Pages

Rabu, 01 Desember 2010

Tanah Warisan - S H Mintarja

AWAN yang kelabu mengalir dihanyutkan oleh angin yang kencang ke Utara. Segumpal bayangan yang kabur melintas di atas sebuah halaman rumah yang besar. Kemudian kembali sinar matahari memancar seolah-olah menghanguskan tanaman yang liar di atas halaman yang luas itu.
Seorang perempuan tua berjalan tertatih menuruni tangga pendapa rumahnya. Kemudian memungut beberapa batang kayu yang dijemurnya di halaman. Sekalikali ia menggeliat sambil menekan punggungnya.
Dengan telapak tangannya yang kisut dihapusnya keringat yang menitik di keningnya.
Hem, perempuan itu berdesah.
Kalau saja mereka masih ada di rumah ini. perempuan itu kini berdiri tegak.
Ditengadahkan wajahnya kelangit, dan dilihatnya matahari yang telah melampaui di atas kepalanya.

Tanpa sadar, diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Keningnya berkerut ketika dilihatnya halaman rumahnya yang menjadi liar karena tidak terpelihara. Rumah besar yang kotor dan rusak. Kandang yang kosong dan lumbung yang hampir roboh.
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kembali ia membungkukkan punggungnya, memungut beberapa batang kayu bakar yang dijemurnya di halaman. Ketika perempuan itu melihat seseorang berjalan di lorong depan regol halamannya, maka ia mencoba menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Tetapi orang itu memalingkan wajahnya, dan berjalan semakin cepat.
Hem, sekali lagi perempuan tua itu berdesah. Di pandanginya orang itu sampai hilang dibalik dinding halaman rumah sebelah. Sejenak kemudian dengan langkah yang berat perempuan itu melangkah masuk ke rumahnya yang kotor dan rusak, langsung pergi ke dapur.


0 komentar:

Posting Komentar