Pages

Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 17

Kony Fahrain
(Tenggarong)

Untuk Mim

Rasa itu, Mim-bukan bayang
Seperti angin yang dapat dirasa tak ada wujud
Ia nyata seperti yang kumaknakan lewat sentuhan
Bukan hanya menyatu raga semata
Jiwamu dan jiwaku tak berjarak
Diputaran pundak waktu yang mulai terbungkuk

Ya, Mim.
Usahlah meramu rasa sebatas badani
Di ujung waktu tersisa milik kita ini
Kau sepertinya membunuh kegairahan
Begitu bukti persentuhan ke-25 tahun
Gelegak kemudian diketuaan kita kau abaikan
Rohanimu dan rohaniku dalam memagut sisa asmara
Sepertinya tinggal sentuhan badani yang di luarnya meraja sepi
Dan terwariskan pada dinding-dinding kamar goresan waktu

(Mim, jangan kau bekukan gairah
Ia adalah bahasa kalbu
Dan hidup di jiwa anak-anak kita)

Tgr/Bjm Des 2005

Kurnia Effendi
(Jakarta)

Cisadane

Rembulan yang berkeramas hujan
Curahkan leleh emas di atas Cisadane
Serupa lampu yang berenang dari hulu ke batang kuala
Tak lelah ikan bercumbu, di antara jarum air menembusi punggung sungai
Mungkin awan lupa menyembunyikan mata bulan
Memandang penuh cinta kepada sepasang tawanan yang pulang kemalaman
“Aku harus menyeberang, melawan arus yang membentang,” ujar sang pelarian.
“Bayiku menunggu dalam demam. Ingin kutanam benih dendam.”

Subuh tertunda oleh kabut yang bersusun-susun
Muadzin di sudut surau merasa matanya rabun
Ia terlambat membangunkan jemaah lelap mimpi ngungun
“Hujan semalam melindungi langkah maling dari penglihatan siskamling.”
Sang imam tertunduk : ragu pada petunjuk
Dua batang kelapa rebah menjadi jembatan
Sepasang pencuri selamat dari kejaran

Pagi pecah oleh tangis bocah
Arus sungai seperti kekal membuncah
Matahari sumringah menatap pohon dan rumah
Perahu dan sampah
Sayur-mayur tumpah-ruah
Sejumlah pertengkaran tak selesai, namun hidup menuntut damai

Sungai melukis sejarah dengan kuas kemarau dan warna musim hujan
Dusun dibangun dari keringat orang lurus dan para penjahat
Cisadane mengaliri abad demi abad dengan cinta
Yang tak setiap sukma sanggup membalasnya

Senja yang berlindung pada sutra lembayung
Agar cahaya terakhir tak sentuh kulit perawan di tepi bengawan
Sisa air mandi menetes menjadi jejak cinta
Dikuntit setiap perjaka menjelang petang
Mereka beranak-pinak, lahir dan mangkat
Bersetubuh dan selibat, berdoa dan khianat
Tak lepas dari aroma sungai
“Apakah penarik riba yang loba itu telah menjadi rangkaya ?”
tanya seorang teraniaya.

Gemuruh pabrik menjadi cerita, buruh memekik berbuah canda
Sepasang di antara mereka, berjanji jumpa di tepi kali
Hendak menyerahkan buah dada, sebagai upeti
Hikayat pun mengalir seperti arus mendesir :
Cisadane membesarkan butir-butir padi
Namun sekali waktu kerontang seperti wadi

Bercermin kemilau air sungai : wajah lazuardi Tangerang
Pesawat terbang seperti belalang terperangkap cuaca
Cetak biru pencakar langit di benak kaum arsitek,
Memesan tempat di tepi Cisadane
“Selamat datang keluarga urban, tinggallah di sini sampai merata uban.”

Air ketuban rasa kelapa puan
Tak tercatat jumlah liter air yang terminum,
amis sungai telah membentuk sumsum.
Adalah sungai yang rindu menggenangi kota,
setelah sewindu tak diajak bicara
“Kemari, Nak. Kenalkan ini arus cinta, yang telah
membuat kita melepaskan kasta. Kenalkan arus cinta
yang mengubah duka menjadi bahagia.”

Di seribu pematang bercecabang, masih tertera jalan pulang
Di atas gelombang Cisadane , masih tersimpan pundi harapan

Jakarta, 2005

Marhalim Zaini
(Pekanbaru)

Desember, Sebuah Makam

Sebelum memudar
batas cadas
dan pasang siang
surut di cangkang,
telapak kaki kita
disengat Penyengat.
Sebuah makam
sebuah masa silam
saling menabik salam.

Tepat di belakang punggung
sebuah rumah panggung
seperti sedang berkabung.
Seperti ada yang lepas
membekas di tingkap
dan aroma cempaka
yang menyergap.
Duh, hujan jantan
mengintip di selatan
siapa yang berdiam
di sampan?

Kau pernah bilang,
ada desember datang
menjemput seseorang
yang kerap duduk
di pintu makam.
Seseorang bermata sembab
berkerudung warna gelap.

Aku menjumpai sultan
di ujung pelabuhan,
dan seorang perempuan
yang mejunjung beban.
Mereka tak saling berteguran.

Dan kita pun
saling berpandangan.
Sepasang lengang terbang
dari lorong ingatan.
Lalu pada laut, atau
pelataran yang asing,
kita jemput para peziarah
yang berjalan beriring
mencari berkah
mencari tuah.
Kau melihat malaikat?

Aku melihat gurindam itu,
gundukan-gundukan sepi
sehitam malam, dan
tak sesiapapun tahu
di mana bait-bait waktu
bersembunyi,
pada nisan,
dalam bungkusan
kain kafan,
atau pada serpihan
tanah-tanah kuburan,
atau pada kuning,
atau pada putih.
Kita kehilangan warna, katamu.
Bahkan warna rambut kita sendiri.
Lalu mau apa kita?
Bernyanyi seperti anak muda
atau berdoa seperti lansia?
Di pulau kecil ini, tuan
hidup seolah melapuk,
tinggal huma,
lumut pada usia,
dan dentang jam
yang tak setia.
Terlampau berat
sejarah
mencatat
hikayat,
terlampau jauh
hikayat
meninggalkan
sejarah.
Bukankah kita
Orang-orang
yang kalah?

Kau mengaku
kerap mimpi bertemu hantu
dan menemukan wajahmu.
Serupa foto yang buram
atau peta yang kusam,
kau mulai ragu
pada ingatan,
pada pandangan
atau harapan-harapan.
Kesepian lebih meruyak
di antara hutan-hutan
yang tumbuh
di sekujur
tubuh.

Di luar
tak ada jawaban
hanya, sekali lagi, hujan.
Dan suara teriakan-teriakan,
bunyi ketukan sandal kayu,
gesekan daun-daun jatuh,
lalu bau kemenyan,
dan tinta hitam
yang netes
diam
diam.
Wahai, raja ali haji,
dikau belum mati?

Penyengat, 2005

0 komentar:

Posting Komentar