Pages

Selasa, 04 Oktober 2011

Aku dan Ibuku - Leopold Indrawan

Sudah genap tujuh belas tahun usiaku.


Sudah genap pula tujuh belas tahun aku menempati sebuah gubuk di pinggir jalur kereta. Sudah genap pula tujuh belas tahun aku hidup tanpa tahu siapakah ayahku. Semua itu berlangsung begitu cepat, hingga tak kusadari adik-adikku pun suatu hari akan memikirkan hal yang sama, memikirkan asal-usulnya, juga merasakan bahwa hal itu adalah neraka yang kelak mereka bawa sebagai jati diri ke mana pun mereka akan pergi nantinya. Selama-lamanya.

Ibuku dahulu dikencani banyak pria. Ibuku cantik seperti artis-artis yang ada di dalam kotak televisi. Wajar jika setiap lelaki berusaha untuk mendapatkannya, mendapatkan hasrat yang dapat membangkitkan berahi melalui tubuhnya.




Ibuku dahulu mengencani banyak pria. Tetapi ibuku bukanlah pelacur yang ada di pinggir-pinggir jalan. Ibuku, sepertiku, seperti adik-adikku, dan sepertimu juga, hanyalah manusia yang membutuhkan cinta. Dan sepertiku, seperti adik-adikku, dan sepertimu juga, kita semua dibius oleh cinta yang memabukkan. Apakah salahnya mencinta?

Ibu tak pernah mengatakan siapa dan di mana laki-laki yang dahulu menyetubuhinya hingga aku dan adik-adikku terlahir ke dunia. “Kamu adalah anak ibu, kamu tidak membutuhkan siapa-siapa lagi,” kata ibu. Kata-kata ibu selalu terdengar menyejukkan, sekaligus memilukan. Kurasakan ia ingin sekali membuang masa-masa lalunya yang kelam jauh-jauh. Masa lalu yang hanya membawa noda hitam tak tersingkirkan di hatinya.

Dahulu saat aku masih bersekolah tanpa ragu-ragu aku mengatakan pada guru-guru dan teman-temanku bahwa aku tidak memiliki ayah, dan aku dapat tumbuh besar tanpa perlu mengenal ayahku. Teman-temanku membicarakan aku, sesungguhnya ibu-ibu merekalah yang membicarakan aku, tetapi hal itu menurun ke anak-anaknya yang hanya bisa menjadi beo-beo tolol. Mereka mengatai aku anak haram yang lahir dari wanita jalang. Aku tak pernah paham makna haram. Aku tak beragama, jadi tidak ada yang haram bagiku. Bagiku, tak pentinglah beragama, merasakan secercah cinta saja sudah susah, untuk apalah mengharamkan tindakan-tindakan yang toh bisa dinilai dengan nurani masing-masing.

Sekarang ibu sudah hampir habis nafasnya. Entah penyakit apa yang menimpanya, penyakit itu seperti enggan meninggalkan tubuh ibu sejak setahun lamanya. Penyakit itu malahan berkembang semakin parah dan parah. Setiap malam, panas tubuh ibu meningkat dan ia mengeluh perutnya sakit. Kepalanya sering pusing, terlebih kalau ia mendengar suara bising kereta api lewat. Kakinya pun kini lumpuh tak dapat menopang tubuhnya yang rapuh. Sudah setahun ibu tidak mencari nafkah untuk aku dan adik-adikku. Aku dan adik-adikku, yang memang sudah tidak sanggup bersekolah lagi, pun bekerja sebagai penjual koran di perempatan-perempatan.

Ibu, sebelum ia sakit, selalu pulang dan pergi saat hari gelap. Katanya ia menjadi pembantu pulang hari di beberapa rumah di ibu kota. Setiap hari ia pulang membawa nasi bungkus dan kadang-kadang ia juga membawakan susu kotak untukku dan adik-adikku. Kadang-kadang ibu sendiri tidak makan, ia suka mengaku tidak lapar. Padahal kulihat raut kelelahan yang luar biasa tergurat di wajahnya yang menua. Ibu tak pernah berbicara soal ayah. *** Aku tak pernah berbicara soal ayah-ayah mereka. Aku, sebelum tertimpa penyakit ini, selalu pulang dan pergi saat hari gelap. Aku menjadi pembantu pulang hari di beberapa rumah di ibu kota, sekaligus sesekali aku dipakai oleh tuan-tuan rumah yang sedang nafsu. Setiap hari aku mengusahakan pulang membawa nasi bungkus dan susu kotak untuk anak-anakku. Seringkali aku merasa lapar dan tak selalu cukup uangku untuk membelikan diriku sendiri makanan, tetapi aku tahu anak-anakku membutuhkan sesuatu yang penting yang bisa kubawa pulang, dan itu bukanlah rasa lapar.

Sekarang nafasku sudah hampir habis. Entah penyakit apa yang menimpaku, penyakit ini seperti enggan meninggalkan tubuhku sudah sejak setahun lalu. Penyakit ini malahan berkembang semakin parah dan parah. Setiap malam tubuhku terasa lemas dan panas.  Perutku rasanya seperti dihujam pisau. Kepalaku sering pusing, ditambah lagi kalau aku mendengar suara bising kereta api lewat. Kakiku pun kini lumpuh tak dapat lagi menopang tubuhku yang rapuh. Sudah setahun aku tidak mencari nafkah untuk anak-anakku. Anak-anakku, yang memang sudah tidak sanggup bersekolah lagi, terpaksa bekerja sebagai penjual koran di perempatan-perempatan, kuharap mereka tak disetubuhi sebagaimana aku.

Dahulu saat anak-anakku bersekolah tanpa ragu-ragu aku mengatakan pada guru-guru mereka bahwa anak-anakku tidak memiliki ayah, dan tanpa makhluk bernama ayah itu mereka sudah bisa hidup. Jadi, tak perlulah ada yang disebut akta kelahiran. Guru-guru di sekolah itu lantas membicarakan aku. Aku tahu itu tanpa perlu mendengarnya secara langsung, karena guru-guru memang hanya tahu mengajar dan tak pernah tahu ada kisah hidup yang lain di luar apa yang mereka ocehkan di depan kelas. Banyak yang mengataiku wanita jalang. Aku tak pernah paham makna jalang. Aku tak pernah merasa bermoral untuk menilai diriku atau siapa pun sebagai jalang. Bagiku tak pentinglah membiacarakan moral sementara hati kita semua sebenarnya masih penuh dengan kecacatan.

Aku tak pernah mengatakan pada anak-anakku siapa dan di mana laki-laki yang bisa mereka panggil ayah. “Kamu adalah anak ibu, kamu tidak membutuhkan siapa-siapa lagi,” kataku pada mereka. Aku selalu merasa kata-kata itu menyayat hatiku. Ingin sekali aku membuang masa-masa laluku jauh-jauh. Masa lalu itu hanya membawa noda hitam tak tersingkirkan. Masa-masa itu, saat orang-orang “bermoral” merasa paling berhak menyebutku: Wanita Jalang.

Aku dahulu mengencani banyak pria. Tetapi aku bukanlah pelacur yang ada di pinggir-pinggir jalan. Aku hanyalah seorang yang haus akan cinta. Sepertiku dan sepertimu juga, kita semua dibius oleh cinta yang memabukkan. Apakah salahnya mencinta?

Aku dahulu dikencani banyak pria. Aku tak pernah bersyukur atas apa yang mewujud di permukaan tubuhku. Entah kenapa begitu banyak lelaki berusaha untuk mendapatkanku, mendapatkan hasrat yang dapat membangkitkan berahi melalui tubuhku.

Sudah genap tujuh belas tahun usia anakku yang paling besar. Sudah genap pula tujuh belas tahun ia menempati sebuah gubuk di pinggir jalur kereta bersamaku. Sudah genap pula tujuh belas tahun ia hidup tanpa tahu siapakah ayahnya, dan aku tahu ia selalu mempertanyakan hal itu. Semua itu berlangsung begitu cepat, hingga tak kusadari anak-anakku yang lain pun suatu hari akan memikirkan hal yang sama, memikirkan asal-usulnya, juga merasakan bahwa hal itu adalah neraka yang kelak mereka bawa sebagai jati diri ke mana pun mereka akan pergi nantinya. Selama-lamanya.

Selamat tinggal, Anak-anakku…

0 komentar:

Posting Komentar