Pages

Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 14

Iif Ranupane
(Jambi)

Jarak Ruang dan Waktu

tiba tiba aku melesat menembus dan menembus tegak lurus dengan mengabaikan resiko berhenti dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya bahkan lebih jangankan uranus atau nepturnus pluto pun sudah aku lewati hingga aku tak lagi melihat adanya warna dan cahaya seperti di bumi sementara cahaya matahari pun sudah hilang dari pandangan fungsi dan keperkasaan panasnya matahari tak lagi berpengaruh apa apa matahari hilang keberadaannya matahari tak kuperhitungkan lagi

entah berapa ribu juta jarak galaksi telah aku lewati entah berapa ribu juta waktu ke waktu telah aku tinggalkan entah berapa ribu juta ruang atmosfir telah aku jelang ketika aku memandang jauh ke belakang mataku tak menemukan sesuatupun yang kumengerti bumi matahari dan seluruh planet yang mengelilinginya hanya tinggal dalam ingatan sementara aku masih terus melesat menembus dan menembus tegak lurus dengan mengabaikan resiko berhenti dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya bahkan lebih meski telah begitu jauh aku melesat belum juga aku temukan batas akhirmu batas jarah ruang dan waktu

wahai jarak ruang dan waktu dimanakah titik awal dan akhirmu apakah engkau menempati dan melewati segala yang ada dan segala yang tak ada menembus gugusan tata surya alam semesta apakah engkau diciptakan tuhan sama sepertiku mahluk dan benda benda fana lainnya berawal dan berakhir aku terkungkung dalam kefanaanku di balik satu atmosfir selalu ada atmosfir yang lain meski aku telah menembus dari satu lapisan

atmosfir ke lapisan atmosfir yang lain ternyata aku masih berada di dalam aku tak pernah bisa ke luar aku terkungkung dalam keterasingan

dengan kedua telapak tanganku aku hanya bisa bersujud perlahan kutarik nafasku dalam dalam sayup aku mendengar bisikan yang datang entah dari mana sedikitpun aku tak sanggup memahami maknanya sementara batinku masih terus bertanya tanya dimana batas jarak ruang dan waktu yang tak berawal tak berujung dan tak berkesudahan itu dengan kedua telapak kakiku ternyata aku harus berjalan bukan seperti burung yang terbang ke gigir cakrawala atau menyelam seperti ikan ke dasar lautan tapi berjalan seperti manusia membebaskan kegelapan dan segala keraguan dengan mata hatiku perjalanan adalah padang tanpa batas tuju dengan iman dan keyakinanku aku akan terus berjalan menuju rabbMu

1993


Ikhtiar Hidayati
(Palembang)

Kutunggu Maharmu

Sudahkah kausiapkan mahar untukku ?
Tujuh perangkat alat sholat, sayang
Sedikitnya tujuh.
Lengkap dengan Al-Quran,
kitab-kitab Hadis Shohih dan Hadis Qudsi,
serta kitab-kitab fiqih

Satu untukku : satu akan kuhadiahkan kembali bagimu.
Sebab tujuh adalah sebab kumau sedikitnya lima anak
menyandang namamu di belakang namanya.
Kuingin, Sayangku,
satu anak berketuhanan yang mahaesa ;
(yang benar-benar berketuhanan, Sayang,
bukan yang meledakkan bom sambil pura-pura menyebut-nyebut
nama Tuhan)
satu anak berkemanusiaan yang adil dan beradab ; (yang kalau dia sudah baligh, dia akan jadi manusia semanusia-manusianya
serta beradab sebagai manusia seberadab-beradabnya)
satu anak berpersatuan Indonesia ;
(yang merindukan manis-lezatnya ukhuwah)
satu anak berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan / perwakilan ;
(bukan maksudku ingin punya anak yang jadi anggota dewan
perwakilan rakyat, Sayang,
bukan ; beban-dunia akhiratnya akan terlalu berat untuk
dipertanggungjawabkannya,
padahal di padang mahsyar tidak mustahil
kita berdua —kali jadi kau pinang aku—
akan terpaksa ikut mempertanggungjawabkan, kan ?

dan satu anak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(yang kalau dia jadi menteri social.
dia akan mengusahakan kesejahteraan hidup di tiap lapisan sosial
akan terasa benar adilnya
tanpa harus jadi komunis atau apa pun yang membuat alergi
penguasa)

Sudahkah kau siapkan mahar itu ?
Kalau bisa lebih dari tujuh, Sayang.
Aku juga mau anak yang bertumpah darah yang satu, tumpah
darah Indonesia ;
sekaligus berbangsa satu, bangsa Indonesia ;
sekaligus menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Jangan dakwa aku mengada-ada atau mengimpi-ngimpi, Sayang.
Siapkan saja mahar itu.
Soal anak-anak itu,
biar Tuhan yang menyiapkan,
biar Tuhan yang mengurus,

(Malam Takbiran 1426 Hijriah)


Imraatul Jannah
(Martapura)

Engkaukah Ababilku, Akhuya

engkaukah ababilku, akhuya ?
musim yang beringas memangku piala keangkuhan abrahah
dan tentara bergajah. bulan yang berdarah membentangkan
sisi kemanusiaan yang menyanyikan tembang kepedihan
di hatiku.

kepakkan sayapmu yang indah. bumi yang kita huni
begitu merindukan jejak perjalananmu menjadi pilar
tegaknya sebuah peradaban dan mengembalikan kehidupan kita
yang pernah tercabik, ketika granadapun pecah dan berdarah
turki usmani telah tiada, bahkan abbasiyah
hanya tinggal nama

akhuya, jika engkau ingin memahami laut, belajarlah
kepada gelombang atau karang-karang. kesetiaan
yang kita miliki, tak semestinya membuat kita kehilangan
jati diri kita yang hakiki. biarlah airmatanya menulis
sajak-sajak kelahiran yang tumbuh dari cermin jiwa
keletihan seorang bidadari.

hari ini, kukecup tanganmu penuh rindu. dan kusematkan
mahkota kebesaran seorang mujahid, jika engkau anggukkan
kepalamu, seraya memelukku, kemudian berkata
“akulah ababilmu, ukhti,”

(30052005)


Indra Tjahyadi
(Malang)

Rontokan Gerhana

Rontokan gerhana yang larut dalam mimpi

meludahkan kabut. Dengan kepala kucing terpenggal,
ajalku yang berbaju kusta menghidupkan belatung.
Aku rupa kekosongan, menggigil menyerupai hantu.
Melebihi kebosanan, gerak-gerik tikus sekarat kobarkan
sakratul. Para perusuh susuri kampung-kampung dosa
dendam masa lalu.

Akhir riwayat muasal perdu mabuk hujan,
menggerongsongkan lindu. Aku diam, gadis-gadis Cina
dengan onggokanbangkai anjing di tangan umumkan
mendung. Malaikat-malaikat purba berjatuhan di antara
kegelapan memenuhi nafsuku. Kilau salju membusuk.
Seluruh cahaya telanjang bersabitan di jidatku!

Segala fenomena meletus, tapi aku cucup kedua
puting hitam susumu seolah peluru. Tatapanku rabun,
bergulingan di sepanjang batas hujan. Aku
kutuki segenap lanskap pembunuhan, berabad-abad
memulai syair dengan lumpur. Kerentaan menghuni mayatku.
Dingin berhari-hari selekasnya membisikkan serenada.

Ruh para pelacur terbahak di Neraka. Isyarat bianglala
gaib dalam ingatan menekar-nekar zakar rasa sakit kenanganku.
Di gelung pinggulmu yang igal, keterpencilanku meminta
setubuh. Sunyata! Aku bangun candi-candi keperihan. Aku
niscaya dengan nyawa yang menorehkan angus bekas luka persis
di ujung pelupukmu.

Tiang-tiang hijau cuaca membersitkan kelenyapan.
Daun-daun luruh tanpa nama, di beranda, jadi monumen
seratus derita. Sepanjang kemayaan, arwahku menguak
rahasia rindu kekejaman. Ajalku melolong sepanjang siul.
Rasa laparku kehilangan gema. Deritaku meracau, membakar
kota-kota dengan cumbu.

Tapi, apakah yang akan ditulis matahari pada sisa senja,
sayangku? Percayalah bahwa akulah sang pecinta yang teguh
dan tak tahu malu. Takdirku tercekik sepanjang pengap
mirip pisau yang biasa kau hunjamkan ke dadaku! Di dasar
kematian, akulah seratus darah perawan yang pernah teguk
dengan kufur. Segala pengetahuan tinggal ingatan penuh perusuh!
Fantasiku berbalik arah. Harapanku berjalan mundur, menginsyafi teluh.

2002-2005

0 komentar:

Posting Komentar