Pages

Rabu, 29 Desember 2010

Kabut Pagi Di Surya Kencana - Aprilla J. Moenaf

Chapter 1 : Mapala

Hari menjelang senja ketika rombongan Pataga menuruni Lembah Suryakencana dari arah Gunung Gemuruh. Hamparan lembah yang luas tak bertuan itu memutih oleh bunga-bunga edelweiss yang tengah memutik. Lewat temaram senja, edelweiss tampak berpijar-pijar memantulkan cahaya. Sungguh pesona alam yang sangat mengagumkan. Sebagian anggota pencinta alam itu melangkah dalam hening. Udara dingin terasa keras menusuk kulit.
Rudi yang berjalan paling depan memalingkan wajahnya sejenak ke belakang. Sebentar ia menghentikan langkahnya. Matanya mencari-cari Keke. Tak tampak. Heh, di manakah gadis itu?

Sekali lagi diperhatikannya kawan-kawannya yang lain satu per satu. Yah, bukan saja Keke yang tidak ada. Heri, Evi, dan Lidia pun tak nampak di dalam rombongan.
“Wik, ke mana Heri?” tanya Rudi kepada Wiwik yang berjalan paling dekat dengannya.
Wiwik menaikkan bahunya sedikit. “Entahlah! Mungkin masih di belakang.”
Wajah cowok itu sedikit khawatir menatap Wiwik. Diliriknya jam tangan di lengan kirinya. Pukul lima lewat empatpuluh menit. Berarti sudah duapuluh menit yang lalu mereka berkumpul di Puncak Gemuruh tadi. Seharusnya rombongan yang dipandu oleh Heri pun sudah sampai di lembah. Perjalanan dari Puncak Gemuruh ke lembah tidak terlalu jauh, paling hanya memakan waktu sepuluh menit.
“Mengapa, Rud?” tegur Wiwik.
“Oke, Wik. Kau jalan duluan. Aku tunggu rombongan Heri di sini.”
“Ah, kau terlalu khawatir, Rud. Mereka tidak apa-apa. Heri toh, bukan untuk pertama kali ke tempat ini. Setiap gladian, ia selalu ikut, kan?”
Rudi tersenyum kecil. “Ya. Tapi, sekarang ia tetap sebagian dari rombongan kita. Jangan lupa itu!”
Wiwik tertawa gelak, kemudian melangkah meninggalkan Rudi sendirian.
“Ah!” Cowok itu mengeluh singkat. Tidak seharusnya memang ia terlalu khawatir seperti sekarang ini. Tapi… entahlah. Dengan ikutnya Keke dalam rombongan ini, membuat rasa khawatirnya seperti berlebihan.
“Heiiii…!” Terdengar teriakan suara Heri dari sela-sela pohon besar yang menutupi Gunung Gemuruh.
Rudi tersentak. Matanya berusaha mencari-cari sosok Heri. Tapi tak nampak.
“Oiiii…!” Terdengar lagi suara Heri memekik.
Setengah berlari, Rudi menyongsong ke arah suara itu.
“Heri! Heri! Kau di mana?” teriaknya.
“Kami tersesat!” Kali ini teriakan Heri terdengar tidak terlalu jauh.
“Kalau begitu tak usah kau lanjutkan perjalanan itu. Sebaiknya kembali ke jalur semula!” ujar Rudi dengan penuh rasa khawatir. Ia tak tahu, mengapa tiba-tiba saja ia begitu cemas. Di pelupuk matanya terbayang wajah Keke. Ah, cepat-cepat ditepisnya bayangan gadis itu.
“Heri, kau masih di situ?”
Sekarang tak terdengar jawaban Heri. Perasaan Rudi semakin gelisah.
“Heri! Heri kau masih di situ?” ulangnya sekali lagi.
Tak ada jawaban.
“Heri, kau kembali ke jalan semula!”
Tetap sepi, tak ada jawaban. Hening di lembah itu tiba-tiba saja terasa sangat mencekam.

0 komentar:

Posting Komentar