu
seperti sesayup lagu jauh yang tak tersentuh, tak
juga bisa engkau masuki pintu-pintunya

“Di manakah kota itu, tempat pijak denyut
jantungku? Di manakah negeri itu, tempat berlayar
seluruh mimpi-mimpiku?”

setengah berteriak engkau bertanya pada retak
tanah di bawah sengat matahari merah

2005

0 komentar:

Posting Komentar