Pages

Minggu, 13 November 2011

Novel Ilana Tan winter in Tokyo

Ketimbang Autumn in Paris (AiP) tempo hari, Winter in Tokyo (WiT) ini lebih meninggalkan kesan yang cukup mendalam bagi saya. Liku-liku cerita asmara si tokoh utama dibalut dengan beragam konflik dan penokohan yang kukuh dan utuh meskipun dengan alur yang linier, kadang gampang ditebak, dan ending yang… ya begitulah. So… happy ending.

Sebenarnya metropop Ilana dimulai dengan Summer in Seoul (SiS), kemudian AiP, baru WiT. Namun, saya belum membaca yang pertama, SiS. Ketiganya merupakan serangkaian karya Ilana yang cukup unik dengan mengambil setting tempat berbeda tergantung musim sebagai judulnya. Sangat khas. Dan, menarik. Pada satu adegan dibuatkan benang merah metropop sebelumnya meskipun tidak berpengaruh banyak. Hanya untuk mengingatkan pembaca bahwa sebelum metropop yang ini, ada metropop karya Ilana yang sudah lebih dulu terbit. 

Dari AiP dan WiT, saya menangkap gaya penokohan si aktris utama hampir seragam. Gadis blasteran, Indo, dengan pihak ibu yang kerap merupakan pribumi sehingga jejak-jejaknya kadang dirupakan dalam warna rambut, kulit, dan bentuk mata. Jadi teringat guyonan teman, bule-bule memang selain liburan ke Indonesia juga sekalian mencari istri karena mereka suka perempuan Indonesia…

Saya adalah penggemar novelis Indonesia yang cakap menulis kisah dengan latar nuansa negara lain a.k.a. luar negeri, dengan tokoh yang WNI. Maka, saya agak kurang ‘suka’ dengan penokohan Ilana yang hanya mengalirkan darah Indonesia tapi dengan kewarganegaraan asing. Saya jadi seperti membaca karya orang luar. Bukan tidak ‘suka’ dalam hal kualitas tetapi lebih kepada ‘sifat’ chauvinisme pribadi yang begitu mengental dalam darah saya. Bukan saya menyombongkan diri sebagai seorang nasionalis sejati. Saya hanya sangat mencintai negeri ini.

Latar budaya Jepang dan terkhusus daerah Harajuku, ditampilkan dengan anggun dan manis oleh Ilana. Selama membacanya saya serasa sedang menonton dorama, sinetron khas Jepang. Visualisasi tempat dan karakter tokoh-tokohnya mengingatkan saya pada dorama favorit saya, Tokyo Love Story. Belum lagi cinta segi-empat yang coba diciptakan Ilana di sini, mengingatkan saya pada 4 tokoh sentral di dorama tersebut. 

Lompatan-lompatan adegannya pas. Dan, berkesinambungan. Tidak terpecah berantakan. Dari penokohan, saya suka dengan karakter utamanya, Ishida Keiko. Gaya komikalnya mampu digambarkan dengan apik oleh Ilana. Sifat dan perilakunya dengan mudah dapat dicerna dan menyentil imajinasi untuk menampilkan sosoknya dalam benak saya. Bagus. 

Sedangkan kritik, masih saya lemparkan pada sisi teknisnya. Dari mulai kejanggalan kalimat karena kurang kata penghubung, duplikasi kata, hingga kalimat seperti terpuntir-puntir (salah peletakan kata). Untunglah, tak banyak yang demikian. 

Dari ceritanya sendiri, mungkin kelemahannya ada pada adegan-adegan klisenya. Amnesia? Ya Alloh, sudah berapa ratus kali tema ini diangkat? Dalam film atau novel. Point of view orang ketiga yang bergerak bebas kadang agak salah tempat. Tokoh baru yang sebelumnya tak pernah berlakon pun tiba-tiba mendapat jatah satu halaman untuk berdialog. Misteri yang coba dibangun menjadi agak sia-sia karena akhirnya tokoh misterius itu pun bisa ‘berbicara’ dan mengumbar rahasianya.

Summary – spoiler alert

Ishida Keiko, seorang librarian, selalu mengingat cinta pertamanya. Bukan sebenar-benarnya ‘pernah’ cinta karena sesungguhnya ia hanya pernah berbincang sekali dengan cowok itu. Dan, hanya karena ia telah membantu menemukan kalung pemberian neneknya tiga belas tahun silam, ketika Keiko masih SD, ia menambatkan hatinya pada anak lelaki bernama Kitano Akira, sebuah nama yang diketahuinya dari Naomi, saudari kembarnya yang adalah seorang fotomodel terkenal saat ini.

Nishimura Kazuto, seorang fotografer andal, meninggalkan New York untuk menetap di Tokyo demi menghapus memori kelamnya. Ia sengaja menyewa apartemen di pinggiran kota yang tidak diketahui pamannya agar beliau tidak menjadi informan bagi ibunya di Amerika.

Di apartemen itulah Keiko dan Kazuto bertemu. Mereka adalah tetangga seberang ruangan. Ada juga kakak beradik Sato (Haruka dan Tomoyuki) dan kakek-nenek Osawa yang menjadi tetangga mereka. Kehidupan pertetanggaan menciptakan warna-warni kehidupan bagi Keiko dan Kazuto.

Suatu ketika, akhirnya, Keiko bertemu dengan seseorang bernama Kitano Akira, yang sekarang telah menjadi dokter. Mengikuti kenangannya, Keiko mulai mencoba dekat dengan Akira. Meskipun belum ada ikrar, mereka sudah menampakkan sinyal-sinyal sebuah hubungan yang lebih dari sekadar teman. Namun, mengapa di saat yang sama ada getar aneh yang dirasakan Keiko terhadap Kazuto? Apakah Kazuto juga merasakan hal yang sama?

Malam Natal seperti membalikkan semua rencana. Keiko yang hampir mantap memilih Akira mengapa menjadi bimbang dan lebih bergetar jika berduaan dengan Kazuto? Namun, bencana kemudian datang. Kazuto diserang segerombolan orang tak dikenal hingga ia masuk rumah sakit dan selepas sadar ia dinyatakan amnesia sebagian. Kazuto tak lagi mengenali Keiko. Lalu, bagaimana kelanjutan perasaan Keiko pada Kazuto? Apakah Kitano Akira tidak juga menyadari bahwa antara Keiko dan Kazuto telah terjadi sesuatu? Siapa pula gadis bernama Iwamoto Yuri itu? Mengapa Kazuto memeluknya dengan begitu mesra? Untuk menjawab serentetan pertanyaan tersebut, silakan baca novel bernuansa salju ini setuntasnya. Awas, kedinginan. Brrrrrrrr!


0 komentar:

Posting Komentar