Pages

Rabu, 31 Maret 2010

Edisi 1

A.Rahem Umar
(Sumenep - Madura)

Coution

Seketika pantatmu dan pantatku terhenyak
Di pelupuk senja hari itu
Telah kubaca surat dari hatimu kemarin
Jalanan kitapun makin remang

Seperti firman kata-katamu laksana mantra berjatuhan
Pada lantai bumi yang menggigil
Namun kita tetap memuntahkan kata-kata
Seakan-akan mengeja semua jarak antara langit dan bumi

Menjelma filosof aku memaknai diri
Dan tarian mata – hatimu
Bahkan keropos tubuhmu yang senantiasa
Bertilawah menyebut namaku di rimba-rimba

Eva, di lorong itu kadang aku terjebak oleh mimpi sepi
Lantas dipecahkan oleh piring – piring klakson
Sampai akhirnya aku pasrah pada dentingan jam dinding
Yang mencekikku dengan rafia kefanaan

Dik, inilah rumahku yang tak berpintu
Inilah hutan batinku yang kecoklatan

Sumenep, 270909


Abdul Kadir Ibrahim
(Tanjung Pinang)

Kekuasaan Neraka

zaman tercurah airmata dan darah keinginan tamak keras legam
menyihir rindu pasung kelat racun nyawa semurah antah
kemaruk hidup menyangkul luka zuriat dunia
meniti bala peradaban cabikkoyak
gemerentam meriam bom
panas nuklir ludah
kekuasaan
amerika
josh
w
bush
sekutu barat jahanam
ambur demokrasi hak azasi
sesungguhnya jala-jaring iblis dajjal
iraq iran libya palestina pakistan indonesia
negara islam sedunia bilapun nerakalah! amerika punya surga
....

Tanjung Pinang, 2003

Aen Trisnawati
(Bandung)

Mimpi Basah

mengendapkan kerinduan
pada dinding kamar, pada detak hujan, pada dingin
yang menyeka malam menjadi malam.
suara batuk tertancap di gemuruh
menjadi sunyi

menyimpan kerinduan
pada sebotol air putih
kemudian kuteguk
menjadi bayangbayang
menjelma lingkar matamu
hingga masuk ke kantung kemihku

malam kian sunyi
kutitipkan puisi rindu
di atas bantal biru
lalu mengecup bayangmu dan bergumam pelan
“selamat malam”
dan lelap resah hingga basah

BumiKembara, Desember 2005



Agus Bakar
(Solo)

Nyanyian Orang Diam
: Cikalistri

Bukan berarti kita membisu dalam keheningan tatkala kembali bertapa di
gua-gua dan mengunci rapat mulut kita sebagaimana berpuasa.

Bukankah kita masih berusaha mengingat wejangan kata-kata bunda, lirih
nurani, juga tentang sisa-sisa percakapan kita yang terjeda; sejak garis
tangan ini menginginkan kita terlahirkan bersama-sama?

Suara-suara dunia memanglah nyanyian gaduh: getaran yang semakin
nyaring menyayat setiap gema hati, tatkala kita terdiam dalam jeram,
tatkala kita dipaksa harus memilih ketidakpastian jalan.
Tidak lagi bisa kita pungkiri dan perdebatkan suratan atau lirih bisikan yang
meski kita diam-diam berusaha menghindarinya perlahan-lahan.

Dan memang tampaklah tiba saatnya bagi kita untuk kembali ke sunyi
pertapaan. Kita telan hening dalam semua malam, tanpa menaruh kesumat
dendam, bagai sunyinya kepompong yang bersiap memekarkan keindahan
di terang wajah bulan.

Solo, bulansuci, 2005


Agus Manaji
(Yogyakarta)

Kasidah Akar

Merambati gelap dan basah hujan
Telah kutinggalkan benderang dan tawa itu
Di udara

Aku menari di sajadah paling sunyi
Meningkahi bongkah batu, tanah
Dan larik-larik fondasi. Kedalaman
Gelap dan rindu mengajariku ketabahan
Juga keikhlasan, hingga mesra
Kupeluk siang dan malam

Aku telah jatuh cinta
Mengembara dan mengisap lezat sisa-sisa
Yang diabaikan keriangan manusia. Kucium
Wajah bumi yang kelam dan bau. Namun
Kucintai pula langit yang gemawan
Sebab kuterima kasihnya lewat rinai hujan

Dan selalu kutitipkan pada bunga untuknya
Sesimpul senyuman.

2004

Sajak ini pernah dimuat Majalah HORISON edisi Agustus 2005

Edisi 2

Agus R Sarjono
(Jakarta)

Sesaat Sebelum Kebakaran Hutan

Kita seperti puisi ya? Bisik embun di sela daun pada kabut
yang perlahan turun bersama senja. Matahari tinggal jejak
kemerahan di cakrawala. Beberapa kelelawar melintas
di antara pohonan dan rembang senja.

Bukankah kita seperti puisi! tanya embun di sela daun
pada angin yang menari bersama angin di sela bunga
Beberapa kunang-kunang berkerlipan
menggaris malam.

Apa kita seperti puisi? Atau setidaknya kenangan
ucap embun yang hampir menetes di sela daun kepada cahaya
bulan yang baru tiba di hamparan rumputan. Beberapa ikan
berkecipak malas, dalam kolam.
Rasanya kita seperti pembangunan, kata setumpuk bata
dan batu-batu sambil tersenyum-senyum dan membagi kartu.
Tentu saja kita pembangunan! Bukankah kita merdeka
dan mandiri seperti sebuah kota. Coba bikin api unggun
dari ranting dan daun-daun, biar kabut dan dingin berangkat
Biar malam sedikit lebih hanghat!

Kabut, dingin dan cahaya bulan saling berpandangan
Termangu,. Malam berjalan, selapis demi selapis. Kelelawar
kunang dan ikan-ikan melintas lamban. Apakah kita …
tapi embun itu tak berani lagi bertanya. Ia pun menetes
seperti airmata.

1996


Ahmad Muchlish Amrin
(Yogyakarta)

Dewi Masnunah (1)

Dewi, aku datang
untuk menduduki kursi kosong
di hatimu, dengan pelitur mengkilau
di malam pertama
matahari dan bulan bergantian
menyaksikan percintaan
yang nyaris sempurna
Dari langit ke tujuh
katakata turun sebagai firman suci
tidak berbunyi di dada dunia
hanya dalam cinta
Dewi, kubawakan bunga dari surga
semerbaknya membuat malaikatmalaikat
iri hingga ia membacakan syahadat cinta
dan menyuguhkan getar rindu jiwa
Di ujung bunga itu, matahari dan bulan
lain menunduk juga sebelas bintang
berkedip bila kelambu samasama
terbuka, Masnunah!
Kau dan aku melupakan warna
Meninggalkan yang tidak atas nama cinta

Malang, 2005


Ahmad Syamani
(Bandung)

Syair Perempuan

Kota bergerak mencari kata-kata
Lewat panggung pentas dalam bahasa mata
Memikat
Orang-orang di sini masih menjadi jam
Tidur
Penuh sandiwara murahan

Lihat, salam hangat perempuan
Lentik matanya
Ketika sedikit kata-kata menari
Sampai jejak pintu pentaspun memanggil
Namanya, dengan tekun

Dengarlah, robekan tepukan mengucurkan
Teriakan, ada senyuman diperdengarkan
Untukku dan lampu-lampu kehilangan warna
Kehangatannya, kerinduannya
Sampai kudengar kau mengigau di luar teras
Puisi

Kota-kota kabupaten melewati beribu tapak
Pohonan merah
Kau yang mengatur ruangan kata
Dalam gerak seni
Tanpa kehilangan kodrat.

Subang, 25 September 2005


Ahmad S. Rumi
(Banten)

Negeri Bandung

Di negeri Bandung
Puisi cukup mahal
Jalannya beraspal
Jalurnya ditunggu preman
Redakturnya amat terkenal

Di negeri Bandung
Aku punya kawan
Namanya lukman dan dadan
Kata sitok, lukman penyair berbakat

Tapi lukman berkasus dengan Indonesia
Dan dadan tidak

Di negeri Bandung

Dan dadan seorang demonstran
Ada kampus terkenal
Dekat galeri popo iskandar
Mahasiswanya tenartenar
Terutama dalam kepenyairan
Padahal dosennya tidak terkenal

Di negeri Bandung
Cerita ini khayalan

Pandeglang, Banten 2005

Edisi 4

Ali Wardana
(Banyumas - Jateng)

Sajak Ronggeng
: teruntuk Srintil

Menimbang lenggok senyum selendangmu
kembangkan lanskap dukuh lumuh
di tingakah dayu kembang
disela suit serta tepuk tangan
di bugai ketipuk kendang

mata tergelincir liur mengalir
piker menggulir liar
naikkan gelegak darah

diantara aroma tawaran
meliuk angin nafsu
merembeskan keringat nyala

semua terangkum dalam dekapan
coba di buka
diurai
diderai.

Purwokerto, 23 April 2005


Aminuddin Rifai SS
(Samarinda)

Makrifat Sungai

aku berkapal, sepagi tadi
sesiang ini
menyusuri sungai
dan kupastikan
bahwa aku tidak pernah
melupakanmu

dari dek ini
kutangkap aurat tepian
yang menjaga genit perawan
mandi berkain basah
berhati basah

amboi
aku kembali memastikan
bahwa syahwatku telah basah
oleh sebab mengintipmu
di sungai


Anam Khoirul Anam
(Ngawi)

Tuhan Memintal Firman-nya

Tuhan memintal firman-Nya dari gempita cahaya
lalu dijadikannya sepotong kemeja
dan, menurunkannya kepelataran sunyi
yang Ia namani dengan jagad
:menitiskan ruh-ruh di dalam-Nya
“maka jadilah kau hamba Semesta”
Sekian abad lama dalam hayat, berotasi,
mizantium pun berkata dalam ukur-Nya
menariknya ke cakrawala
dengan membawa manuskrip
yang telah dicuci dengan mata air—airmata
hingga akhirnya pun terdiam: kelam


Arbynsjach Damayanto
(Dibaca Arbensjah Damayanto)
(Malang)

Sepotong Roti Pengganjal Mimpi

Kehangatan hari dan cericit burung, tak ada lagi di sini
terberangus sudah
belantara jelmakan hujan air mata
mendera mimpi kanak-kanakmu;

“Tak ada lagi mimpi itu nak, tak ada lagi, ia sudah pergi,
pergi bersama angkara yang tumbuh
di antara sulur-sulur mereka”

Embun masih menggayut
dibening kejora matamu
redup menghapuskan harapan
terserabut sudah

ini kali masih ada sepotong roti
sisa kemarin pagi
punguti, lumati sebagai pengganjal mimpi
lalu terbanglah tinggi
sampai ke langit
jumuti bintang-bintang itu
lalu sematkanlah di dalam hati;

Malang, 2004

Edisi 3

Ahmadun Yosi Herfanda
(Jakarta)

Resonansi Buah Apel

buah apel yang kubelah dengan pisau sajak
tengadah di atas meja. Dagingnya yang
putih-kecoklatan berkata,
‘’lihatlah, ada puluhan ekor ulat
yang tidur dalam diriku.’’

memandang buah apel itu aku seperti
memandang negeriku. Daging putihnya
adalah kemakmuran tanah airku
yang lezat dan melimpah
sedang ulat-ulatnya adalah para pejabat
yang malas dan korup

seekor ulat yang tahu tamsilku pun berteriak,
‘’kau pasti tahu siapa yang paling gemuk
di antara mereka, dialah presidennya!’’

buah apel dan ulat
ibarat negara dan koruptornya
ketika buah apel membusuk
ulat-ulat justru gemuk di dalamnya

Jakarta, 2000

Akhmad Muhaimin S.
(Sleman - Yogyakarta)

Tak Kubaca Isyarat Itu

kepergianmu betapa tiba-tiba, anakku
sungguh, tak kubaca isyarat itu
wajahmu masih saja berseri nan ayu
meski terbaring, dalam sakit seminggu

naik turun dari ruang picu dan tunggu
ayah dan ibu hanya bisa berdoa untukmu
eyang kakung dan putri mencintaimu
seluruh keluarga mengharap sembuhmu

tapi, pergimu betapa tiba-tiba, anakku
sungguh, tak kubaca isyarat itu
dua atau tiga malam menjelang ajalmu
wangi itu selalu saja di sekitar tubuhmu

sungguh, tak kubaca isyarat itu
wajahmu bahkan semakin berseri nan ayu

Yogyakarta, 2005

Alex R. Nainggolan
(Jakarta Barat)

Mencari Ibu

berapa banyak ibu tumbuh jadi bayangan dalam hariku ?
maka aku pun mencarinya, di atas tanah, sepanjang jalan,
di bawah hujan., tapi selalu kutemukan bentuk ibu-ibu yang lain
menggendong matahari, menancapkan kesakitan di tubuhnya sendiri, atau menyusui bayi yang paling purba
aku kehilangan tanda mencarinya, cuaca kembali datang dengan bencana
yang tak mudah diterka

ibu, ibu, di mana kamu ? seperti masuk ke dalam sesat jalan langkahku
tak ada jawaban, cuma hening yang tak bergeming, menyimpan seluruh masa lalu yang bening

aku mencari ibu di dalam tubuh rempuan
tapi yang kutemukan hanya rahim-rahim yang kosong
kehilangan benih, di sudut-sudut kota berkerumun dengan darah aborsi

aku mencari ibu di tubuh istri-istri
tapi cuma kutukan nyali birahi yang ada
mendekap malam-malam yang penuh keranda

aku mencari ibu lagi, di antara getar suara ponsel
surat-surat yang kutumpuk di lemari pakaian, atau sisa uang untuk belanja
hari ini. tak ada ibu di sana, di pohon-pohon apel
yang ada cuma ulat-ulat, merakit sekarat
tempat adam belajar kata cinta pada hawa
dan menggapai dunia

ibu, di mana kamu ? seperti kundang, tak henti-henti kupanggul kutuk ini
tak kutemukan ibu. hanya patung-patungnya dibangun di penjuru kota

Jakarta, 2004


Ali Syamsuddin Arsi
(Banjarbaru)

Bermain Bersama Anak-anak

Memasuki ruang kasih kalian aku menjadi asing dalam kebersamaan
namun izinkanlah, walau sepintas mungkin tak pantas
aku sudah berupaya agar cinta kita tetap terjaga
seperti kisah-kisah binatang yang sering mengantarkan tidur kalian
setiap malam, atau malam-malam yang lain
ada banyak tayangan, kenangan bahkan panutan
dari bayang-bayang kehadiran, karena dongeng itu
selalu saja menjadi pilihan utama, selain harus lebih banyak membaca buku-buku cerita sebagai hadiah kenaikan kelas kalian

Memasuki ruang mimpi kalian aku menjadi sesat dalam kesendirian
sementara jalan yang kau lalui tak semuanya aku pahami
tapi tali kendali layang-layang kalian dengan teguh harus kupertahankan
karena angin di luar berhembus sangatlah kencang
belantaramu, ternyata lain dengan rerimbun di zaman berbedasi
izinkan aku ikut bermain di tengah-tengah kalian

Tuhan, jarak seperti apa lagi yang akan engkau paparkan
dari lika-likunya kasih dan sayang, sementara cinta
haruslah tetap dipertahankan
walau sampai ke batas kematian
karena keabadian itu merupakan sumber bayangmu
dari zaman ke zaman, dari ruang ke ruang

Tuhan, atas izinmu aku lebih memilih bersama mereka
walau tidaklah harus di tengah mereka
karena di balik dunia, ternyata dunia lain juga ada

Banjarbaru, November 2005

Edisi 5

Ari Stya Ardhi
(Jambi)

Membunuh Bunda
(: anakku gelegar c talenta)

turunlah dari peraduan mawar itu
anakku, melepas kelopak mimpi
dari kegelisahan reranting berduri
lalu, aku ajak kau meradangi
rumah-rumah singgah, melupakan bunda yang
telah terbantai di meja pesta
hiduplah aroma darah yang berkeliaran sepanjang estalase
emperan, reguk debu bernanah di terminal-terminal.
kemudian, tikamkan kemaluanmu mendidih
gedung-gedung.biar beton dan kondo
beranak pinak atas nama kejantanan

di lorong-lorong pertempuran,
bunda sudah binasa, sementara, nama-nama jalan
selalu memanggili kesunyian.
tancapkan alamat nisan ke atap dapur kematian.
asap sengketa harus mengepul,
peperangan tak pernah mengenal
dinding belas kasihan, pancangkan cakrawala
benakmu meninggi kebimbangan kota-kota

kelak, orang-orang berebut
membangun pasar ke relung dada.
karena rumah tidak lagi mampu
menampung sepetak sawah.
maka, aku ajak kau meninggalkan
ranjangku, menanggalkan busana usia.
hingga, anakmu kembali membunuh bunda

Bohemian Jambi, 2004


Arsyad Indradi
(Banjarbaru)

Darah

Adalah langit darah berdarah
Tak habishabis jadi laut berabadabad telah
tak berpaus di atasnya rajah perahu Nuhmu
tak singgahsinggah pada dermaga darahku
Hu Allah darahku hanyut dalam darahmu
kutubku tenggelam dalam kutubmu
menghempas napas darahku membatubara
di kunci rahasia Alifmu Alif Alif
darah Adamku yang terdampar di bumi
yang rapuh berabadabad mencari darah Hawaku
yang rapuh tersesat di belantaramu meraung
darah laparku mencakarcakar mencari darahku
beri aku barang setetes Hu Allah
getar alir napas menyeru darahmu
mengalir darah mataku mengalir darah musafir
di sajadahmu
mengalir menuju rumahmu
darah hidupku Hu Allah
darah matiku Hu Allah
darah hidupmatiku Hu Allah
darah raungku Hu Allah
darah cakarku Hu Allah
darah laparku Hu Allah
darah hausku Hu Allah
darah ngiluku Hu Allah
darah rinduku Hu Allah
manakala darah tak keringkering
mendustakan firmanmu dan tak hentihenti
berpaling pada jalanmu
malam tak lagi malam siang tak lagi siang
bulan bintang matahari kehilangan terang
apatah lagi yang mampu meneteskan
darah kehidupan Hu Allah
semesta bergoncang Hu Allah
arasy pun bergoncang Hu Allah
darahku aujubillah
darahku astagfirullah
darahku subhanallah
Allah

Banjarbaru, 2004

Asep Pram (Asep Sopari)
(Bandung)

Episentrum

tiba-tiba kita menjelma pejalan
seperti kereta ringkih yang
meringis di jembatan besi
merasakan beban muatan yang
dikemas di pundak bagasi.

semalaman jari-jari kaki terjaga
menyusuri semak gelap taman-taman kota,
mengadukan letih pada patung
yang membatu di pinggir trotoar.

langkah kita terus melaju
melewati deretan pohon dan tiang listrik,
lalu mengemis ketegaran pada tiang reklame
yang menawarkan bijih embun.

kita tak hendak menuju ke suatu tempat
tapi sekadar menuruti naluri yang
begitu saja hadir tanpa diundang.
kita pun tak hendak mencari apa-apa
selain membiarkan jiwa bergerak bebas
di jalan-jalan lengang yang ditinggalkan tuannya.

di antara bayang tiang lampu taman
kita menemukan wajah buram diri sendiri
tepekur menghitung jarak yang telah dilalui.
perjalanan ini tak pernah menjanjikan sesuatu
selain bayang-bayang tubuh sendiri
di saat tubuh kerabat yang lain tergolek
di papan catur menunggu siang.
itu saja cukup, kita tinggal mengurainya
menjadi tafsir-tafsir lain.

Oktober 2005


AslanAbidin
(Makasar)

Walennae

ketika senja turun dan cahaya menyerbuk di
antara pohon-pohon lontar, aku kenang sungai ini
sebagai lengkungan taman para bissu, gaib dan sunyi.

di tepinya gadis-gadis mandi dan pulang menjunjung
tempayam bersama gairah dan aroma kewanitaannya yang
mengembang dari kembennya yang basah

“di sungai walennae kasihku, adakah kau tahu,
mengalir cintaku padamu, tenang dan dalam.”

ketika ujung-ujung ilalang meliuk
melambai pada senja, dan bangau di pucuk-
pucuk bambu bersiap masuk sarang, di setapak
menyusur walennae, lelaki-lelaki memikul tong
bambu pulang dari menyadap nira.

“rumah kami di kaki bukit, beratap ijuk dan dapurnya
selalu menguapkan aroma gula, mampirlah bila ada
waktu, kami pantang tak bersikap manis pada tamu.”

saat malam mengurung dan rembulan mengapung samar
di permukaan walennae, di langit yang kelabu terdengar
jerit elang, seperti rindu yang perih dan jauh.

di rumah-rumah beratap ijuk, di atas balai bambu,
gadis-gadis menggeliat : teringat dongeng tentang pangeran
baik hati yang dikutuk penyihir jahat jadi buaya di sungai
walennae.”di walennae kasihku, aku terperangkap janji
yang tak mungkin aku tepati.”

di antara hening daun ketapang tua yang berguling
lepas dari rantingnya, walennae merayap ke laut. di
dasarnya aku hanya dapat mengenangmu, mengawasimu
setiap pagi dan sore ketika mandi, menunggu
saat aku menjalani kutukan : menerkam dan menelanmu.

“di sungai walennae kasihku, adakah kau
tahu, mengalir cintaku padamu :
suci dan terluka.”

Makassar 2001

- walennae : nama sungai terpanjang di sulawesi selatan.
- bissu : waria pemimpin upacara animisme di tanah bugis.

Edisi 6

Asrizal Nur
(Depok - Jakarta)

Anak Duka

Aku anak duka
lahir dihimpit hutang tetua
dewasa dari luka sama
dengan kisah itu juga

aku berkepala cahaya
garis tangan kusut
tersungkur bell sekolah
terhantuk buku
ditelanjangi seragam
diusir uang bangunan

di dapur periuk merebus debu
busung lapar hidang ajal
sawah usung lumbung ke piring juragan

aku mengeja nasib di lebuh raya
menjaja airmata
sering reguk airmata pula

aku mencari rumah teduh
kadang beratap nista
bagai anak tak ada ibu bapa
pulang ? rumah hardik nasib
padahal peluhku telaga devisa

lantaran hidup mahal keringat murah
aku jadi kupu kupu besi
siang mesin kotak debu
malam ranjang biru

di tempat kerja
aku ibu baru buang ASI
anak hirup susu basi

aku pahlawan tanpa tanda jasa
dihempas gaji murah
tertatih di simpang waktu

aku suara selembut bayu
hingga ilalang jadi bunga
di pabrik suara nafas luka

aku seniman
diterkam hidup gamang
dariku taman harap tumbuh kembang

aku pengangguran kesejutasekian
bukan enggan banting tulang
mengasah akal di balik meja
pintu kerja terkunci rapat
linglung di negeri sendiri

aku pedagang kaki lima
diusir mall dan plaza
pentungan mencabik rezeki
dizalimi negeri sendiri

pada kampanye para ayah
duit bagai serakan daun kering
mengalir janji berdanau susu
telaga sembilu

ayah enggan singgah ke kotak debu
jenguk hidup di lebuh raya
sungguh sungguh membelaku dinista tetangga
merasa pedih dilempar bangku sekolah
termenung ijazah nestapa

paman mabuk maling
tiang rumah jadi sepatu
saban waktu dinding dicuri
dapur sulit menyala
tiang hilang hutang regenerasi

paman yang aku percaya
menterjemahkan airmata dalam bahasa cinta
berteriak … sering bias makna

o, aku terasing di tanah kelahiran
setiap jengkal harapan
jejak tapak ketakutan

tak ada tempat mengadu
setiap sudut ketemu hantu

lantas kemana duka aku titipkan ?

seandainya bunuh diri jalan sorga
maka rumah ini pusara

di terminal putus asa
aku menunggu Tuhan
menyeka duka

Depok, 20 Juli 2005

Atik Sri Rahayu
(Samarinda)

Jalan Panjang

Telah kulabuhkan cintaku di sungai Mahakam
bersama sisa keringat
semalam menembus belantara hutan
dari Banjarmasin ke Balikpapan
Tak ada sisa rasa gelisah
semua telah impas dibakar matahari
menghanguskan kulit tubuhmu jadi legam.

Selalu kukenang lambaian tangan
mengantarku di terminal
dengan memberi bekal ikan Seluang
karena perjalanan akan sangat panjang.

Akan selalu kukenang
banjir sungai Martapura menggenang desa Dalampagar
dan lukisan wajah Syech Al Banjari
menatapku tajam.

Kini di museum kraton Kutai Kartanegara
terasa membuka lembaran kitab lama
peradaban semakin tua
namun kita makin miskin tegur sapa.

2005


Bambang Widiatmoko
(Jakarta)

Kado Cinta

Baiklah kita tutup saja lembaran lama
rasa sesal dan dosa
rasa bersalah jadi luka
kehidupan seperti belantara
penuh duri dan ular berbisa.

Lantas kita bangun rumah
meski tidak terlalu megah
tapi ada gairah memadamkan rasa gelisah
kita lengkapi dengan taman agar betah
duduk berdua, mengukir sejarah.

Jika di luar terjadi hujan badai
kita bisa berlindung di balik tirai
betapa kehidupan perlu kita urai
agar menjadi lurus seperti rambut tergerai
dan pertengkaran menjadi mudah dilerai.

Tak ada kado cinta yang luar biasa
selain kesetiaan tanpa pulasan kata-kata
zikir dan doa haruslah tetap bergema
agar jiwa kita semerbak bagai harum Cempaka
tak ada kado cinta yang lebih berharga – selain asa.

2005

Boufath Shahab
(Bandung)

Kau Tahu Sihir Waria ?

jika sekali saja kau kerlingkan mata
akan kusihir dunia menjadi semesta canda dan tawa
pernahkah kau berpikir tentang ruh perempuan yang terjebak
di sekujur badan lelaki, karena kesalahan malaikat pengatur jasad ?
maka bermain-mainlah di kedalaman kelaminku
aku akan telanjang bersama kupu-kupu
atau jika kau mau, aku akan menjadi seekor kupu-kupu yang telanjang bersamamu
mungkin akan kau temukan bekas-bekas air mata bahagia ibu
ketika pertama kali aku mampu mengeja namaku
dan ia menghadiahiku sebutir bola yang penuh warna
kudekap perut ibu : ibu, aku tak bahagia
aku merindukan sebuah boneka

kini kusimpan bola itu di lemari tua
bersama tetes-tetes air mata ibu, dan seonggok tubuh perkasa yang tak pernah kuminta
karena kelak jika ada yang mengerlingkan mata, bagai kotak pandora yang terbuka
sihirku akan merajalela, penuh canda dan tawa

Bandung-Jakarta, Des. ’2005

Chairul Saleh
(Pekalongan)

Aku Masih Bertahan

Aku termangu melambung ke udara
Terbayang burung hinggap di belantara
Menari indahnya sejuk rimba
Hirup wanginya karya Pencipta
Tapi burung tak hendak kemana
Arah utara pun tak dirasa
Walau aku meng-iya meng-asa
Tuhan,
Aku terkungkung dalam jeruji waktu
Membuatku termangu dalam sayu,
Membosankan !!!
Tapi ini hidupku,
Bahwa aku bukanlah burung,
Sekedar cucu Adam hendak cari ibrah,
Kehidupan ini,
Walau musuh-musuh-Mu kadang hampiri,
Tapi aku masih bertahan diri

Malang , 29 November 2005

Edisi 7

Condra Antoni
(Padang Sumbar)

Variasi Atas Cinta Zulaikha

Aku, perempuan yang datang dari hening hanya ingin berbagi padamu,
pada pangeran yang turun dari bumi membawa separuh paras Tuhan
dimanakah dosa, ketika yang ku tahu hanya putih gamismu
hanya pucat pasi bahasa hati

sekeruh cinta yang mengering dalam rerimbun utruj
wanita yang lain, yang hidup dalam kemegahan para al-aziz
menjadikan aku perempuan, sebagaimana Hawa,
sumber petaka para lelaki
kerena mereka menatap peradaban tidak dari basah rindu yang kupunya

kelelakianmu mencampakkan aku ke tepi panggung sejarah tentang kelembutan
tapi matamu, tiada sesiapa yang tak mengerti akan rindu yang sama
jarak yang meradang
adalah deru ayat-ayat Kasih yang memilih menerpa wajahmu
lalu tandaslah aku pada garis tangan yang telah ditahbiskan

Padang, Mei 2005

Cut Uswatun Khasanah ZA
(Aceh)

Tragedi Tsunami

Jerit yang membelah-belah sunyi
Dalam gemuruh pasang bandang
Gelombang ganas meluluhlantakkan
Isi negri yang elok

Acehku meu bae’-bae’
Acehku meu bae’-bae’
Acehku meu bae’-bae’

Gedung, rumah
Perahu,pepohonan
Dan apa saja rata dengan tanah
Beribu nyawa melayang
Dalam gulungan angin dan gelombang
Tak ada satu pun yang tersisa
Kecuali maut yang bergelimpangan

Acehku meu bae’-bae’
Acehku meu bae’-bae’
Acehku meu bae’-bae’

Dari ujung khatulistiwa
Hatiku tafakur :
Atas kehendak-Mu
Kembalikan Acehku

Aceh, 2005

D. Zawawi Imron
(Batang-Batang - Madura)

Ibu

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunpun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sarisari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang meyemerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

Dani Fuadhillah
(Dado Masokis)
(Surakarta)

Rasanya

rasanya pernah ada seutas tali berwarna merah
terikat dipinggangmu yang ramping
ketika kamu melenggang menirukan irama-irama
keraguan tanpa ragu

mengajak mengikuti simfoni kaku sambil
sengaja kau gigit gigit sehingga melumat lembut lidahmu
sambil membuat senyum simpul diujungnya
kau buat biar lebih erat dipegang , katamu

kadang kamu jadikan kabel telepon
hingga berjam-jam lamanya sambil rebah
kamu muntahkan kata-kata baku
rasanya, kamu masih terikat !

Solo, 25 Desember 2004


Dewa Pahuluan
(Banjarbaru)

Qurban

Qurban kali ini, kumau
Membasuh daki barang
seupal
Darah qurban kali ini
kumau
Rasuki jiwa yang kembara
entah kemana
Qurban kali ini, kumau
Merahkan tekadku sudahi
tualang tak berujung
Darah qurban kali ini,
kumau
Hidupkan matirasaku akan
asmaMu
Qurban kali ini, kumau
bangunkan tidur panjangku
Darah qurban kali ini,
kumau
Mengalir dan mengalir tiada
henti. Pelan tak mengapa
menuju lorongmu, sampai
di batas jemputan maut

Banjarbaru, 2005

Edisi 8

Diah Hadaning
(Cimanggis - Depok)

Kidung dari Rumah Panggung

dibangun dari kayu hitam hutan sisa
peradaban, teritisan batu granit
mampu sembunyikan bermusim rasa sakit
pagi serap bias matahari sisa gerhana
malam serap embun dan hujan asam
sesiapa di dalam
masih harap lusa ada perubahan

sementara anak-anak telah pandai
naik turun di tangga rumah panggung
menebar tawa di udara
menyapa matahari ?
memanggil angin ?
atau mendengar kidung aneh
yang setia mengusap-usap atap

setiap ganti musim
makin terdengar aneh
tulang dan kidung makin melengkung

Cimanggis, 2005

Dian Hartati
(Bandung)

Perempuan Pemetik Teh

iringiringan perempuan memecah pagi sunyi
langkah tanpa alas kaki mengawali keras kehidupan
di punggungpunggung mereka melekat kantungkantung
capingcaping menyembunyikan wajah mereka dalamdalam

di seterik matahari
tangantangan gemulai memetik pucukpucuk kerinduan
mengemasi semua daundaun teh muda
memenuhi tanggung jawab pemilik hari

semua usai di lelah senja
melepaskan capingcaping geriapkan harapan hari esok
meracik setiap lembarlembar kedukaan
memintal khas aroma pagi

SudutBumi, 2005

Dimas Arika Mihardja
(Jambi)

Sajak Ibu Pertiwi

“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati ….”
dadanya diguncang gempa
hatinya dilanda tsunami

“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati ….
gempaNya mengguncang dada
tsunamiNya melanda hati

“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati ….”
dada gempaNya mengguncang sesiapa
hati tsunamiNya melanda apa saja

“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati ….”
Indonesia bau, begitu kita berseru
Indonesia baru, berseteru melulu

“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati …. “
bau Indonesia berseruseru
baru Indonesia begitu sendu

“kulihat ibu pertiwi
Sedang berduka hati …. “

Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2005


H. Dinullah Rayes
(Sumbawa)

Teluk Yotefa
Buat : J.P.Salossa Gubernur Papua yang pergi tiada kembali lagi

Buih-buih merebut pantai
otak –otak bening itu pecah usai berkisah
kawanan ombak pun lari ke pusat segera
mencari anak-anak buih yang lepas kasih bunda

Teluk Yotefa
tempat bulan berdandan
malam hari
tempat mentari menari
siang hari
Tanganku memungut kulit lokan
untaian mutiara sejarah anak Papua
kita :
bagai bumi dan pepohonan
seperti nyawa dan badan

Teluk Yotefa
ombak dan pasir pantai
senantiasa bercumbu
dalam kalbu
anak negeri berkulit sawo matang
yang hitam kelabu

Jayapura, 24 Dese 2005

Eko Sugiarto
(Semarang)

Lekuk Tubuhmu

aku
suka
lekuk
tubuhmu
aku suka
lekuk tubuhmu
aku
suka
lekuk
tubuhmu
aku suka lekuk tubuhmu
a k u s u k a l e k u k t u b u h m u
aku suka lekuk tubuhmu
tubuhmu
lekuk
suka
aku
lekuk tubuhmu
aku suka
tubuhmu
lekuk
suka
aku


Edisi 9

Eko Suryadi WS
(Kotabaru - Kalsel)

Di Batas Laut

kau rindukan kekosongan
di dada yang biru
lewat jari tanganku yang terbakar

aku larut ketika kau mengaca
menghias buih-buih yang mengelana
ada yang membekas ketika menatap
dari hampa ke rindu yang dikuburkan

waktu meraba bibirnya matahari
cuacamu berdetak keras
gugurkan mimpi laut

di batas laut satu sukma menyapaku
dari cahaya tubuhmu
biru

Kotabaru, 1981

Ellis Reni Artyana
(Bandung)

Wanita dan Kalajengking

Wanita itu menemukan anak-anak kalajengking di selangkangannya
Matanya masih saja berheran durja
Kalajengking-kalajengking itu melambaikan tangan mereka
Wanita itu tersenyum, di matanya hanya ada naluri seorang ibu

Satu persatu mereka menjepit kulit paha
si wanita merasa geli yang hebat
tawanya pecah seiring menyemburnya racun-racun
Tubuh wanita itu berguncang karena tawa
Hingga jepitan anak-anak kalajengking terlepas

Mereka jatuh dan hanyut oleh airmata wanita yang
tak sadar teralirkan
Wanita hanya mendapati pahanya yang biru-biru saja

Ia menangisi anak-anak kalajengking dengan parau
Di matanya hanya ada naluri seorang ibu


EM. Yogiswara
(Jambi)

Belajarlah, Anakku Soco

belajarlah menangis, anakku soco
sebab kita sudah kehilangan air mata
sumur yang mengalirkan keadilan dan kesengsaraan
kini mengering
berubah warna menjadi sumber mata air berbisa
: tangis tak sepenuhnya menitikan bening
dari padang alam yang menyihirkan cahaya-Nya

belajarlah mendengar, anakku soco
sebab gendang telinga kita sudah tertusuk
desah duka, lapar, dan erangan
: suara tak selamanya ikhlas mendalilkan ujud

belajarlah membaca, anakku soco
sebab mata kita sudah kehilangan jarak
dari penaklukan sepenggal harapan
belajarlah merasa anakku soco
sebab kita telah dibina tanpa rasa
: perjalanan hanya tuk menyambut senyum

belajarlah, anakku soco
sebab kelahiran sudah lama tertunda
dihapus keping rindu tanpa rasa
: usah terapung di kegelapan dunia
sebab gelembung bayang tak kan terima cahaya

Endang Supriadi
(Depok)

Jauh Ke Ujung Sunyi

aku meninggalkanmu jauh ke ujung sunyi
berbekal lempengan dendam yang berkarat
tak peduli lagi aku pada tanah yang belum
selesai kugali, masa bodoh dengan airmata
yang menetes di pintu-pintu

dunia yang baru telah terbentuk dari
riak gelombang, dengan kota-kota
yang melahirkan anak-anak tanpa bapak
hewan-hewan akan sekandang denganku

jika laut yang kulayari ini mengandung
garam, kelak akan terasa manis di gelasku
jiwa akan berpegang pada tiang matahari
meskipun aku tak merisaukan lagi ke mana
bayanganku saat matahari memperjelas denyutnya

aku meninggalkanmu jauh ke ujung sunyi
membentuk peradaban dari kerak luka
tangan-tangan yang melambai dari halaman rumah
telah kujadikan dayung bagi hidup dan matiku
ketahuilah, tak ada lagi alasan bagi kesendirianku
yang memisahkan antara rasa dan raga.

Merak-Bakauheni, Maret 2004

Esti Ebhi Evolisa
(Mataram)

Tunggu

kuberbincang dengan malam
kapan datang kepastian
lolong anjing di kejauhan
membuat jiwaku terseret
apakah batas penantian sebuah jawaban
meski kutunggu dengan kian berjalannya sang waktu ?
aku hanya bisa berangan tunggu!

Edisi 11

Hamami Adaby
(Banjarbaru)

Tentang Rasa
(: Ide Nusantara,Arsyad Indradi)

Terasaku serasa rasa seperti kamu
yang terasa dalam perasaan ada rasaku
rasa nikmat terasa dalam perasaan
disyukuri nikmat bertaut makna

Di darah merah kita mewarna sewarna
lalu bagaimana rasa yang ditiup hembus angin
bermakna esa nafas yang ada rasa
diraba rasa dirasa belum lagi sempurna
dikepak sayap usia

Yang kau beri aku rasa susu lezatkah rasa ?
dalam kental warna teraba rasa
antara buah jakun dan perut, habis warna
makna terasa dalam seribu rasa

Tapi ada zat pewarna yang mengubah rasa
cacing-cacing melipat tanah, ulat melipat warna
gulung menggulung daun perasa terhimpit sisa warna
cahaya siapa datang membangun rasa
dalam rumah tanpa penghuni

Ada jendela rasa yang mengeliatkan rasa
dalam rasa, rasaku dan rasanya

Adalah rasanya seniman lapar tak terasa
haus dahaga menatah rasa jadi perasa sejati
seniman kutub berkiblat rasa renyuh suara kecapi
katanya adakah seniman yang kaya raya
kalau ada potong lidahnya, rasakan perihnya
berdarah-darah dalamkeping rasa

Adakah seniman terdengar korupsi ?
kalau dugaan itu benar, paling mengorup kata-kata
boleh juga kalau memang demikian
Rasaku, rasa engkau dan kalian berbeda warna.

Banjarbaru, 10 Februari 2005

Handoyo Wibowo
(Oei Tjhian Hwat)
(Yogyakarta)

Rindu
( rindangnya syahdu )

benarkah bertemu menetralkan rindu
yang selama ini senantiasa mengganggu

dimana telah lama menggeliat indah dikalbu
ber asa agar selalu hangat bersua tiada berlalu

sampai malupun terselimut kangen menggebu
walau semalam sudah memetik nuansa semu

y o g y a k a r t a
13 desember 2005


Harta Pinem
(Medan)

Gebyar Suara

Untuk siapakah gebyar suara ini
Semua dihadirkan di aula Hotel Nuansa Pekanbaru
Malam kian bergemuruh
Ditambah musik karaoke di gedung sebelah
Inikah pergulan manusia menjelang maut tiba
Sementara Dita dan Widyawati asyik bicara tentang pergulatan
Hari esok
Sepulang menonton pertunjukan ABCD-nya musik masa kini
Kita tiduran di ranjang sunyi
Mengenang Chairil dan Raja Ali Haji
Gurindam itu kekasih bisakah menenangkan kita
Puisi-puisi luka itu dapatkah kita cerna lagi di sini
Kabarkanlah semua rindu ini pada Koran pagi
Aku tak punya kekuatan menahan sakit
Jika esok kita harus pulang
Semoga kenangan manis jadi ingatan sampai nanti

Medan, 2005



Hasan Bisri BFC
(Bekasi)

Thawaf Qudum

Aku kirimkan serimbun doa
Diiringi melodia talbiah
Seraya mengasah malam
Menajamkan iman yang melimpah

Senyampang musim ini
Musim bercinta
Bagi umat Muhammad
Yang didalamnya hamparan syafaat

Kukembarai sunyi dan belantara malam
Bening embunnya kutampung
Tuk ngeramasi iman
Biar cahyanya nyuci jantung

Inilah poros ‘Arsy
Disini ruhku tenggelam dan hanyut
Dalam kumparan waktu
Tiada sempadan, tiada batas

2004

Heru Mugiarso
(Semarang)

Puisi di Titik Nol

Saat engkau kibaskan pendulum dari raut langit yang muram
Penantian gerimis seperti lagu ngelangut
Musim menggenang pada bau bacin selokan
Gemetar hatimu menulis puisipuisi keruh

Lalu kuraba kenangan pada wajahmu
Kusaksikan udara yang gemetar
Rahasia diamdiam mengendapendap
Meminta mulut mengucapkan

Dan kalam demi kalampun ditembakkan
Dari ujung laras senapan
Membidik mata waktu yang mulai rabun
Mengoyak kesunyian yang ngungun

Di titik nol
Kembali kurayakan puisi
Kutanam jasadku pada kubur meditasi
Kulipat percakapan ranting dan daun
Tentang rasa kehilangan

Karena puisi telah lama mengigau
Dalam sihir dan pukau

2005

Edisi 10

Eza Thabri Husano
(Banjarbaru)

Tasbih Perahu

kubangun rindu pada lembah sunyi, tanah-tanah gelisah
dijebakan liukan sungai mengalirkan riak tasbih perahu
dalam tubuhku melahirkan isakan muara mengekalkan
ajal manusia
bunga petaka yang liar telah kujadikan nisan di antara
orang-orang yang gagal memanjatkan duka
siapapun berkabung, usia tetap bergegas seperti kupu-kupu
meninggalkan kepompong di serumpun bunga
menulis tangis dan darah pada lembaran runtuhan sejarah
tanah air kitakah di sini batu zamrud kehilangan kebijaksanaan
atau yakut kuning ditinggalkan kesetiaan ?
o dimana aku ? tanya tumpukan kegelisahan itu
orang-orang pun berduyun sepanjang jalan sambil menyapu
kenangan dan kesunyian yang melepuh
itulah manusia hari ini bercermin menikmati kegelisahan itu
menjadi orang paling tulus berabad-abad yang hilang

dunia lunglai sehabis senggama dengan matahari
gelombang peluh meneteskan detik-detik menjadi hari
tanahku tenggelam dalam desau sperma, sudah kau tangisi
sepanjang hari ?
bumi mencair waktu membeku dalam tidur penghabisan
o tanah air, tanah airmata !
wajah kita terbelah rata dalam cermin merindukan cahaya
robek di lembaran sejarah dilipat-lipat dijadikan perahu.

Banjarbaru (2003)


Fina Sato
(Subang-Jabar)

Kuserahkan Tubuhku Pada Kesunyian

dan bila jalanan, lampu-lampu kota
berteriak lagi, yang tersisa kemudian hanyalah serpihan luka
di ujung bibir yang menggigir

tiada suara yang mengeruh sunyi
tak lagi jawab memecahkan gendang sunyi tubuh
yang terperangkap terali

malam ini di dingin tubuhmu yang berbalut kesunyian
kuserahkan tubuhku pada tanya
(tubuhku dan tubuhmu)
sebagian nisan yang berlumut hitam
dalam permainan tuhan

terus bisu
tak selalu sisakan perih mengadu
lalu tersenyum dalam dekapan
pelan kelam

(dan tubuh kita)
masih bermain pada tanya

bumi singgah,2004


Fitriyani
(Murung Pudak - Kalsel)

Bagaimanapun Aku Tak Ingin Selingkuh

Andai ada yang bertanya
Siapa yang paling miskin di kampung ini
Akulah jawabnya
Yang tak tahu rasa roti, pizza, dan kentucky
Yang lidahnya akrab tahu tempe dan asinnya ikan teri
Miskin aku
tapi aku masih setia

Andai ada yang bertanya
Siapa yang paling jelek di kampung ini
Akulah orangnya
Kulit hitam tulang terbungkus
Berbadan kurus tiada terurus
Jelek aku
Tapi aku tetap setia

Andai ada yang bertanya
Siapa yang paling udik di kampung ini
Aku juga orangnya
Yang tak pernah melihat wajah kota
Yang tak pernah masuk plaza dan menginjak lantai dansa
Udik aku
Tapi aku tetap setia

Sayang, tanya itu berharga fana
Kalian pasti tak pernah tahu
Karena kalian tak pernah bertanya
Siapa yang paling kaya, paling gagah, dan paling modern di kampung ini

Pasti aku orangnya
Jawabku pasti membuat kalian semakin bertanya-tanya

Aku memang miskin tapi aku kaya di mata kekasihku
Aku paling jelek tapi aku tampak gagah dalam pandangan kekasihku
Kata kekasihku, aku sangat modern karena gayaku,gaulku, rayuku, dan cumbuku
Asli barang import dari negeri nurani
Bangga kekasihku karena setiaku
Dan aku pun tak ingin selingkuh dari-Nya

Murung Pudak, 29 April 2006


Gunawan Triatmodjo
(Pekanbaru-Riau)

Ritus Kesunyian

lelaki itu pergi menunggang angin
ketika warna langit gelap belum lengkap
dan perempuan di dalam rumah
memahami peristiwa itu sebatas lanskap

hanya tersisa perih di ranjang putih
sebuah dosa yang menggeliat mencari bentuknya
dan patahan-patahan rel kereta
yang tak akan mengarak rencana sampai tujuan

dentang kesekian
perempuan itu beranjak mencari sapu tangan
yang telah lapuk terjemur di dalam hujan

ketika ia seka air mata yang setajam kaca
parit-parit kecil bermunculan di telapak tangan
seakan menagih peluh seusai persetubuhan

di luar
gerimis kecil turun
rinai yang teramat lembut
untuk meliriskan sebuah prosesi kehilangan

gaung kereta telah senyap di telinga
tak ada bayangan wajahnya di jendela
tak ada lagi yang mengetuk pintu untuk bertamu

semua kembali seperti semula
ditinggalkan dan kesepian
seperti yang lalu-lalu
perempuan itu melewati semuanya
dengan membaca buku

Solo, 2005

Edisi 12

Herwan FR.
(Serang-Banten)

Setia Membidikmu

Demi pengakuan yang kelak kekal dan menyakitkan
aku setia membidikmu. Matamu menjadi kelereng
di atas lantai jiwa yang oleng oleh rindu yang dungu.
Sungsumku berhenti membeku. Aku kini lapar kembali
mencari kekasih. Tanganku menggenggam bukit,
menyentuh lahar yang ngalir di tiap kepndan gunung,
jari-jari merembah liar hutan-hutan tubuhmu.
Aku ingin menggambar lagi peta : daerah-daerah tak bertuan
Dan menjadi petualang pertama, menjelajah dengan perkasa.
Kulukis anak-anak di rahimmu dengan hidung panjang
seperti Pinokio, lalu kuhidupkan dengan bayangan,
dan kubiarkan berlarian menyusur
lereng-lereng betismu yang bagai bukit kapur

Dari keringat dan seribu gerak tubuhmu
aku pahami seribu cara bercinta. Lalu apalagi antar kau-aku,
guru-murid, setia bersulang dalam papa dan kegelapan ?
Demikian kuutarakan hasrat ini dengan kerongkongan
sedikit mau basah, jakun tertahan resah. Matamu
rabun oleh sudut lenganmu yang memijar,
Aku jadi Ken Arok yang lumpuh
oleh betis Ken Dedes. Musnah dalam derjad pandang,
lurus menembus celah dadamu yang sempit dan menghimpit.

Lalu, aku nyata dan padam lagi.

Serang,2005


Hoesnizar Hood
(Kepulauan Riau)

Aku Menulis di Toba

Air kembalilah ke hati
Kembali kemusim percintaan
Jangan turun dimata
Kembalilah keawan luruhlah lagi tumpah dibadan

Seperti danau bercinta dengan hujan
Aku ingin melihat tajammu menusuk
bagai lukisan barisan serdadu dalam putaran dadu nasibku

Air peluklah bagai berpeluk rindu
Pecah satu bunyi asmara
Senandung siang malamku

Aku menulis di Toba
Kegelisahan berenang ke risau
Anggun gelombang berpagut danau bertabik dengan bukit
bangsawan
bukit segala tuan
Raja segala tinggi adat segala nyawa

Aku menulis di Toba
Seperti suratan bathinku ditulis di langit
Seperti takdir saudaraku ditulis di tangan
seperti nasib negeriku ditulis dilangit di
tanganMu

Gunung gapailah ke dasar seperti pancang yang tegak
Dan kau hikayatkan kisah yang tenggelam berabad-abad

Jangan tutup rahasia malam dengan bulan
Jangan tutup rahasia siang dengan matahari

aku menulis di Toba
aku menulis di danau berahasia
gelombang nyanyian dan bukit lagu antara batu tua kayu lama
dalam rahasia dua kutup tangan tetua
menarilah manarilah

seperti tak perduli angin
dengan mesra memberikan aku gigil
Seperti lena nasibku dalam kubang bangga bangsaku yang
tak tau kemana akan menghala
Seperti berjam-jam aku membaca
kemana arusmu ?


Hudan Nur
(Banjarbaru)

Sempana Jiwa Bab Terakhir

Aku sudah susah membuktikan betapa ternilainya senandung sempana jiwa di bab terakhirku. Ya. Itulah adanya.
Aku tahu tapi kejanggalan akan cermin yang kulihat kemarin tidak menimbulkan bayangan, aku hanya melihat sinar yang lelambaiannya tak nampak. Pekat pula. Sementara aku baru mempersiapkan diri untuk juga ikut pada peperangan yang salah satu pemrakasa serta pengrobohnya, aku.
Sementara aku berkecamuk dalam diri, sekitar baik kawanan menuding sebagai insan yang naïf. Aku betul-betul aku. Hingga aku kehilangan bentuk, remuk di situ juga. Redamnya utopia di mukaku adalah berkat kesetiaanku yang selalu menyerukan senandung jiwa di bab terakhir.
Sungguh aku malu. Maka dengan ini semua aku akan buktikan, aku akan menjauhi apa-apa yang membikin hubungan kita merenggang. Sekali lagi. Karena itulah adanya. Aku begitu memilukan, sebab jiwa yang pernah kujalankan pernah memaksakan ribuan hasrat untuk menikam dan ke langkah itu lagi. Aku pura-pura lupa dan tidak mengetahuinya bahwa suatu saat akan ada balasan dari seluruh torehan yang dieja pada sempana-sempana dari jiwa yang tak berkeseduhan.

Banjarbaru, 12 Juni 2005

Husnul Khuluqi
(Tangerang)

Perempuan yang Melintasi Kampung Sunyi
-sepenggal catatan dari Cihuni

engkau pergi melintasi kampung sunyi
menyapa keheningan batu-batu, rerumputan
hijau, dan reranting semak

sebuah kota yang lama tumbuh di kepalamu
mendadak muncul lagi, seperti lengkung pelangi
di senja hari, bermain di pelupuk matamu

melintasi perkampungan yang senantiasa lenggang
engkau serasa memasuki negeri tanpa tuan. negeri
yang tumbuh dalam dongeng, yang tak luput diceritakan
dari mulut ke mulut

di tapal batas, engkau hanya menemukan
gerbang kayu, mengering dibakar waktu, letih
seperti bocah kecil yang lama menunggu ibu

kota yang sekian lama tumbuh dikepalamu
seperti sesayup lagu jauh yang tak tersentuh, tak
juga bisa engkau masuki pintu-pintunya

“Di manakah kota itu, tempat pijak denyut
jantungku? Di manakah negeri itu, tempat berlayar
seluruh mimpi-mimpiku?”

setengah berteriak engkau bertanya pada retak
tanah di bawah sengat matahari merah

2005

Edisi 13

I Made Suantha
(Bali)

Equilibrium Kupu-kupu (1)

Malam terlahir karena kerlip kunang-kunang
Siapa terlahir ditengah isak. Didalam perasan mawar
Dipusaran madu yang terperah dari lenguh lembu
“mata air !”

Peladang kabut menyemai ilalang disebuah taman bunga
Menjadi gubuk dengan tiang pohon tanpa getah !
Kunang-kunang menyembunyikan gema
Menenggelamkan senja disela bayangan
Yang melengkung di dalam cahaya. Angin menyentuhmu
Sangat pekat. Kau berdiam
Dingin karam di diri : kulintasi matahari
Mengenal air mata yang sudah terbakar
Dibawah ufuk:burung-burung berganti kicau
Dengan lenguh sapi meluku endapan air
Menera panas
Dan ngiang kupu-kupu memekarkan musim bunga ?

Malam tanpa jarak dengan terbang kelekatu
Siapa menunggu di rumah ilalang : menyamak lelehan
Madu dan memahami rahasia kupu-kupu di sekuntum bunga ?
Kunang-kunang menera sinar bulan,”aku jadi beku
Pada panas kalbu !”
Jiwaku limbung, menanam warna terburai
Dari bayangan lembab !
Cuaca kembar berdarah : singatan dan gigilan
Pohon terpaku diantaranya !
Patung air. Patung air. Kupu-kupu membentuknya
Kusemai pada lendir darah : tumbuhlah hamparan
Memuati pelabuhan burung
Dan cahaya dingin teduh
Memanjangkan jejak kupu-kupu yang kembali

“aku telah menulis bening mata air !”


Ian Sancin
(Pangkal Pinang)

Sungai Yang Mengalir Di Wajah Bunda
: 18-11-2004

Rembulan hinggap di padang keningmu yang lapang
meruapi danau bening matamu mengairi sungai jernih nadi hidupku
dan anak-anakmu selalu gelisah hendak mencium punggung tanganmu
tangan yang membuat mereka perkasa sepanjang masa

Anakmu yang berpunya menanamkan pangkat
mewah dipundaknya menjadi jenderal kapan saja ia suka
anakmu yang perwira menjadi malu-malu dengan wibawanya
anakmu yang bintara menjadi kepala rumah tangga
menyiapkan angan-angan serba ada
anakmu yang serdadu tetaplah biasa
menjadi pasukan melengkapi suasana
dan anakmu yang tiada telah menjadi bunga
harum dalam doa
tetapi semuanya tetaplah anakmu
tak ada emas, perak, ataupun tembaga
anakmu adalah permatamu

Pesta hari raya adalah kumpul bocah bermanja suka
Dan untuk menyiapkan tanganmu yang sama
mesti menanak ketupat beratus buah jumlahnya
tak ada gulai angsa, hanya ada ayam dan lembu
di santan berpuluh kelapa jumlahnya
tak ada sayur biasa di hari raya, hanya ada sayur
beraroma mentega, cengkeh dan pala

Di hari raya kedua, gulai dan ketupat terasa
surut di lidah yang manja maka ikan segar bakar
menjadi penyelah suasana
tapi tak cukup satu ataupun dua
sehabis pesta piring dan gelas berbaris di tengah meja
dan tanganmu pula yang menjamahnya

Tanganmu yang perkasa telah membesarkan semua prajurit
hingga menjadi perwira atau tetap serdadu biasa
tanganmu adalah tangan sepanjang masa
karena itu hari kelima di hari raya engkau rubuh kehilangan tenaga

Dan kini sungai mengalir di wajahmu
arusnya perlahan hingga rembulan yang terbias di riaknya
teramat kusam dan buram padahal anak-anakmu belumlah
puas mencium
punggung tanganmu

Sungai yang dulu mengalir di wajahmu melayarkan semua
angan-angan anakmu ke samudra bebas
dan kembali setelah penjelajahan puas
melabuhkan dan menunaikan apa yang belum kau punya
kau tak pernah berkata apakah kau suka
kau tak pernah berduka apakah kau merana
kau tak pernah membantah apakah kau payah
karena kau tak mau mengeruhkan sungai jernih
yang mengalir di wajahmu

Mak...... rembulan pasti padam
ia hanya bersinar dalam semalam dan esok pagi
kan berganti matahari
dan jika kelak Sang fajar menjemput
kami ikhlas menebus rasa angkuh ini

Pangkal Januari 2005

Iao Suwati S.
(Mataram)

Sinta

dalam tubuh setiap perempuan
ada bilik untuk mengabadikan
darah seorang lelaki

karena awan pun
tak berhak memilih
derajat keasaman
air hujan dalam tubuhnya

sebagai capung bersayap perak bening
dengan ekor berbuku ganjil

apakah yang lebih menyentak
selain saat menyentuh kulit air

membuat paham
mengejar bayang
adalah prosesi menuju petaka

maka jangan pertanyakan
garam peluh purusa
yang menggumpal
menyumbat lubang porimu

sebab
dalam tubuh
setiap perempuan
ada bilik
untuk mengabadikan
darah seorang lelaki


Iggoy El Fitra
(Padang)

Abrakadabra

sehasta pijarmu padam
asap menjejaki wewangian masa datang yang terlalu pagi kuhirup
pada selesat angin silam
terlalu cepat
sedangkan aku baru bisa menyetubuhi kujur laut bila tak pernah ada lagi surut
sekantong harap di semenanjung matamu meletup-letup
alangkah sansai getir alur napas nantinya
sebagaimana buaian laksamana yang sempat memitoskan keabadian
alaika
sekepal kebebasan
juga sekuntum pergerakan berada dalam tafsir kungkungan aksaramu
aku tengadah
melayah ketimbang menjihadkan kerinduan ke bumbungan langit
di aliran lazuardi merah
sujudmu lekat
isakmu alunkan bahana ke pelosok telinga
merenangi kabut
sumbumu lebur
abrakadabra
datanglah ke rengkuhanku
kita sepakat menelurkan dosa

Padang, 22 Desember 2005

Edisi 14

Iif Ranupane
(Jambi)

Jarak Ruang dan Waktu

tiba tiba aku melesat menembus dan menembus tegak lurus dengan mengabaikan resiko berhenti dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya bahkan lebih jangankan uranus atau nepturnus pluto pun sudah aku lewati hingga aku tak lagi melihat adanya warna dan cahaya seperti di bumi sementara cahaya matahari pun sudah hilang dari pandangan fungsi dan keperkasaan panasnya matahari tak lagi berpengaruh apa apa matahari hilang keberadaannya matahari tak kuperhitungkan lagi

entah berapa ribu juta jarak galaksi telah aku lewati entah berapa ribu juta waktu ke waktu telah aku tinggalkan entah berapa ribu juta ruang atmosfir telah aku jelang ketika aku memandang jauh ke belakang mataku tak menemukan sesuatupun yang kumengerti bumi matahari dan seluruh planet yang mengelilinginya hanya tinggal dalam ingatan sementara aku masih terus melesat menembus dan menembus tegak lurus dengan mengabaikan resiko berhenti dengan kecepatan ribuan juta tahun cahaya bahkan lebih meski telah begitu jauh aku melesat belum juga aku temukan batas akhirmu batas jarah ruang dan waktu

wahai jarak ruang dan waktu dimanakah titik awal dan akhirmu apakah engkau menempati dan melewati segala yang ada dan segala yang tak ada menembus gugusan tata surya alam semesta apakah engkau diciptakan tuhan sama sepertiku mahluk dan benda benda fana lainnya berawal dan berakhir aku terkungkung dalam kefanaanku di balik satu atmosfir selalu ada atmosfir yang lain meski aku telah menembus dari satu lapisan

atmosfir ke lapisan atmosfir yang lain ternyata aku masih berada di dalam aku tak pernah bisa ke luar aku terkungkung dalam keterasingan

dengan kedua telapak tanganku aku hanya bisa bersujud perlahan kutarik nafasku dalam dalam sayup aku mendengar bisikan yang datang entah dari mana sedikitpun aku tak sanggup memahami maknanya sementara batinku masih terus bertanya tanya dimana batas jarak ruang dan waktu yang tak berawal tak berujung dan tak berkesudahan itu dengan kedua telapak kakiku ternyata aku harus berjalan bukan seperti burung yang terbang ke gigir cakrawala atau menyelam seperti ikan ke dasar lautan tapi berjalan seperti manusia membebaskan kegelapan dan segala keraguan dengan mata hatiku perjalanan adalah padang tanpa batas tuju dengan iman dan keyakinanku aku akan terus berjalan menuju rabbMu

1993


Ikhtiar Hidayati
(Palembang)

Kutunggu Maharmu

Sudahkah kausiapkan mahar untukku ?
Tujuh perangkat alat sholat, sayang
Sedikitnya tujuh.
Lengkap dengan Al-Quran,
kitab-kitab Hadis Shohih dan Hadis Qudsi,
serta kitab-kitab fiqih

Satu untukku : satu akan kuhadiahkan kembali bagimu.
Sebab tujuh adalah sebab kumau sedikitnya lima anak
menyandang namamu di belakang namanya.
Kuingin, Sayangku,
satu anak berketuhanan yang mahaesa ;
(yang benar-benar berketuhanan, Sayang,
bukan yang meledakkan bom sambil pura-pura menyebut-nyebut
nama Tuhan)
satu anak berkemanusiaan yang adil dan beradab ; (yang kalau dia sudah baligh, dia akan jadi manusia semanusia-manusianya
serta beradab sebagai manusia seberadab-beradabnya)
satu anak berpersatuan Indonesia ;
(yang merindukan manis-lezatnya ukhuwah)
satu anak berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan / perwakilan ;
(bukan maksudku ingin punya anak yang jadi anggota dewan
perwakilan rakyat, Sayang,
bukan ; beban-dunia akhiratnya akan terlalu berat untuk
dipertanggungjawabkannya,
padahal di padang mahsyar tidak mustahil
kita berdua —kali jadi kau pinang aku—
akan terpaksa ikut mempertanggungjawabkan, kan ?

dan satu anak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
(yang kalau dia jadi menteri social.
dia akan mengusahakan kesejahteraan hidup di tiap lapisan sosial
akan terasa benar adilnya
tanpa harus jadi komunis atau apa pun yang membuat alergi
penguasa)

Sudahkah kau siapkan mahar itu ?
Kalau bisa lebih dari tujuh, Sayang.
Aku juga mau anak yang bertumpah darah yang satu, tumpah
darah Indonesia ;
sekaligus berbangsa satu, bangsa Indonesia ;
sekaligus menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Jangan dakwa aku mengada-ada atau mengimpi-ngimpi, Sayang.
Siapkan saja mahar itu.
Soal anak-anak itu,
biar Tuhan yang menyiapkan,
biar Tuhan yang mengurus,

(Malam Takbiran 1426 Hijriah)


Imraatul Jannah
(Martapura)

Engkaukah Ababilku, Akhuya

engkaukah ababilku, akhuya ?
musim yang beringas memangku piala keangkuhan abrahah
dan tentara bergajah. bulan yang berdarah membentangkan
sisi kemanusiaan yang menyanyikan tembang kepedihan
di hatiku.

kepakkan sayapmu yang indah. bumi yang kita huni
begitu merindukan jejak perjalananmu menjadi pilar
tegaknya sebuah peradaban dan mengembalikan kehidupan kita
yang pernah tercabik, ketika granadapun pecah dan berdarah
turki usmani telah tiada, bahkan abbasiyah
hanya tinggal nama

akhuya, jika engkau ingin memahami laut, belajarlah
kepada gelombang atau karang-karang. kesetiaan
yang kita miliki, tak semestinya membuat kita kehilangan
jati diri kita yang hakiki. biarlah airmatanya menulis
sajak-sajak kelahiran yang tumbuh dari cermin jiwa
keletihan seorang bidadari.

hari ini, kukecup tanganmu penuh rindu. dan kusematkan
mahkota kebesaran seorang mujahid, jika engkau anggukkan
kepalamu, seraya memelukku, kemudian berkata
“akulah ababilmu, ukhti,”

(30052005)


Indra Tjahyadi
(Malang)

Rontokan Gerhana

Rontokan gerhana yang larut dalam mimpi

meludahkan kabut. Dengan kepala kucing terpenggal,
ajalku yang berbaju kusta menghidupkan belatung.
Aku rupa kekosongan, menggigil menyerupai hantu.
Melebihi kebosanan, gerak-gerik tikus sekarat kobarkan
sakratul. Para perusuh susuri kampung-kampung dosa
dendam masa lalu.

Akhir riwayat muasal perdu mabuk hujan,
menggerongsongkan lindu. Aku diam, gadis-gadis Cina
dengan onggokanbangkai anjing di tangan umumkan
mendung. Malaikat-malaikat purba berjatuhan di antara
kegelapan memenuhi nafsuku. Kilau salju membusuk.
Seluruh cahaya telanjang bersabitan di jidatku!

Segala fenomena meletus, tapi aku cucup kedua
puting hitam susumu seolah peluru. Tatapanku rabun,
bergulingan di sepanjang batas hujan. Aku
kutuki segenap lanskap pembunuhan, berabad-abad
memulai syair dengan lumpur. Kerentaan menghuni mayatku.
Dingin berhari-hari selekasnya membisikkan serenada.

Ruh para pelacur terbahak di Neraka. Isyarat bianglala
gaib dalam ingatan menekar-nekar zakar rasa sakit kenanganku.
Di gelung pinggulmu yang igal, keterpencilanku meminta
setubuh. Sunyata! Aku bangun candi-candi keperihan. Aku
niscaya dengan nyawa yang menorehkan angus bekas luka persis
di ujung pelupukmu.

Tiang-tiang hijau cuaca membersitkan kelenyapan.
Daun-daun luruh tanpa nama, di beranda, jadi monumen
seratus derita. Sepanjang kemayaan, arwahku menguak
rahasia rindu kekejaman. Ajalku melolong sepanjang siul.
Rasa laparku kehilangan gema. Deritaku meracau, membakar
kota-kota dengan cumbu.

Tapi, apakah yang akan ditulis matahari pada sisa senja,
sayangku? Percayalah bahwa akulah sang pecinta yang teguh
dan tak tahu malu. Takdirku tercekik sepanjang pengap
mirip pisau yang biasa kau hunjamkan ke dadaku! Di dasar
kematian, akulah seratus darah perawan yang pernah teguk
dengan kufur. Segala pengetahuan tinggal ingatan penuh perusuh!
Fantasiku berbalik arah. Harapanku berjalan mundur, menginsyafi teluh.

2002-2005

Edisi 15

Inggit Putria Marga
(Lampung)

Melihat Awan di Jalan

Taburan burung gereja
Dibawah
Awan kota

Lingkaran semesta

Yang berlarian, menenggelamkan jalan
Yang berjalan, lebur di pelarian
Di padam lampu
Memenuhi tujuan mata sepatu

Namun, tak berlaku
Bagi yang menunggu

Pergi dan kembali
Hanya sebagian komposisi

Juga burung,
Yang terbang dan mati

Di kota ini

Mei, 05


Isbedy Stiawan ZS
(Lampung)

Jadi Burung Di Ruang Ini

di ruang ini aku jadi burung
sedang kau sebagai sarang
lalu bagaimana bisa
burung pergi dari sarang ?

maka aku mengeram di dalammu
aku beternak ruh yang
bersayap di masa datang
kepakkan segala kata

jadi kalimat
rimba keramat
yang kau eram pula
sehabis hujan luruh
di luar rencana …

aku jadi burung di ruang ini
mengeram di sarangmu
beternak kalimat – kalimat
dusta,
tumbuh sayap di masa datang
yang pulang dengan kaki patah

merimba keramat …

21-22 Juli 2005

Jimmy Maruli Alfian
(Lampung)

Merajang Lajang

PERAWAN : Inilah tanahku, tak pernah tandus ! mata air,dan rahim yang sopan memilih percintaan

BUJANG : Aku ingin dilupakan dari takdir, tak perduli harum rahim ataupun mata air tempat pemandian terakhir. Aku pertapa dengan nafas sengal dan asmara yang bebal

PERAWAN : Tempo hari, hasrat seperti apa yang ingin kau jerat?
Karena genit, kita diusir dari surga. Pindah ke kota yang hanya ditanami pepohonan kaktus dan cinta yang tandus.
Kau ingin es buah ?

BUJANG : Seharusnya dulu aku tak perlu mengenalmu. Cerita pilu membuat darah bergenang di jantungku !

PERAWAN : Dan kau harus menanggung kesalahan untuk semua angan-angan !

BUJANG : Tak ada benar salah dalam keiinginan.

PERAWAN : Tapi, seekor ular diketeduhan surga, kelak membuat resah dua anak lelaki kita. Lalu kebencian menjadi kaca setiap perjumpaan.

BUJANG : Aku haus. Segala cemas sepanjang umur akan kutanggalkan,
Boleh aku hisap putingmu ? Ada yang bilang, dadamu muasal ingatan. Tapi bagiku, merah putingmu merupa pangkal embun jatuh kebatu.

PERAWAN : Aku lamunkan luka di segala keindahan. Dau kau, akan gembira menamainya perjuanagn.

BUJANG : Hijrah burung-burung. Menandakan ada lumbung di ujung jantung.

PERAWAN : Alah mak jang ! Kau penyair ?

BUJANG : Kau hitung, berapa banyak nyeri yang membuat kita berulangkali bunuh diri! Mungkin, ratusan.Itulah sebabnya, aku ingin mangkir dari takdir.
Setiap waktu, mendaki puncak mendorong batu. Sampai akhirnya dijatuhkan lagi menyusuri sepi.

PERAWAN : Kau mulai sentimental.

BUJANG : Bukan! Lepas dari sesal, aku ingin tahu berapa lama usia kenangan mampu bertahan dalam ingatan ? Karena pikiran terkadang menutupi tubuhnya dengan suara hujan dan remang malam.

PERAWAN : Aah, apakah semua penyair ngaco dan sentimentil?

Sudahlah, kau masih haus ? Buka mulutmu, ada celah daging yang membuat dapat menyelinap dari segala ratap.
Jangan sekali-sekali kau tanyakan tentang kenangan.

Depok, 2005


Jose Rizal Manua
(Jakarta)

Bulan Sepotong Meronda Kota Jakarta

Hari-hari, minggu-minggu
tahun-tahun belakangan ini ;
masyarakat sibuk kasak- kusuk
mass media asyik kipas-kipas

Bulan sepotong meronda kota Jakarta
sambil melagu malu-malu :
“ya yaya ya yaya
ya kredit ya macet
ya yaya ya yaya
ya kejepit ya kejencet”

Mereka bergunjing di rumah-rumah, di hotel-hotel
tentang moler,sawer, dower, teler, ngeper dan besar
tentang sogok, mogok, pasok, momok, rampok dan gorok
kisah sekamar melar sepasar

Hari-hari, minggu-minggu
tahun-tahun belakangan ini ;
masyarakat sibuk kasak-kusuk
mass media asyik kipas-kipas

Bulan sepotong meronda kota Jakarta
sambil melagu ragu-ragu :
“ya yaya ya yaya
ya narko ya tikno
ya yaya ya yaya
ya narkotik ya no no”

Mereka bergunjing di kampus-kampus, di kantor-kantor
tentang cekal, mental, jegal, kapal, rudal dan tumbal
tentang doping,shoping,jogging, kancing, beking dan jaring
kisah sekota melar sebenua.

Jakarta, 22 Juni 1993.

Edisi 16

Juftazani
(Jakarta)

Kenangan Atas Maria Nikolaievna

barisan kesedihan seperti
nyanyian balalaika
menyanyikan “kenangan abadi” atas musim berlari
“siapa yang akan dimakamkan ?”
“dr zhivago !”
“pantas”
“bukan dia ! tapi istrinya !”
“apa bedanya ?”
angin menderukan nyanyian itu
seperti gembala meniup balalaika
di padang siberia

di saat terakhir
pendeta menebarkan tanah
dalam bentuk salib
keranda ditutup, dipaku
dan diturunkan
gumpalan-gumpalan tanah
seperti hujan menimpa peti mati
kesedihan dan nyanyian abadi
tak juga surut
tatkala pidato terakhir
melepas jenazah maria nikolaievich
ke hadirat yang kuasa
kematian nyonya zhivago
diikuti kematian-kematian nurani,
revolusi dan pembunuhan-pembunuhan
tak bertepi
seperti mendung begitu cepat berubah hitam
hujan deras pemberontakan

atap kerajaan tsar yang kokoh
hancur-lebur diremukkan hujan salju
yang jatuh sekepal batu koral
darah dan airmata

nyanyian sunyi diiringi tiupan balalaika
di padang-padang siberia
di timurnya terbentang kepulauan “GULAG”
kampung putra-putri terbaik rusia
merintih meneteskan darah dan kelaparan
siksaan dan bencana !

Ciputat, 20 Desember 2005


Jumari HS
(Kudus)

Episode Anak Zaman

Seperti malam ditinggal sepi
Anak-anak itu, tak lagi bisa tidur
Mereka bermain kabut, di tangannya
Memegang pisau ditusuk-tusukan ke udara
Sampai gerimis dari langit ketentraman
Teriris, dan merintih-rintih kesakitan
Anak-anak itu, terus menusuk-nusukan pisau ke udara
Sampai hati ibu mengelabu

Anak-anak itu semakin liar
Menusuk-nusuk pisau ke udara
Tak perduli hujan debu menderas
Tak perduli mendung menggelantung
Tak perduli peta hidup berkaburan
Anak-anak itu, tak lagi mengenal sunyi
Airmatanya yang polos telah tumbuh benalu
Menghisap jiwanya sendiri
Aneh, mereka tak pernah mengaduh
Melainkan semakin deras tusukannya ke udara
Tak perduli angin resah
Tak perduli puisi berdarah

Anak-anak itu
Anak-anak kita
Airmatanya, airmata kita
Bahasanya, bahasa kita
Nyanyiannya, nyanyian kita
Anak-anak itu
Kita!

Kudus, 2005


Katrin Bandel
(Yogyakarta)

Malam Pertama Di Medan

aspal jalan-jalan kotaMu
kuhirup bersama kedip sapa lampu warna-warni
dan ramai klakson sudako
asing di telingaku.
di mana jantung kota? aku
rindu loncat terbang-melayang
ke awan-awan.
toh hanya berlari di tempat.
aspal menganga lapar
dan rangda dari seberang benua
mengirimkan sepotong lidah busuk.
bercak darah tertinggal di atas sprei
mabuk sendiri
berputar sampai terbenam
ke dasar.
tersengal-sengal aku mencoba
satukan napasku dengan napasMu.
teringat trisandhya bermain dengan awan-awan
tapi kutinggalkan jauh di punggung, di telapak kaki
menjadi tak lagi penting karena
bau rambutMu.

Medan, 19-2-2002
Jogja, 22-4-2002

Kiki Turki
(Cirebon)

Surat Untuk Kekasih I

Di malam sunyi ku terbangkan daun-daun doa

Sampaikan pesanku pada-Mu ?

Kekasih, aku alpa pada-Mu

Tapi tidakkah Kau ampuni aku

2004

Edisi 17

Kony Fahrain
(Tenggarong)

Untuk Mim

Rasa itu, Mim-bukan bayang
Seperti angin yang dapat dirasa tak ada wujud
Ia nyata seperti yang kumaknakan lewat sentuhan
Bukan hanya menyatu raga semata
Jiwamu dan jiwaku tak berjarak
Diputaran pundak waktu yang mulai terbungkuk

Ya, Mim.
Usahlah meramu rasa sebatas badani
Di ujung waktu tersisa milik kita ini
Kau sepertinya membunuh kegairahan
Begitu bukti persentuhan ke-25 tahun
Gelegak kemudian diketuaan kita kau abaikan
Rohanimu dan rohaniku dalam memagut sisa asmara
Sepertinya tinggal sentuhan badani yang di luarnya meraja sepi
Dan terwariskan pada dinding-dinding kamar goresan waktu

(Mim, jangan kau bekukan gairah
Ia adalah bahasa kalbu
Dan hidup di jiwa anak-anak kita)

Tgr/Bjm Des 2005

Kurnia Effendi
(Jakarta)

Cisadane

Rembulan yang berkeramas hujan
Curahkan leleh emas di atas Cisadane
Serupa lampu yang berenang dari hulu ke batang kuala
Tak lelah ikan bercumbu, di antara jarum air menembusi punggung sungai
Mungkin awan lupa menyembunyikan mata bulan
Memandang penuh cinta kepada sepasang tawanan yang pulang kemalaman
“Aku harus menyeberang, melawan arus yang membentang,” ujar sang pelarian.
“Bayiku menunggu dalam demam. Ingin kutanam benih dendam.”

Subuh tertunda oleh kabut yang bersusun-susun
Muadzin di sudut surau merasa matanya rabun
Ia terlambat membangunkan jemaah lelap mimpi ngungun
“Hujan semalam melindungi langkah maling dari penglihatan siskamling.”
Sang imam tertunduk : ragu pada petunjuk
Dua batang kelapa rebah menjadi jembatan
Sepasang pencuri selamat dari kejaran

Pagi pecah oleh tangis bocah
Arus sungai seperti kekal membuncah
Matahari sumringah menatap pohon dan rumah
Perahu dan sampah
Sayur-mayur tumpah-ruah
Sejumlah pertengkaran tak selesai, namun hidup menuntut damai

Sungai melukis sejarah dengan kuas kemarau dan warna musim hujan
Dusun dibangun dari keringat orang lurus dan para penjahat
Cisadane mengaliri abad demi abad dengan cinta
Yang tak setiap sukma sanggup membalasnya

Senja yang berlindung pada sutra lembayung
Agar cahaya terakhir tak sentuh kulit perawan di tepi bengawan
Sisa air mandi menetes menjadi jejak cinta
Dikuntit setiap perjaka menjelang petang
Mereka beranak-pinak, lahir dan mangkat
Bersetubuh dan selibat, berdoa dan khianat
Tak lepas dari aroma sungai
“Apakah penarik riba yang loba itu telah menjadi rangkaya ?”
tanya seorang teraniaya.

Gemuruh pabrik menjadi cerita, buruh memekik berbuah canda
Sepasang di antara mereka, berjanji jumpa di tepi kali
Hendak menyerahkan buah dada, sebagai upeti
Hikayat pun mengalir seperti arus mendesir :
Cisadane membesarkan butir-butir padi
Namun sekali waktu kerontang seperti wadi

Bercermin kemilau air sungai : wajah lazuardi Tangerang
Pesawat terbang seperti belalang terperangkap cuaca
Cetak biru pencakar langit di benak kaum arsitek,
Memesan tempat di tepi Cisadane
“Selamat datang keluarga urban, tinggallah di sini sampai merata uban.”

Air ketuban rasa kelapa puan
Tak tercatat jumlah liter air yang terminum,
amis sungai telah membentuk sumsum.
Adalah sungai yang rindu menggenangi kota,
setelah sewindu tak diajak bicara
“Kemari, Nak. Kenalkan ini arus cinta, yang telah
membuat kita melepaskan kasta. Kenalkan arus cinta
yang mengubah duka menjadi bahagia.”

Di seribu pematang bercecabang, masih tertera jalan pulang
Di atas gelombang Cisadane , masih tersimpan pundi harapan

Jakarta, 2005

Marhalim Zaini
(Pekanbaru)

Desember, Sebuah Makam

Sebelum memudar
batas cadas
dan pasang siang
surut di cangkang,
telapak kaki kita
disengat Penyengat.
Sebuah makam
sebuah masa silam
saling menabik salam.

Tepat di belakang punggung
sebuah rumah panggung
seperti sedang berkabung.
Seperti ada yang lepas
membekas di tingkap
dan aroma cempaka
yang menyergap.
Duh, hujan jantan
mengintip di selatan
siapa yang berdiam
di sampan?

Kau pernah bilang,
ada desember datang
menjemput seseorang
yang kerap duduk
di pintu makam.
Seseorang bermata sembab
berkerudung warna gelap.

Aku menjumpai sultan
di ujung pelabuhan,
dan seorang perempuan
yang mejunjung beban.
Mereka tak saling berteguran.

Dan kita pun
saling berpandangan.
Sepasang lengang terbang
dari lorong ingatan.
Lalu pada laut, atau
pelataran yang asing,
kita jemput para peziarah
yang berjalan beriring
mencari berkah
mencari tuah.
Kau melihat malaikat?

Aku melihat gurindam itu,
gundukan-gundukan sepi
sehitam malam, dan
tak sesiapapun tahu
di mana bait-bait waktu
bersembunyi,
pada nisan,
dalam bungkusan
kain kafan,
atau pada serpihan
tanah-tanah kuburan,
atau pada kuning,
atau pada putih.
Kita kehilangan warna, katamu.
Bahkan warna rambut kita sendiri.
Lalu mau apa kita?
Bernyanyi seperti anak muda
atau berdoa seperti lansia?
Di pulau kecil ini, tuan
hidup seolah melapuk,
tinggal huma,
lumut pada usia,
dan dentang jam
yang tak setia.
Terlampau berat
sejarah
mencatat
hikayat,
terlampau jauh
hikayat
meninggalkan
sejarah.
Bukankah kita
Orang-orang
yang kalah?

Kau mengaku
kerap mimpi bertemu hantu
dan menemukan wajahmu.
Serupa foto yang buram
atau peta yang kusam,
kau mulai ragu
pada ingatan,
pada pandangan
atau harapan-harapan.
Kesepian lebih meruyak
di antara hutan-hutan
yang tumbuh
di sekujur
tubuh.

Di luar
tak ada jawaban
hanya, sekali lagi, hujan.
Dan suara teriakan-teriakan,
bunyi ketukan sandal kayu,
gesekan daun-daun jatuh,
lalu bau kemenyan,
dan tinta hitam
yang netes
diam
diam.
Wahai, raja ali haji,
dikau belum mati?

Penyengat, 2005

Edisi 18

Mariana Lewier P.
(Ambon)

Hujan Di Cengkareng

Hujan menikam bumi
pada aspal dan lampu bandara Cengkareng
senja ini
kuyup
seorang wanita asyik dengan bacaan
dan syal yang melilit leher
memanjang pada blus putihnya

dari jendela kaca Eva Airways
langit terlihat kelabu
sementara musik klasik terus mendengung,
penerbangan ini (akan segera) menerpa gerimis
tak ada yang menahan
wan kelabu bertabrakan
berlomba menyiram hujan (getar cair)
menggigiti angin
langit pun menahan kata

Aku belum lagi mengulum
(kepenuhan) hujan di Cengkareng
ketika pesawat telah mengangkasa
dan meninggalkan kekelabuan
berganti kecerahan biru
angkasa senja

Jkt 22 Nov-Taipei 23 Nov.2003

Marlen Alfons
(Ambon)

“ Kau Hanya… “

Bila murai ingin terbang … biarkan saja
Nanti juga kan bosan dan lelah
Bila angin ingin berembus biarkan saja
Nanti juga kan tenang dan tak ada
Begitu juga denganmu …
Biar saja apa yang kau pandang itu tetap
Karena memang seperti itu …
Kau tak dapat bergerak …
Kau tak dapat mengerling … tak dapat !
Kau tak dapat melangkah dan berayun
Itu sebabnya kau tetap membisu …
Terus menatap hingga lumutan …
Tidur pun kau takkan bisa
Kau berdiri dalam ganasnya terik
Kau kokoh dalam siraman hujan
Bias saja kau berlindung
Tapi tak bias …
Karena kau hanya sebuah patung

29 November 2005

Marlha Maspaitella
(Ambon)

Rumah Khalawat

Di sebuah jalan yang lurus
Di antara banyaknya penginapan di kota Batu
Berdiri sebuah rumah yang penuh kenangan
Dengan bungabunga yang indah melingkari sebuah kolam ikan
Menguak kisah di bulan Desember

Dua mobil LG membunyikan klakson
Menyentak sebuah tangan kasih
Senyuman seorang perempuan berkerudung
Menyambut dua puluh empat orang yang turun
Dengan gaya masingmasing

Dendam terbawa dalam nafas dan sikap
Kemunafikan dan kebohongan hadir dalam canda dan tawa
Ketika sebagian terlena melepas lelah
Kelompok penyanyi bersenandung dalam Latihan

Detak waktu mendekati pukul tujuh
Kolam ikan terpantau dalam cahaya bulan
Kedua puluh empat tamu rumah khalawat
Merenung dalam ibadah yang khusuk
Masingmasing melepas rantai yang membelenggu hati
Mengangkat balok yang menindih kasih
Menanggalkan tabir hitam yang berbenih dendam

Rumah khalawat penuh tangisan
Ketika semua berserah untuk bertobat
Rumah khalawat memancarkan kasih
Ketika belenggu dendam terhapus dengan pelukan


Jarak menjadi tak berarti
Ambisi bingung mencari tempat bernaung
Karma cinta dan kasih telah menjadi udara
Yang melepas malam di rumah khalawat

Malang, Desember 20025



Mas Yayun
(Sukabumi)

Elton John

seperti sodom gomorah
menolak luth
menghunjamlah batu-batu

satu teriakan saja
setelah itu sunyi
pompeii dilumat gemuruh vesuvius

tapi naples dan capri
lupa menggali sejarahnya sendiri
nudisnya kini juga diperdaya mithraic ?

lalu aku melihatmu, john
di windsor buildhall kamu tersenyum lucu
kepada david furnish di sampingmu

aku memang cuma terkesima
tetapi selanjutnya menyimak
: aku, kamu dan kekasihmu, waktu

sambil kubaca kembali
sodom gomorah dan pompeii
lewat sejarah dan kitab suci

kamu bacalah roma dalam injilmu
atau pada ayat-ayat al qur’an mulia
juga fosil-fosil itu, peristiwa yang dihentikan waktu

ternyata Tuhan mengazab sementara tiba-tiba
bagi kamu cukup satu teriakan saja
sebelum lumat seketika !

Sukabumi, Desember 2005

Melody Muchransyah
(Bogor)

Hidup

hidup adalah kehampaan suara-suara pada malam tak berbintang
adalah kenangan indah tentang manisnya rasa kecup cinta
adalah sebuah perjuangan pahit yang berujung pada asa
adalah nyanyian merdu nan sendu

hidup tak hanya hidup namun pula merasa
hidup adalah tentang tangisan dan tawa
tentang kebenaran dan esensi dari rasa percaya
adalah kemesraan dua insan yang mabuk bercinta

hidup meski tak bergeming namun pula tak berlari
hidup memang hanya ada bila kau menikmatinya
hidup adalah merasa bersyukur
dan hidup, bagiku, adalah berada di sisimu dan mencintaimu

Bogor, 16 Januari 2006


Edisi 19

Micky Hidayat
(Banjarmasin)

Meditasi Rindu
Bagi ayahnda Hijaz Yamani

1
Mengingat kembali dirimu
Keterasingan dan sunyi pun menyapa
Menulisi air mata, di antara kata-kata liar buruanku
Mengaliri duka cita tak pernah terucapkan
Sekelompok camar membelah laut
Kumandang takbir melayang-layang di udara
Menyusun riwayat dunia yang tak pernah tamat kubaca
Selalu kubaca, berulang-ulang aku membacanya

2.
Tiba-tiba rinduku padamu
Menjelma sebuah menara menjulang
Mengajari udara beterbangan
Dengan kesabaran
Mengusik cuaca dan angin
Cahaya matahari mengirimkan salam dan doa
Yang tumpah dalam kenikmatan ruang dan waktu
Dalam keheningan sempurna

3.
Bayang-bayang wajahmu
Menjelma rembulan dan bintang-bintang
Di hamparan sajadah kebijaksanaan
Kekhusukan tasbih dan tahmid
Dengan kesetiaan samudera
Berkelebatan ayat-ayat
Berkilauan rahasia-rahasia
Tebing-tebing mimpi dunia
Yang diselimuti kabut
Dalam tahajud sunyi

4.
Mendaki, mendaki
Mendakilah !
Semadi, semadi
Semadilah !
Hingga ke puncak zikir kembara
Telah engkau reguk kehidupan fana dengan air mata
Telah engkau enyahkan kilau-kemilau dan kecemasan dunia
Menuju ketenangan maha sempurna

5.
Telah engkau tamatkan membaca beribu ayat
Hingga menerangi alam semesta
Telah engkau tuntaskan tafakur dalam keheningan
Berkhalwat dalam salawat
Cahaya nabi dan para rasul
Mengembara menuju mahsyar
Bertakbir tak habis-habis takbir
Di keluasan sajadah
Hingga sujud dalam rakaat demi rakaatmu
Menyentuh surga

6.
Dan aku di sini, di puncak kerinduan ini
Beribu tahun memunguti kesepian tak terperi
Dalam ketidakberdayaan, di ruang kefanaanku
Dan menanti, akankah kau datang lagi dengan senyum khasmu
Kemudian pergi tanpa pamit bersama mimpiku yang mawar
Juga rinduku tak terpuaskan

7.
Sebagaimana sajak-sajak yang mengalir
Dari kawah batinku, pada setiap puncak pendakianku
Selalu saja menulisi kecemasan dunia
Menangisi luka bulan, bintang-bintang, dan matahari
Mentasbihkan kebijakan dan kebajikan
Menzikirkan kebaikan dan kebenaran
Yang pernah kau ajarkan diam-diam padaku
Seperti kediaman batu-batu

8.
O, bapak, sebagaimana puisi-puisimu
Yang kini tak bisa lagi bicara
Tetapi masih berulang-ulang kubaca
Aku baca !
Sebagaimana aku terus belajar mengeja
Dan mencari kata-kata
Sebagaimana aku terus belajar membaca
Isyarat dan gerak zaman
Sambil mengumandangkan ayat-ayat kebenaran
Dengan cahaya zikir dan air mata doa
Mengkristal dalam jiwamu yang mawar
Bersemayam cahaya maha cahaya-Nya

2001/2003

Miziansyah J.
(Samarinda)

Dendang Duka
(Sajak ta’ziah bagi Alm.H.Zailani Ideris)

Tangis tabur bunga menghentikan deru angin seketika
Seekor rangkong turut merenungi musim berganti
Mengapa dawai sampe yang dipetik tiba-tiba putus
Padahal melodi Tepian Pandan masih didendangkan
Padahal pesta mentari masih kita inginkan sepanjang pagi
Tangis tabur bunga dalam ini duka menghentikan segala pesta

Suasana kaku membujurkan jasad saudaraku
Inilah sebuah kepergian tanpa ditahan
Tertinggallah masalalu dengan sejuta kenangan
Pupuslah cita dan cinta
Atas kebiruan langit dan keindahan dunia

Tiada sekeping mimpipun tertinggal
kecuali renda-renda kerinduan
Kerinduannya adalah arus yang mengalir
kemuaraNya
Adalah kita yang tertinggal
Adalah dia yang mencapai samapai

Samarinda, 1999

Catatan :
Rangkong = burung anggang
Tepian Pandan = julukan untuk kota Tenggarong
Sampe = alat musik petik suku Dayak Benuaq


Muhammad Choirul Anam

(Boyolali)

Mengeja Malam Runtuh dan Kejatuhan Bintang

gununggunung malam runtuh
ketika bintang sedang menjaga kejatuhannya
kabut gelisah dengan warna hitam yang mengitari tubuhnya
sementara langit hanya bersedekap
menunggumatahari yang sebentar lagi akan naik di punggungnya

aku lupa memandang gelap
aku luput menghitung cahaya
sementara rekaat telah memburai menjadi neraka

ruang renung, mei4, 2005