(Bali)
Equilibrium Kupu-kupu (1)
Malam terlahir karena kerlip kunang-kunang
Siapa terlahir ditengah isak. Didalam perasan mawar
Dipusaran madu yang terperah dari lenguh lembu
“mata air !”
Peladang kabut menyemai ilalang disebuah taman bunga
Menjadi gubuk dengan tiang pohon tanpa getah !
Kunang-kunang menyembunyikan gema
Menenggelamkan senja disela bayangan
Yang melengkung di dalam cahaya. Angin menyentuhmu
Sangat pekat. Kau berdiam
Dingin karam di diri : kulintasi matahari
Mengenal air mata yang sudah terbakar
Dibawah ufuk:burung-burung berganti kicau
Dengan lenguh sapi meluku endapan air
Menera panas
Dan ngiang kupu-kupu memekarkan musim bunga ?
Malam tanpa jarak dengan terbang kelekatu
Siapa menunggu di rumah ilalang : menyamak lelehan
Madu dan memahami rahasia kupu-kupu di sekuntum bunga ?
Kunang-kunang menera sinar bulan,”aku jadi beku
Pada panas kalbu !”
Jiwaku limbung, menanam warna terburai
Dari bayangan lembab !
Cuaca kembar berdarah : singatan dan gigilan
Pohon terpaku diantaranya !
Patung air. Patung air. Kupu-kupu membentuknya
Kusemai pada lendir darah : tumbuhlah hamparan
Memuati pelabuhan burung
Dan cahaya dingin teduh
Memanjangkan jejak kupu-kupu yang kembali
“aku telah menulis bening mata air !”
Ian Sancin
(Pangkal Pinang)
Sungai Yang Mengalir Di Wajah Bunda
: 18-11-2004
Rembulan hinggap di padang keningmu yang lapang
meruapi danau bening matamu mengairi sungai jernih nadi hidupku
dan anak-anakmu selalu gelisah hendak mencium punggung tanganmu
tangan yang membuat mereka perkasa sepanjang masa
Anakmu yang berpunya menanamkan pangkat
mewah dipundaknya menjadi jenderal kapan saja ia suka
anakmu yang perwira menjadi malu-malu dengan wibawanya
anakmu yang bintara menjadi kepala rumah tangga
menyiapkan angan-angan serba ada
anakmu yang serdadu tetaplah biasa
menjadi pasukan melengkapi suasana
dan anakmu yang tiada telah menjadi bunga
harum dalam doa
tetapi semuanya tetaplah anakmu
tak ada emas, perak, ataupun tembaga
anakmu adalah permatamu
Pesta hari raya adalah kumpul bocah bermanja suka
Dan untuk menyiapkan tanganmu yang sama
mesti menanak ketupat beratus buah jumlahnya
tak ada gulai angsa, hanya ada ayam dan lembu
di santan berpuluh kelapa jumlahnya
tak ada sayur biasa di hari raya, hanya ada sayur
beraroma mentega, cengkeh dan pala
Di hari raya kedua, gulai dan ketupat terasa
surut di lidah yang manja maka ikan segar bakar
menjadi penyelah suasana
tapi tak cukup satu ataupun dua
sehabis pesta piring dan gelas berbaris di tengah meja
dan tanganmu pula yang menjamahnya
Tanganmu yang perkasa telah membesarkan semua prajurit
hingga menjadi perwira atau tetap serdadu biasa
tanganmu adalah tangan sepanjang masa
karena itu hari kelima di hari raya engkau rubuh kehilangan tenaga
Dan kini sungai mengalir di wajahmu
arusnya perlahan hingga rembulan yang terbias di riaknya
teramat kusam dan buram padahal anak-anakmu belumlah
puas mencium
punggung tanganmu
Sungai yang dulu mengalir di wajahmu melayarkan semua
angan-angan anakmu ke samudra bebas
dan kembali setelah penjelajahan puas
melabuhkan dan menunaikan apa yang belum kau punya
kau tak pernah berkata apakah kau suka
kau tak pernah berduka apakah kau merana
kau tak pernah membantah apakah kau payah
karena kau tak mau mengeruhkan sungai jernih
yang mengalir di wajahmu
Mak...... rembulan pasti padam
ia hanya bersinar dalam semalam dan esok pagi
kan berganti matahari
dan jika kelak Sang fajar menjemput
kami ikhlas menebus rasa angkuh ini
Pangkal Januari 2005
Iao Suwati S.
(Mataram)
Sinta
dalam tubuh setiap perempuan
ada bilik untuk mengabadikan
darah seorang lelaki
karena awan pun
tak berhak memilih
derajat keasaman
air hujan dalam tubuhnya
sebagai capung bersayap perak bening
dengan ekor berbuku ganjil
apakah yang lebih menyentak
selain saat menyentuh kulit air
membuat paham
mengejar bayang
adalah prosesi menuju petaka
maka jangan pertanyakan
garam peluh purusa
yang menggumpal
menyumbat lubang porimu
sebab
dalam tubuh
setiap perempuan
ada bilik
untuk mengabadikan
darah seorang lelaki
Iggoy El Fitra
(Padang)
Abrakadabra
sehasta pijarmu padam
asap menjejaki wewangian masa datang yang terlalu pagi kuhirup
pada selesat angin silam
terlalu cepatsedangkan aku baru bisa menyetubuhi kujur laut bila tak pernah ada lagi surut
sekantong harap di semenanjung matamu meletup-letup
alangkah sansai getir alur napas nantinya
sebagaimana buaian laksamana yang sempat memitoskan keabadian
alaika
sekepal kebebasanjuga sekuntum pergerakan berada dalam tafsir kungkungan aksaramu
aku tengadah
melayah ketimbang menjihadkan kerinduan ke bumbungan langit
di aliran lazuardi merah
sujudmu lekatisakmu alunkan bahana ke pelosok telinga
merenangi kabut
sumbumu lebur
abrakadabra
datanglah ke rengkuhankukita sepakat menelurkan dosa
Padang, 22 Desember 2005
0 komentar:
Posting Komentar