Pages

Minggu, 13 November 2011

Novel Ilana Tan Spring in London

Naomi Ishida adalah gadis blasteran Jepang - Indonesia yang tinggal dan berprofesi sebagai model di London, Inggris (Jika Anda membaca Winter in Tokyo, maka Anda dengan mudah akan mengetahui siapa itu Naomi. Ya, Naomi adalah saudara kembar dari Keiko, tokoh utama di Winter in Tokyo). Suatu ketika, Naomi mendapat kesempatan menjadi model video klip musik salah satu penyanyi terkenal asal Korea dimana ia dipasangkan dengan model tampan asal Korea juga, Jo In-Ho atau yang lebih dikenal Danny Jo. Dari mula, Naomi sudah bersikap dingin menghadapi Danny yang mencoba segala cara untuk mendekatinya. Namun, seperti juga tetesan air yang mampu membuat ceruk di karang yang kokoh sekalipun, kegigihan Danny lambat laun meruntuhkan dinding pembatas yang diciptakan oleh Naomi sehingga keduanya dapat menjalin “pertemanan” yang harmonis, meskipun kemudian ada sosok Miho yang merangsek masuk ke dalam hubungan mereka. 

Maka, terjadilah tarik ulur di antara Naomi - Danny - Miho. Hubungan mereka pun pasang surut, sebentar panas sebentar dingin. Belum tuntas persaingan Naomi - Miho memperebutkan Danny, justru hadir orang dari masa lalu Naomi yang memorakporandakan jalinan kasih yang tinggal sedikit lagi terbina. Apakah akhirnya Naomi dan Danny dapat bersatu? Masa lalu macam apa yang membuat Naomi begitu ketakutan? Apa hubungan kakak laki-laki Danny dengan masa lalu Naomi? Lalu bagaimana dengan usaha Miho memperjuangkan cintanya pada Danny? 

Tentu saja, Anda harus menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan membaca Spring in London karya Ilana Tan ini (buku seri musimnya yang terakhir-kah?). Awalnya saya tertarik pada Autumn in Paris (buku #2) yang meskipun mengecewakan tapi tidak menyurutkan niat saya membaca Winter in Tokyo (buku #3). Nah, berkat buku ketiga-nya saya justru penasaran dengan buku pertamanya, Summer in Seoul, sehingga lengkaplah tiga buku seri musim karya Ilana sudah saya rampungkan membacanya. Ternyata, masih ada satu lagi yang terbit (tentu saja, dari empat musim memang masih kurang satu lagi yang belum menjadi setting) di bulan Pebruari 2010, maka saya menyampirkan asa di ketinggian langit bahwa Spring in London akan menyajikan drama-romantis yang menggetarkan.

Namun, pada kenyataannya saya agak kecewa dengan yang ini. Lebih kecewa ketimbang sehabis membaca buku Autumn atau Summer-nya. Yang pertama kali saya soroti adalah minimnya konflik yang diciptakan Ilana di sini. Konflik yang terasa hanya tentang tarik-ulur perasaan antara Naomi dan Danny pada keseluruhan novel setebal 240 halaman ini. Hadirnya tokoh Miho untuk memberikan efek tegang cinta segitiga di novel ini justru kurang greget, karena meskipun telah jelas-jelas dinyatakan sikap Miho yang akan, katakanlah, berjuang sampai titik darah penghabisan demi mendapatkan cinta Danny, tidak dinampakkan antusiasme dan semangat kompetisi sehingga Miho terkesan selayaknya singa tanpa taring dan cakar. Terlihat gahar, padahal nggak bisa apa-apa. Beban masa lalu yang menjadi bandul pemberat bobot masalah dalam perjalanan cinta Naomi - Danny juga saya pikir kurang “boom” begitu. Jadi, ketika masa lalu itu dibongkar saya hanya bisa melongo dan bilang, “…eh, gini doank?“ 

Setiap penulis memang perlu menegaskan keunikan dan kekhasan masing-masing, dan Ilana berhasil “menyihir” fans setia-nya, setidaknya dalam seri novelnya ini, dengan menjadikan musim sebagai latar dan judul masing-masing novelnya. Ilana juga berhasil membuat keterkaitan antara satu novel dengan novelnya yang lain, meskipun cuman sekadar basa-basi belaka. Saya pikir, basa-basi itu pula yang mengikat kepenasaran dari pembaca serialnya. Pembaca yang sudah rampung dengan satu novelnya kemudian bertanya, siapa yang muncul di novel berikutnya, apakah hubungan tokoh di novel ketiga dengan tokoh di novel pertama, dan sebagainya. Hal tersebut membuat pembaca yang terhipnotis pada salah satu judul novelnya menjadi kurang lengkap jika belum menggenapi-baca kesemua musimnya. Dengan demikian, Ilana juga memperoleh keuntungan lain yaitu dapat membangun fans pembaca yang akan selalu setia menanti karya-karyanya. 

Tetapi, keunikan Ilana justru tidak dibarengi dengan ragam olahan plot dan konflik yang mengagumkan. Entah disengaja atau bagaimana, plot gampang sekali tertebak. Dua orang asing, bertemu dalam satu frame, saling menghindar, berkenalan, menjalin hubungan, dan akhirnya jatuh hati. Karakter para tokohnya pun seragam. Too perfect. Too good to be true. Lebih “ngayal” dibanding tokoh-tokoh sinetron yang sering dihujat. 

London, adalah kota impian saya. Menempati urutan pertama dalam daftar kota di luar negeri yang ingin saya kunjungi, sehingga tak heran saya sangat “berselera” dan bersemangat untuk sergera merampungkan-baca novel ini. Bayangan saya akan keindahan negeri dongeng raja dan ratu serta Harry Potter yang populer banget, apalagi dalam balutan musim semi yang sejuk, nyatanya tidak begitu terasa. Ilana terlalu sibuk membangun hubungan aneh antara Naomi dan Danny yang sayangnya juga tidak berkesan bagi saya. Maka sepanjang novel, saya hanya disuguhi jalinan cerita tentang seorang laki-laki yang mati-matian menarik minat seorang gadis yang nggak jelas maunya apa (di mata si lelaki). Sentilan masalah yang dilontarkan menjelang titik kulminasi terbongkarnya masa lalu Naomi hanya memberi efek tegang sesaat, begitu materi masa lalunya dibeberkan, saya tersenyum kecut dan jelas-jelas kecewa. Masa lalu yang biasa untuk menjadi sebuah pengungkit kejadian traumatik. 

Yang juga terlihat kurang bagus di detail adalah usaha Ilana untuk menunjukkan bahwa setting cerita ada di kota-nya Lady Di. Seingat saya hampir tak secuil pun ada kalimat dalam bahasa Inggris - yang agak janggal bagi novel urban modern masa kini- (yang beberapa kali saya tunggu, untuk sekadar mengingatkan bahwa kita sekarang ada di London). Dan, usaha Ilana untuk meng-Inggris-kan novelnya hanya dari seringnya dia mengunakan idiom “Oh, dear” yang memang khas Inggris banget. Sayang, bagi saya pribadi, konsistensi penggunaan idiom itu menjadi satu yang agak annoying akhirnya. Kelihatan sekali bahwa Ilana ingin mengesankan si tokoh ada di negeri Britania Raya. Too bad! Nggak sukses! Kalau sempat iseng, hitunglah berapa kali kata oh, dear itu muncul (catatan saya: 13 kali). 

Entah saya-nya yang sudah kadung “diracuni” infotainment di televisi/majalah/tabloid atau situs gosip sehingga saya selalu terdoktrin bahwa artis/selebritis itu paling tidak ada saja wartawan yang menguntit mencari berita sensasi tentang diri si artis. Nah, kenapa saya tidak mendapati sedikit saja sensasi glamor dari kehidupan Naomi - Danny, yang ceritanya Naomi pernah ikut London Fashion Week dan Danny yang adalah bintang iklan favorit di Korea? Oh, come on, di sini saja (baca: Indonesia) ada banyak majalah dan tabloid yang isinya artis-artis Asia timur (Korea, Jepang, China, Taiwan, Hongkong), apakah di negeri mereka sendiri mereka tidak diberitakan? Berarti mereka bukan artis yang ngetop-ngetop amat ya… 

Yang saya suka dari gaya bercerita Ilana adalah caranya mengambil point of view yang bergantian antara Naomi dan Danny, meskipun kata ganti yang digunakan tetap orang ketiga. Kadang, pada satu peristiwa diulas dari dua sudut yang berbeda, sudutnya Naomi dan sudutnya Danny. Sayang, yang seperti itu tidak konsisten dilakukan oleh Ilana. Justru tiba-tiba cara penceritaan itu dilewatkan tokoh lain yang sebelum dan sesudahnya hanya mempunyai porsi figuran/cameo belaka. Satu hal yang juga tidak masuk dalam takaran selera saya karena dengan demikian sang narator menjadi plin-plan, suatu ketika serba tahu, di lain kesempatan berpura-pura misterius. Nggak banget deh!


0 komentar:

Posting Komentar